Helen dan calon tunangannya, Nathan, tampak shock ketika melihat masing-masing dari mereka.
Meski malam ini Nathan kelihatan sangat dewasa dan berbeda dari cowok SMA yang ditemuinya seminggu yang lalu.
Kalau gini nggak nampak kalau masih bocil. Pas banget gitu, lho. Helen tanpa sadar mengagumi Nathan. Sekejap dia terpana dengan penampilan pria di depannya. Dengan setelan jas warna hitam, dia terlihat lebih dewasa dari usianya.
Eh, si Tante ternyata cantik juga. Kulitnya yang eksotis, pas banget ama standar gue. Di lain pihak, Nathan pun tak kalah terpana dengan kecantikan gadis di hadapannya itu. Tidak terlihat bar-bar seperti saat pertama bertemu.
"Eh!" Keduanya akhirnya tersadar dari rasa keterpanaannya. Buru-buru keduanya memasang wajah permusuhan lagi.
"Kalian emang udah saling kenal?" tanya Sofia dengan wajah berbinar. Helen dan Nathan mau tak mau memandang ke arah Sofia.
"Jeng, kita nggak usah ngenalin lagi. Kayaknya mereka bakalan cocok, deh." Tatapan Sofia kini beralih pada Maria, calon besannya. Nathan datang hanya bersama ibunya, karena ayahnya memang sudah lama meninggal.
Cocok? Cocok dilihat dari mananya, Ma? Apa Mama nggak lihat kalau tampang kita berdua itu tampang kesel? Helen tak mengerti dengan jalan pikiran ibunya itu. Diliriknya wanita paruh baya yang datang bersama bocil tadi. Dia juga sama, kelihatan sumringah.
"Iya, Jeng. Kita kayaknya nggak perlu susah-susah buat ngenalin mereka. Iya, nggak, Nak Helen?"
"Eh! Tante. Ini tidak seperti yang kalian kira," jelas Helen. Gadis itu berusaha membuat kedua belah pihak tidak salah paham.
"Iya, kan, Bocil?" Pandangannya kini beralih pada si laki-laki yang dipanggilnya bocil.
"Helen! Namanya Nathan, bukan bocil!" Hardik Sofia hingga membuat Helen terjingkat.
Doni dan Cintia sedari tadi hanya terdiam. Cintia yang dasarnya pemalu memilih untuk diam saja, sedang Doni belum mendapat sela untuk berbicara.
"Eh, tapi 'kan emang dia masih bocah, Ma .... Masak udah mau dikawinin, sih?" Tampang gadis itu terlihat begitu memelas. Kini dia tahu kenapa Cintia dibilang ketuaan.
"Nathan juga nggak mau, Ma, nikah sama tante-tante gini." Kini giliran Nathan yang mengajukan protes pada ibunya.
"Gue masih muda, ya. Belum jadi tante-tante!" Intonasi Helen meninggi. Darahnya mendidih ketika Nathan menyebutnya tante-tante.
"Lha, kan emang bener. Situ sudah tua."
"Kamu tu, yang masih bocil. Masih sekolah juga."
Keduanya beradu argumen tanpa memberi kesempatan para orang tua untuk menyela. Sofia dan Maria hanya membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak pernah bisa menyela pertengkaran kedua insan itu.
"CUKUP!" Semuanya terkaget menatap ke arah sumber teriakan itu. Doni yang sedari tadi diam, kini memilih mengeluarkan teriakannya. Kepalanya begitu pusing mendengar kedua anak labil itu bertengkar.
Helen pun sedikit bergidik ngeri ketika melihat ayahnya dalam mode marah seperti itu. Biasanya ayahnya itu sangat kalem. Bahkan untuk berteriak pun sepertinya belum pernah.
Bukan hanya Helen yang terkejut ternyata, Sofia, Cintia, Maria, bahkan Nathan. Tak ada yang berani bersuara.
Suasana mendadak sunyi. Tidak ada satu pun yang berani menyahut.
"Sekarang ... semuanya duduk!" titahnya pada semua orang yang ada di ruangan itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, mereka berlima akhirnya duduk di sofa yang berada di ruang tamu itu.
Doni menghela nafas panjang. Belum menikah saja keduanya udah kayak tikus dan kucing. Bagaimana kalau sudah menikah? Tapi, jika tidak menikah, keluarganya akan menggembel di jalan.
"Helen ... sama tamu yang sopan," katanya penuh kelembutan sembari menatap putri keduanya itu.
Helen yang biasanya suka membantah pun hanya diam mendengar perkataan ayahnya.
"Maaf, ya Mbak Maria dan Nak Nathan, anak saya memang suka ceplas-ceplos dan tidak tahu tempat," ucap Doni pada calon besan dan calon menantunya itu.
Kok Helen aja yang disalahin. Tuh, si bocil juga sama saja. Ngajak berantem. Tapi kalimat ini hanya diucapkan Helen di dalam hatinya. Meski sangat ingin dia meluapkan kekesalannya saat itu juga, namun susah payah ditahannya. Dia tidak mau melihat kemurkaan ayahnya untuk kedua kalinya di hari yang sama.
