Seminggu yang lalu.
Pagi ini terasa begitu cerah dan ceria bagi gadis 22 tahun itu. Pasalnya hari ini ada rencana kencan dengan kekasihnya. Sudah hampir satu jam dirinya berdiri di depan cermin yang setinggi dirinya.
Janjiannya, sih jam sembilan, tapi dari jam tujuh sudah mandi dan memakai make up. Kini tinggal memilih baju yang mesti dia kenakan.
"Cantikan yang mana, ya?" Helen masih menatap ke arah cermin di hadapannya, sesekali melirik ke arah baju di tangannya. Kedua tangannya masing-masing memegang baju yang berbeda.
Sebuah blouse warna maroon berlengan tiga perempat dia pegang di tangan kanannya, sedang kaos panjang berwarna hitam ada di tangan kirinya.
Lama dia menimang-nimang kedua pilihan itu. Pilihan terakhir, setelah semua isi lemari telah dikeluarkannya.
Helen menghela napas panjang. "Baiklah ... pake ini aja. Yang simple, nanti luarannya pake jaket." Akhirnya pilihan jatuh pada kaos hitam itu.
Segera Helen mengenakan pakaiannya, merapikan rambutnya, dan segera bergegas keluar kamar. Gadis itu melihat ke arah pergelangan tangannya. "Sudah hampir jam sepuluh. Gio pasti udah nunggu."
"Papa mana, Ma?" tanya Helen pada Sofia. Matanya terus menyapu sekeliling, tapi tidak menemukan ayahnya itu.
"Papa ke rumah temennya. Ada urusan, Sayang," jawab Sofia sembari memperhatikan putrinya itu dari atas sampai bawah.
"Oooo ...."
"Ma, Helen pergi dulu, ya." Helen menghampiri ibunya dan mengecup pipinya.
"Kamu mau ke mana, Sayang?" Sofia menatap punggung putrinya yang semakin menjauh itu.
"Main bentar, Mah." Ditolehnya ibunya yang tampak bertanya-tanya. Diberikannya senyum terindah untuk wanita yang melahirkannya itu.
"Tumben-tumbenan anak itu dandan cantik gitu," gumam Sofia ketika memperhatikan putrinya yang kelihatan lebih cantik dari biasanya.
Helen keluar dari gerbang rumahnya dan segera berlari menuju pos jaga kompleks perumahan elit tempatnya tinggal.
"Si Gio ribet amat, sih. Ngajak ketemuan di pos jaga sana. Mana agak jauh lagi," gerutu Helen saat dalam perjalanan.
"Tapi, nggak papa, deh. Mungkin dia belum siap ke rumah." Sekejap saja rasa kesalnya berubah menjadi bahagia, kala membayangkan wajah kekasihnya itu.
Helen senyum-senyum sendiri mengingat ini kencan pertamanya, setelah jadian seminggu yang lalu. Sesekali dia menunduk, melihat ke arah jam tangannya.
"Huh! Udah jam sembilan." Gadis itu mempercepat larinya, takut kekasihnya itu menunggunya terlalu lama.
Helen merasa tubuhnya menabrak sesuatu.
"Aw ...!" Helen meringis ketika bahunya terasa sakit karena tubrukan itu. Tak ingin berlama-lama, gadis itu segera berdiri tegak dan mulai melangkahkan kaki.
"Tante!" Helen segera melanjutkan jalannya lagi. Dan juga karena dia tidak merasa tua untuk dipanggil tante, dia pun tak mengindahkan panggilan itu.
"Tante!" Matanya membola ketika seseorang menarik bahunya dan yang paling membuatnya kaget adalah ....
Gue, dipanggil tante?
Helen segera berbalik, seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu sedang menatapnya penuh amarah, sama seperti dirinya. Postur tubuh anak itu memang lebih besar dari Helen, meski masih SMA.
Kulitnya putih, hidungnya mancung, alisnya tebel, dan yang paling seksi adalah bibirnya. Eh! Kenapa gue malah kagum ama tampangnya, sih. Untung ini cuma diucapkan dalam hati, sehingga yang dipuji Helen pun tidak bakal besar kepala.
"Tante?" Helen mengernyitkan dahinya, seakan mempertanyakan lagi tentang kata itu.
"Iya. Tante. Tante mau kabur gitu aja setelah nabrak saya?" Anak SMA itu tampak tidak terima ketika Helen tidak mengindahkannya apalagi minta maaf.
Helen nampak memejamkan mata sekali, kemudian membukanya. Helen mengambil nafas panjang yang dikeluarkannya perlahan. "Maaf, ya Bocil. Gue buru-buru. Sekarang, lepasin!" Helen menyentakkan bahunya yang masih dalam cengkeraman siswa SMA itu.
Gadis itu berniat berbalik, namun siswa SMA itu buru-buru menghadangkan tubuhnya di hadapannya.
"Mau apalagi, sih?" Helen memutar kedua bola matanya malas.
"Memang orang tua Tante ngajarin minta maaf kayak gitu?" Siswa SMA itu belum mau melepaskan Helen.
"Hei! Bocil. Yang harusnya minta maaf itu lo, bukan gue. Seenak jidat lo, gue dipanggil tante. Emang udah kelihatan tua apa?" Rahang Helen mengeras mendengar berkali-kali dia dipanggil tante.
"Lah dandanan situ kayak tante-tante gitu, masak marah dipanggil tante?" Bisa-bisa beronde-ronde pertengkaran ini jadinya.
Masak, sih? Perasaan cuma nambah pake blush on sama lipstik warna merah menyala. Masak kayak tante-tante, sih? batin Helen masih mempertanyakan tentang kebenaran perkataan anak sekolah di hadapannya.
