2

1508 Words
Syaquilla melepas kerudungnya dan menatap cermin di hadapannya. Kantung mata tampak terlihat jelas. Ia letih, tentu saja. Ia baru saja kembali dari polsek untuk menyelesaikan laporan kebakaran cafe nya. Ia bahkan belum menghitung berapa besar kerugian yang ia derita. Tapi sudahlah, selalu ada berkah di setiap musibah bukan? Suara ketukan pintu terdengar. "Masuk." Ucapnya dengan nada lebih tinggi. Ibu tirinya muncul dengan tatapan sendu. "Kamu baik-baik saja?" Sapanya dengan wajah khawatir. Qilla mengangguk, namun tak urung juga airmata kembali menggenang di pelupuk matanya. Dengan lembut Caliana merengkuh tubuhnya, mendekap kepala Qilla ke dadanya dan mengelus rambutnya perlahan. "Semua pasti ada hikmahnya." Ucapnya menenangkan. Qilla hanya mengangguk dalam dekapannya. Airmatanya kini berderai tak terbendung lagi. Ibu tirinya membiarkannya menangis sampai pakaian yang dikenakannya berubah basah. Namun pelukannya tak pernah terlepas, dan usapannya masih begitu lembut. Saat tangisnya berubah menjadi isakan pelan, ia mendongak dan menatap wajah cantik ibunya. "Semua akan baik-baik saja. Anggap saja kamu harus memulai semuanya dari nol." Syaquilla hanya mengangguk mengiyakan. "Mandilah, setelah itu kita makan malam. Papamu sudah menunggu di bawah. Jangan sampai dia khawatir." Perintahnya tegas. Syaquilla kembali mengangguk. Caliana mengecup kepala putrinya dengan lembut sebelum akhirnya meninggalkan kamar. Syaquilla tidak mengalihkan pandangannya dari ibu tirinya. Sampai sosok itu menghilang di balik pintu. Apa yang dijanjikan Tuhan memang selalu benar. Setelah semua duka yang ia rasakan selama 13 tahun, akhirnya ia menemukan sosok ibu yang mencintainya seperti anaknya sendiri. Mengingat kembali perjuangan yang ia dan sahabatnya Carina lakukan untuk bisa meluluhkan hati Papanya dan Caliana membuat Syaquilla tersenyum. Bahkan sudah sepuluh tahun berlalu sejak saat itu, dan Syaquilla masih merasa itu baru saja terjadi kemarin. Qilla menepuk kedua pipinya dan bangkit dari duduknya. Semua orang tentu tahu kalau ia sedang tidak baik-baik saja, tapi setidaknya ia tidak boleh membuat orang mengira dirinya begitu terpuruk karena keadaannya. Sepuluh menit kemudian ia sudah turun menuju meja makan. Adik pertamanya Ilker yang kini berusia delapan tahun sudah duduk manis di tempatnya dan tersenyum ke arahnya. Mata hijaunya mempesona, selalu tampak ramah tak seperti milik ayahnya. Ayahnya sudah duduk di kepala meja dengan tablet di tangannya, mengupdate berita terbaru lewat media online. "Hai, Sayang." Sapanya saat Qilla sudah ada di dekatnya. Papanya, sejak mengenal Caliana memang berubah menjadi pria yang hangat. Ayah yang baik dan perhatian. Tidak seperti sebelum mengenal ibu tirinya. Ayahnya menyembunyikan semua kasih sayangnya dengan sikap kaku. Terima kasih karena Tuhan mempertemukan mereka dengan Caliana. Pujinya dalam hati. "Malam, Pa." Sapanya dan mencium sisi kepala Adskhan seperti kebiasaannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Ia melakukan hal yang sama pada adik sulungnya. "Hai, prens." Sapanya ramah. "Hallo juga, prenses." Jawab adiknya. "Bagaimana sekolahmu?" "Good!" Jawabnya dengan santai. "Tidak ada yang tidak bisa kulakukan, itu sudah pasti." Jawabnya dengan nada bangga. "Smart boy!" Ucap Syaquilla seraya mengacak rambut adiknya. Caliana lalu muncul dengan semangkuk ayam pedas di tangannya. "Ayam taliwang!" Serunya seraya meletakkan mangkuk di atas meja. "Rasanya super pedas, semoga tidak ada yang sakit perut besok." Lanjutnya seraya duduk dan meraih piring. Seperti kebiasaan, ibunya mengisi piring dengan