"Eh, tidak apa-apa Pak Doni. Saya sendiri atas nama anak saya juga minta maaf. Maklum, mungkin mereka memang belum dewasa." Sebenarnya Maria juga tak kalah malu dengan calon besannya itu. Nathan sendiri juga tadi ikut menanggapi Helen, hingga pecahlah perang dunia keempat ini.
"Aw ...." Nathan meringis sembari mengusap pahanya. Rupanya Maria mengatakan hal itu sembari mencubit paha anak lelaki satu-satunya itu. Wanita paruh baya itu melotot ke arah Nathan, sebagai sebuah peringatan agar tidak mengulangi hal memalukan itu lagi.
Nathan yang selama ini sangat menghormati ibunya, orang tua satu-satunya yang dia miliki, hanya mampu tertunduk dan terdiam. Ia merasa bersalah karena telah membuat ibunya itu malu.
"Baiklah .... Karena masalah yang tadi telah clear, kita lanjutkan saja membahas masalah pertunangan mereka." Meski bukan pertama kali mendengar masalah pertunangan itu, baik Helen ataupun Nathan, keduanya terlihat sangat shock.
Sekilas keduanya berpandangan, sebelum kembali membuang muka.
Ketiga orang tua yang ada di ruangan itu saling tersenyum mengiyakan rencana itu. Namun tidak bagi kedua muda-mudi yang jadi bahasan malam itu. Sedang Cintia, memilih diam tanpa ekspresi.
"Untuk rencana pertunangan, sebaiknya dalam waktu dekat saja, Jenk." Helen melotot mendengar kata-kata ibunya itu. "Tapi, kalau untuk pernikahan. Bisa dua tahun atau beberapa tahun lagi nggak masalah. Nunggu Nak Nathannya siap dulu," lanjut Sofia.
Mama ini gimana, sih? Kenapa buru-buru gitu? Helen tampak gusar. Apa kata teman-temannya jika dia tunangan dengan anak SMA? Trus, bagaimana dengan Gio? Masak mau diputusin, sih?
"Iya, Jenk. Saya sih setuju-setuju saja. Meski lebih cepat lebih baik. Iya 'kan, Nathan?" ucap Maria sembari tersenyum pada calon besannya itu. Tangannya menepuk tangan anaknya yang berada di atas paha.
"Ta-eh, iya, Ma." Ingin rasanya Nathan membantah, tapi apalah daya Maria sudah lebih dulu melotot padanya.
Lepas dari pelototan ibunya, gantian Helen yang melotot padanya. Nathan hanya membuang muka mendapat tatapan membunuh dari calon tunangannya itu.
"Oh, iya. Kalian 'kan belum kenalan." Sofia menatap putrinya dan calon menantunya bergantian.
Helen maupun Nathan tak ada yang berinisiatif mengulurkan tangan untuk saling berkenalan.
"Helen ...." Yang dipanggil hanya menghembuskan nafas ketika namanya dipanggil dengan lembut namun penuh penekanan.
Dengan amat sangat terpaksa gadis itu mengulurkan tangan kanannya. "Helen!" Nathan terkekeh ketika melihat tampang Helen saat ini. Seperti orang yang sedang menahan buang air besar.
"Nathan!" Nathan menerima uluran tangan dari gadis di depannya. Buru-buru dia menghentikan kekehannya karena dapat pelototan dari arah depannya.
"Nah! Helen, Nathan. Malam ini kami akan membahas tentang acara pertunangan kalian." Lagi-lagi kedua insan itu menghela nafas secara bersamaan, dan itu menjadi perhatian tersendiri untuk gadis yang duduk di paling ujung.
Cintia hanya geleng-geleng melihat interaksi antara keduanya. Sepertinya mereka berdua memang berjodoh, gumamnya dalam hati.
"Baiknya gimana, Jenk?" Sofia meminta pendapat calon besannya itu.
"Saya nurut aja sama kalian. Nanti Nathan paling kuliah dulu baru bisa nglanjutin perusahaan itu." Maria cenderung lebih tenang dari calon besannya. Dan dia juga tidak terlalu banyak bicara.
Mendengar hal itu, lagi-lagi Helen hanya menghela nafas. Masa depan keluarganya memang tergantung pada pertunangan ini. Meski berat hati ingin menerima, tapi lebih berat lagi untuk menolak.
"Baiklah, kalau gitu gimana kalau bulan depan saja." Netra Helen membola menatap ibunya.
"Mama ...," rajuk gadis itu agar mendapat perhatian dari ibunya.
"Berhubung Nathan masih sekolah, cukup keluarga saja yang hadir," putus Sofia. Maria hanya manggut-manggut mengiyakan usul calon besannya itu.
Cintia tersenyum geli ketika melihat adiknya dan calon tunangannya lagi-lagi menghela nafas secara bersaman. Seperti sudah janjian.
"Setuju 'kan, kalian. Helen ... Nathan ...!" Kali ini Doni yang bersuara.
"Iya, Pa ...."
"Iya, Om ...."
Jawab keduanya bersamaan. Baik Helen maupun Nathan saling menatap satu sama lain. Bukan karena sudah mulai terpana, tetapi mereka seolah saling bicara, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?
Nathan yang merasa masih muda belum memikirkan hal itu, sedang Helen sudah memiliki pacar. Apakah keduanya akan tetap mengikuti rencana keluarga mereka?