"Nggak usah ngarang, deh, ya. Pokoknya gue nggak terima dipanggil tante. Bisa gue laporin sebagai tindakan kurang menyenangkan." Bukan namanya Helen kalau ngalah gitu aja. Bahkan sejenak gadis itu lupa kencannya dengan Gio.
Raut keterkejutan muncul di wajah siswa itu. Mungkin sedikit takut mendengar kata lapor. Lapor polisi?
Siswa itu mulai menetralkan raut wajahnya kembali. "Saya juga bisa balik melaporkan Tante. Nabrak orang sembarangan!" gertaknya.
"Ha ... ha ... ha ...! Mana ada laporan kayak gitu? Kalo nabrak pake motor apa mobil baru bisa dilaporin. Minggir! Gue buru-buru." Helen teringat lagi akan janji kencannya, dilihatnya kembali jam di pergelangan tangannya. Udah telat banget, nih. Semoga Gio mau nungguin.
"Minta maaf dulu. Baru saya minggir." Ketika dua orang keras kepala berselisih, tidak akan ada yang mau mengalah. Apa jadinya jika mereka menikah?
"Udah 'kan, tadi?"
"Iya, tapi nggak sopan banget."
"Oke!" Helen menghela nafas. "Gue minta maaf. Cukup?" Meski minta maaf, Helen masih saja kelihatan galak. Nggak ada manis-manisnya gitu.
"Ini kalo sampe gue ditinggal cowok gue, lo yang mesti tanggung jawab."
"Tanggung jawab macarin Tante, gitu?" tanya siswa itu dengan nada datar yang sontak membuat Helen membolakan mata.
"Sembarangan! Ogah gue pacaran ama lo, Bocil."
"Sama. Saya juga nggak mau. Lagian kenapa saya yang disalahin jika Tante ditinggal cowoknya?"
"Karena .... Sudah-sudah! Ngapain juga gue mesti jelasin ke elo? Satu lagi, jangan panggil tante-tante mulu. Gue masih muda."
"Siapa?"
"Gue lah, masih muda."
"Yang nanya?" Sebenarnya Helen sangat geram dengan anak itu, tapi mati-matian ditahannya.
Hari ini gue bakal ketemu Gio. Gue mesti tetap tenang biar nanti tetep manis waktu ketemu. Hatinya terus berusaha meredam emosinya yang sudah sampai ke ubun-ubun.
"Sekarang minggir! Gue mau jalan." Anak itu segera menggeser badannya agar Helen dapat melewatinya. Beberapa saat dia masih bergeming di tempatnya, meski Helen sudah semakin jauh darinya.
"Sial banget, sih pagi ini. Ketemu bocil gila yang keras kepala," gerutu Helen di perjalanannya. Author yakin, Helen tidak sedang berkaca ketika mengucapkannya.
Pos jaga semakin dekat dari penglihatan Helen. Segera dia mempercepat langkahnya, membayangkan bayangan wajah Gio sedang menahan rindu karena menunggunya.
Setelah berada di pos jaga, mata Helen celingukan mencari mobil kekasihnya. Nggak ada apa-apa.
"Pak Jono, tadi udah ada mobil yang nungguin di sini, nggak?" tanya gadis itu pada Pak Jono, satpam di perumahan itu. Yang ditanya tampak sedang mengingat-ingat.
"Kayaknya ... tidak ada mobil yang berhenti di sini sedari tadi, Neng. Bapak tidak melihat." Helen tampak kecewa mendengar jawaban dari pria berusia empat puluhan itu.
Helen membuang nafas kasar. "Beneran Bapak nggak lihat?" Berusaha meyakinkan sekali lagi, tapi yang didapat hanya sebuah gelengan.
Tepat di saat Helen hendak membalikkan badannya, terdengar suara dari dalam tasnya. Dengan cekatan gadis itu segera merogoh tas itu dan mengambil benda pipih yang menjadi sumber suara.
"Gio!" Senyumnya kembali terbit ketika melihat nama yang tertera di layar. Laki-laki yang sudah membuat hatinya berdebar tidak karuan.
"Halo, Gio." Entah hilang kemana rasa kesalnya tadi, seolah tak bersisa. Yang ada hanya rasa bahagia karena membayangkan bakal ketemu sang pujaan hati.
"Halo, Beb. Maaf gue mesti batalin kencan kita kali ini. Tiba-tiba nyokap minta dianter ke salon. Dan gue sebagai anak berbakti wajib dong nurut, biar nggak dikutuk jadi batu." Tiba-tiba rasa kecewa menjalari hatinya. Tapi, harusnya dia bangga, dong, punya cowok yang sayang sama mamanya.
"Oh, baiklah. Nggak papa." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Bayangan kencan pertama yang romantis, tiba-tiba ambyar dari khayalannya.
"Udah dulu, ya. Mama udah manggil."
"I--" Tanpa menunggu sahutan dari Helen, panggilan itu sudah diputus dari ujung sana. Meninggalkan bunyi seperti kereta api di ujung sana dan seorang gadis yang terlihat begitu nelangsa.
"Kenapa, Neng? Kok wajahnya mendung gitu?" Merasa penasaran dengan ekspresi yang ditunjukkan Helen, Pak Jono pun memberanikan diri bertanya.
Terdengar helaan yang cukup keras. "gagal kencan, Pak," jawab Helen singkat.
Dengan tidak semangat, Helen membalikkan badan dan berjalan kembali menuju rumahnya.
"Ini pasti gara-gara ketemu bocil itu. Kesialan gue jadi berlipat-lipat," gerutunya.