nasi dan lauk-pauknya lalu memberikannya pada setiap orang, dan terakhir untuk dirinya sendiri. Keempatnya makan dengan obrolan ringan. Satu lagi dari sekian banyak kebiasaan yang ditularkan Caliana pada keluarganya. Berbicara saat makan. Karena menurut ibunya itu, keakraban bisa dibangun dengan saling bercerita. Dan Syaquilla suka itu. Kecuali jika ceritanya harus bertema tentang dirinya. Baru Syaquilla merasa enggan. "Bagaimana hasil penyelidikan polisi?" Tanya ayahnya beberapa saat setelah obrolan ringan berlangsung. "Mereka bilang kemungkinan kebakaran yang disengaja. Mereka masih mendalaminya. Tapi mereka sudah mengijinkan cafe berjalan kembali." Ya, selama dua minggu ini masa-masa yang sukit untuk Syaquilla. Tidak ada pemasukan dari cafe, semua kerusakan harus diperbaiki dan karyawan masih harus dibayar meskipun cafe tidak beroprasi. "Menurut Mama, lebih baik kamu cari lokasi lain. Pindah dari sana." Ucap ibunya yang dijawab dengan anggukan pelan dari Papanya. "Cari lokasi yang lebih strategis, meskipun mengeluarkan biaya yang lebih besar, tapi kalau kamu bisa menentukan lokasi yang baik, prospek ke depannya juga insyaAllah akan ada hasil." "Qilla juga udah mikir kesana, Ma. Lokasi yang sekarang emang udah gak nyaman. Kemarin juga udah sharing sama Carina. Dia lagi cari info lewat temen-temennya." Jawab Syaquilla jujur. Ya, di lokasinya yang sekarang memang benar-benar tidak nyaman. Meskipun lokasinya strategis, tapi jika tempatnya seringkali dipalaki preman, bukan hanya dirinya, tapi juga konsumennya tidak merasa nyaman. Apalagi area parkir yang tidak memadai dan seringnya terjadi curanmor. "Kalau ada apa-apa. Bilang sama Papa. Anggap saja Papa investor kamu. Papa selalu mendukung kamu, kamu tahu itu kan?" Ucap papanya meyakinkan. Qilla mengangguk mengiyakan. Dan obrolan berlanjut pada hal lain yang lebih ringan. ☘️☘️☘️ Carina meletakkan beberapa lembar foto di hadapannya. "Itu beberapa lokasi yang disaranin sama anak-anak." Ucapnya seraya menyeruput jus dinginnya. Saat ini mereka sedang duduk santai di salah satu kedai yang ada di area kampus. "Kalo aku sih milihnya di daerah itu." Tunjuknya pada satu ruko berlantai dua yang baru saja selesai renovasi. "Biaya sewanya emang agak tinggi. Tapi kalo dilihat dari lokasi, trus sama renovasi yang owner nya baru lakuin, aku sih oke." Carina dan Syaquilla sudah bekerja sama mengelola cafe selama lima tahun terakhir. Meskipun awal mula mereka mendirikan cafe berasal dari dana kedua orangtua, namun lambat laun kerja keras mereka membuahkan hasil. Mereka menjadi pemilik sekaligus pengelola cafe mereka sendiri yang sekarang sudah merambah dari satu cafe menjadi tiga cafe dengan jenis sajian yang berbeda. Korean, Japanese dan Western. Tiga konsep di masing-masing cafe yang mereka dirikan dengan model kekinian. Tentu saja, target pasar mereka adalah anak-anak muda yang hobi nongkrong dan pecinta kuliner tentunya. Dan salah satu cafe mereka yang terbakar tempo lalu adalah salah satu cafe makanan korea. Salah satu cafe mereka dengan tingkat pengunjung paling tinggi dan penghasilan bertimbal balik pastinya. Syaquilla kembali menatap foto yang ada disana dan pilihannya kembali pada pilihan Carina. Karena memang itulah yang paling tepat. Ia lalu mengangguk menyetujui. "Kita bisa survey lapangan secepatnya. Nanti aku kontak dulu si empunya." Lalu menekan tombol yang ada di ponselnya sementara Syaquilla kembali membuka-buka lembaran foto meski kepalanya berdenyut tak karuan. Ia benar-benar kurang tidur, konsentrasinya terpecah antara kuliah dan cafe. Ia seharusnya sudah mulai kembali bekerja di perusahaan ayahnya setelah sebelumnya mengajukan pengunduran diri karena harus fokus menyusun skripsi. Namun itu hampir setahun yang lalu. Dan sekarang, Syaquilla mulai fokus untuk menyelesaikan S2 nya, sebelum pikirannya beralih pada hal lain. Bukan karena gelar yang Syaquilla kejar. Ia melanjutkan kuliah karena merasa diburu waktu dan terlebih karena ia tidak takut keburu malas. Tahu sendiri saat sudah merasa nyaman dengan pekerjaan dan puas dengan gaji yang didapat, beberapa orang malah tidak ingin melanjutkan kuliah dan lebih memilih untuk bekerja saja. Sementara Syaquilla pikir, tidak mungkin dirinya bekerja, kuliah dan mengembangkan cafenya dalam waktu yang bersamaan. Otak kecilnya tidak akan mampu mengemban semua itu. Dan terlebih, minatnya lebih pada kuliner dibanding bekerja seharian di kantor. Meskipun ayahnya sering menggerutu karena hal itu. Carina sudah kembali duduk. "Kita bisa kesana nanti sore. Kamu gak ada kelas lain?" Syaquilla menggeleng. "Are you okay?" Tayanya dengan cemas. "Muka kamu pucat, La." Carina meraba kening Syaquilla dengan punggung tangannya. "Tapi kamu gak demam." Syaquilla menepis tangan sahabatnya seraya tersenyum. "I'm okay." Jawabnya menenangkan. "Cuma kurang tidur aja." "Kan udah aku bilang, jangan terlalu dipikirin. Kerugian kita gak sampe bikin minus kas cafe, La." "Iya, tahu. Tapi mau gimana lagi, tiap kali mau merem yang kebayang cafe mulu." Jawabnya dengan kekehan geli. Carina hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Mau istirahat di apartemen?" Tanyanya yang dijawab anggukan Syaquilla. Setidaknya tempat ternyaman kedua setelah rumah kedua orangtuanya, itu adalah apartemen sahabatnya. Syaquilla duduk di samping Carina yang sedang mengemudikan mobilnya dengan tangan memijat pelipis. Denyutan di kepalanya belum berhenti juga. Seharusnya ia mampir ke apotek atau minimarket untuk membeli obat sakit kepala. Tapi sudab terlambat, mereka sudah sampai di basement apartemen Carina. Mereka berjalan dalam diam menuju apartemen Carina yang ada di lantai 15. Sebenarnya apartemen itu bukan milik Carina pribadi. Namun milik pamannya yang memang Carina tinggali selama dua tahun terakhir ini. Karena selama dua tahun pertamanya apartemen ini disewakan dan di tahun ketiga baru Carina tempati dan sesekali, atau sebetulnya seringkali Syaquilla menginap disana, sebagai pelepas rindu pada sosok si pemilik apartemen yang memilih melanjutkan program studi banding kedokterannya di Jerman. Pria itu, Gilang. Adik dari ayah Carina dan juga merupakan kakak kembar dari ibu tirinya, Caliana. Gilang, sesosok pria yang selama ini menjadi pujaan hati Syaquilla. Meskipun tak pernah ada yang tahu, karena ia menyimpan rasa itu rapat, untuk dirinya sendiri. Gilang Hammam Putra, sesuai dengan namanya, Gilang yang berarti bercahaya terang dan Hammam yang artinya pahlawan. Baginya Gilang adalah sesosok pahlawan yang menerangi hatinya, meskipun pria itu tak pernah tahu. Hmm.. Gilang. Apa kabarnya paman tirinya itu? Sudah lima tahun pamannya itu meninggalkan Indonesia, dan dua tahun mereka tidak pernah berjumpa meskipun ada acara besar keluarga. Apakah pria itu merindukannya? Karena Syaquilla sangat merindukannya. Rindu yang sebenar-benarnya rindu meskipun ia tidak pernah mengucapkannya. Syaquilla ingin memejamkan mata, berharap sosok yang dirindukannya bisa singgah sejenak saja dalam mimpinya. Sekedar menghilangkan mimpi buruk yang sudah dua minggu ini menghantuinya. _____________________________________________ Jangan lupa untuk memasukkan cerita ini ke library kalian ya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD