3

2581 Words
Carina menekan password apartemennya. Dan suara 'klik' terdengar sebagai tanda pintu terbuka. Keduanya masuk disambut dengan panas ruangan yang lupa didinginkan. Carina meraih remote AC yang ada tepat di meja bar yang ada di samping kanan pintu dan menyalakannya sampai suhu yang sesuai. "Ada aspirin? Atau obat sakit kepala lain?" Tanya Syaquilla yang sudah meraih kotak obat namun tak mendapatkan apa yang dicari. "Gak ada, lupa beli. Beneran pusing?" Tanyanya dengan khawatir. Syaquilla mengangguk. "Ya udah, tunggu disini. Biar aku turun ke minimarket di bawah." Carina mencari dompet yang ada di dalam tasnya dan kembali berjalan keluar, sementara Syaquilla yang sudah tidak tahan dengan sakit di kepalanya memilih untuk membaringkan tubuhnya di sofa. Ia bergelung di atas sofa dengan memeluk bantal. Rasanya sedikit nyaman. Memejamkan mata seraya menunggu kedatangan Carina, ia malah tertidur. Carina menunggu lift sampai ke lantai mereka. Betapa terkejutnya dia ketika pintu lift terbuka dan sosok yang sudah lama tak ditemuinya berdiri di sana. Menatapnya dengan sama kagetnya lalu kemudian menyeringai. "Hai, Moana." Sapanya dengan cengiran khas nya. "Long time no see." Sapanya dengan sebelah tangan melambai. "Oh My God. Uncle!" Pekiknya seraya menghambur ke pelukan Gilang. "Kenapa gak bilang kalo uncle pulang?" Tanyanya dengan dahi berkerut tak senang. "Biar jadi kejutan dong." Lanjutnya dengan santai. "Berapa lama?" Tanyanya lagi, kali ini dengan alis terangkat. Namun tangannya masih merangkul pinggang pamannya dengan erat. "Baru balik udah main usir aja." Jawab pria itu dengan nada tersinggung yang dibuat-buat. "Ya bukannya gitu, uncle sih kayak jelangkung. Datang tak dijemput pulang tak diantar." "Kalimat yang salah tuh. Yang benar 'pulang gak dijemput, pergi gak diantar'." Koreksi pamannya. Mereka sudah ada di depan pintu dan Carina kembali menekan password. "Ya Tuhan!" Pekiknya saat pintu terbuka. Karena kehadiran Gilang, Carina melupakan kebutuhan Syaquilla. Ia menepuk jidatnya dengan cukup keras. "Uncle, aku ke bawah dulu. Sebentar ya." Ucapnya lalu berlari meninggalkan Gilang masuk ke dalam apartemen sendiri. Gilang melepas sepatunya dan berjalan menuju kamar yang biasa di tempatinya tanpa menyadari ada sosok yang berbaring di atas sofa. Ia meletakkan ranselnya begitu saja di samping nakas dekat tempat tidurnya dan memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Perjalanan panjangnya dari Jerman ke Jakarta dan langsung menuju Bandung membuat tubuhnya benar-benar lelah. Belum lagi jetlag dan rasa laparnya. Ia bisa menahan laparnya sejenak. Menahan lapar tak akan membuatnya mati. Tapi ia benar-benar butuh mandi air hangat. Syaquilla terbangun karena suara-suara gemerisik yang didengarnya. Kepalanya masih berdenyut kencang. Pandangannya juga berkunang-kunang. Sepertinya anemianya kambuh. Gumamnya dalam hati. "Rin.." Panggilnya dengan lirih saat suara gemerisik itu kembali terdengar. Berharap sahabatnya itu muncul dengan obat yang dibutuhkannya. Namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Ia terduduk di sofa sambil memijit kepalanya. Rasa sakitnya jadi semakin bertambah. Pandangannya jadi tidak fokus. Sesekali ia menggeleng dan mengerjapkan mata. "Rin.. kamu dimana?" Panggilnya lagi. Namun tetap tidak ada tanda-tanda Carina berjalan ke arahnya. Ia mencoba berdiri dengan menopangkan tangannya di punggung kursi. Namun apa yang dilihatnya sungguh membuatnya shock, lututnya terasa lemas seketika. Pria itu. Pria yang tadi diingatnya, pria yang begitu dirindukannya kini berdiri di hadapannya. Terlihat begitu segar dan tampan dengan rambut basah dan kaus putih polos lengan pendek serta celana olahraga selutut seperti kebiasaannya. Syaquilla kembali menggelengkan kepala ketika denyutan di kepalanya semakin menjadi. Sekaligus mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Demi Tuhan, mimpi apa dia saat ini? Bahkan imajinasinya bisa berkembang sejauh ini. "Qilla..?" Tanya pria itu dengan nada was-was. Syaquilla merasa bibirnya terangkat, tersenyum. Bahkan dalam khayalannya pun suara itu terdengar jelas. Sejelas denyutan di kepalanya dan dengungan di telinganya. Tuhan, kenapa kau mengujiku seperti ini? Bisiknya dalam hati. "Qilla, kamu baik-baik saja?" Suara itu kembali bertanya. Syaquilla kembali berusaha memfokuskan pandangannya, namun yang terjadi justru pandangannya mengabur dan entah bagaimana semuanya menjadi gelap. Gilang bergerak cepat, mencoba menahan tubuh Syaquilla agar tidak ambruk ke lantai, bersamaan dengan pintu terbuka dan Carina muncul. "Qilla..!" Pekikan kaget itu disertai dengan derap kaki yang mendekat. "Uncle, dia kenapa?" Tanyanya bingung. "Uncle gak tahu. Tadi dia berdiri, lalu ambruk." Gilang mengangkat tubuh mungil Syaquilla dengan mudah dan membawanya masuk ke dalam kamar Carina yang sudah Carina buka sebelumnya. Dibaringkannya tubuh yang lemah itu dan dengan cepat Gilang beranjak ke kamarnya, membongkar ranselnya dan mengambil peralatan medisnya. Carina mengusap kening Syaquilla yang mulai berkeringat dingin. Gadis itu terdengar melenguh dalam tidurnya. Wajahnya benar-benar pucat. Carina sedang melepas kerudung yang digunakan sahabatnya dengan maksud untuk membuat gadis itu lebih nyaman dan tidak tercekik saat Gilang kembali dengan alat medisnya dan mulai memeriksa. Tak lama kemudian Gilang kembali meletakkan peralatan ke dalam tas nya. "Dia kelelahan." Gumamnya namun terdengar jelas di telinga Carina. Gilang mencari infusan yang selalu dia bawa di dalam tas nya. Mencari tempat supaya bisa menggantungnya sebelum memasangkan selang dan jarumnya ke lengan Syaquilla. "Dia kenapa? Apa terjadi sesuatu?" Tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah pucat Syaquilla seraya mengontrol tetesan cairan infusnya. Lalu menyuntikkan sesuatu kedalam tabung infus. "Dari siapa pertanyaan itu berasal? Dokter Gilang, Uncle Gilang, atau pria bernama Gilang?" Tanya Carina balik menggoda. Gilang mendongak. Tatapannya berubah tajam. "Dari seorang manusia kepada manusia lainnya atas dasar kemanusiaan." Jawabnya ketus. Carina mencebik. "Ah Uncle, kau membuatku kecewa." Jawabnya jujur. Carina menutupi tubuh Syaquilla dengan selimut sampai ke batas dadanya sebelum beranjak meninggalkan kamar, diikuti pamannya. "Dia memang kelelahan, dan sedang banyak pikiran." Jawabnya ketika mereka sudah berada di area dapur. "Minum?" Tawar Carina, yang dijawab gelengan kepala. "Lapar, sebenarnya." Jawabnya sambil duduk di meja bar. "Sebentar lagi. Tadi sudah pesan makanan via online. Sabar ya." Jawab Carina santai. Ia menuangkan sirup ke dalam gelasnya dan memasukkan gula sebelum menyeduhnya dengan sedikit air panas. Tepat saat ia hendak memasukkan es batu, bel apartemen berbunyi. "Tepat waktu." Gumamnya kepada Gilang. "Tuh, makanan uncle sudah datang. Kali ini aku yang traktir, nanti giliran." Jawabnya sambil lalu. Gilang mengedipkan sebelah mata "Anytime, Moana." Jawabnya seraya berjalan menuju pintu. Seorang pria mengenakan jaket dan helm berlogo ojek online berdiri dengan menenteng dua kantung makanan dan minuman yang berasal dari satu resto yang tidak Gilang kenal. "Apartemen Ibu Carina?" Tanya si tukang ojek yang dibalas anggukan Gilang. "Lima potong ayam penyet, empat nasi dan tiga jus jeruk." Pria itu menyodorkan bungkusannya kepada Gilang. "Jangan lupa bintangnya ya, Mas." Lalu dengan sopan tukang ojek itu pergi. "Tiga orang tapi pesan sampe lima ayam, kamu gak salah?" Gilang meletakkan bingkisan itu di atas meja, yang langsung dibuka oleh Carina. "Ini makanan favoritnya Qilla. Siapa tahu dia jadi nafsu makan. Udah beberapa hari ini dia sulit makan. Udah kurus ntar makin kurus aja dia." Ucap Carina blak-blakan. Gadis itu bahkan belum menjawab pertanyaan Gilang sebelumnya. "Jadi dia kenapa?" Gilang mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Dan rasa ayam itu benar-benar membuatnya jatuh cinta. Pedas yang membuat orang tak ingin berhenti memakannya. "Kami baru kena musibah." Jawab Carina dengan santai. "Salah satu cafe mengalami kebakaran. Tidak ada korban jiwa. Dan kerugiannya juga tidak terlalu besar sebenarnya. Masih bisa kami tangani. Hanya saja, dengan bolak-balik ke kantor polisi untuk membuat laporan, tuntutan pemilik ruko dan juga memikirkan nasib karyawannya membuat Qilla jadi kurang istirahat. Belum lagi dia masih tidak tahu siapa dalang dibalik kebakaran dan apa alasannya. Kayaknya itu yang membuat pikiran Qilla benar-benar terkuras. Tahu sendiri kan Qilla orangnya gimana." Gilang terdiam. Qilla memang tipe yang berbanding terbalik dengan Carina. Anggaplah keberadaan mereka saling melengkapi. Jika Carina optimis, maka Syaquilla orang yang pesimis. Jika Carina selalu memikirkan kemungkinan terbaik, maka Syaquilla akan memikirkan sisi terburuk. Jika Carina orang yang tidak peduli dengan tanggapan orang, maka Syaquilla orang yang sangat peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Terkadang menyulitkan, tapi ada beberapa hal positif dari sifatnya itu. Dia orang yang sangat perhatian dan peduli pada orang lain. Mudah membantu dan menyayangi tanpa pandang bulu. Dia ramah, dia tegar, dan dia cantik. Ya, Syaquilla cantik. Darah timur tengah dari ayahnya sangatlah kental. Wajahnya adalah versi wanita ayahnya. Hanya bola matanya saja yang berbeda. Jika Adskhan memiliki bola mata hijau, maka Syaquilla memiliki bolamata berwarna coklat yang terang dan indah. Dan jika ukuran tubuh Adskhan tinggi besar seperti anak raksasa, Qilla versi kebalikannya. Tubuhnya mungil, bahkan lebih kecil dari Carina. Tidak kecil sebenarnya. Tinggi tubuhnya standar untuk orang Indonesia, hanya saja untuk blasteran yang biasanya bertubuh tinggi, 160cm memang terhitung pendek. Dibandingkan Carina yang memiliki tinggi 170cm. Dan lagi, jika Carina pemberani, maka Syaquilla adalah gadis yang pemalu. Nama Khumairah sebenarnya lebih cocok untuk gadis itu. Karena seringnya wajahnya memerah karena malu. Membuat Gilang semakin suka menggodanya. Tapi itu dulu. Saat gadis itu masih remaja. Sekarang gadis itu sudah dewasa. Terlihat dari bentuk tubuhnya saat tadi Gilang memeriksanya. Pikirannya juga pasti sudah dewasa. Meskipun Gilang tidak tahu apakah karakter pemalunya masih sama atau tidak. Sudah hampir lima tahun mereka tidak bertemu. Bukan waktu yang singkat untuk merubah karakter seseorang, kan? Gilang sudah menghabiskan dua potong ayam dan dua porsi nasi. Dia benar-benar lapar. Itu tidak bisa dia pungkiri. Carina hanya menatapnya dengan sebelas alis terangkat. Senyum mengejek tersungging di wajahnya yang tirus. "Rakus." Gumamnya yang hanya dibalas tawa oleh Gilang. Gadis itu membersihkan sisa makanannya dan mencuci piring yang digunakannya. "Tidurlah, uncle. Supaya nanti ketika Qilla bangun dia tidak terkejut lagi." "Apa maksudmu?" "Maksudku, bisa jadi alasan Qilla tadi pingsan karena terkejut ada mayat hidup berjalan di depannya. Lihat penampilanmu. Tidak rapi. Dan kantung matamu? Seperti panda yang tidak tidur selama musim dingin." Ejekan Carina malah membuat tawa Gilang semakin membahana. Ia bangkit dari duduknya. "Sepertinya kau benar, Moana." Ucapnya dan berjalan menuju kamarnya. "Lebih baik aku menghilangkan jetlag ku. Bangunkan uncle sebelum adzan." Ucapnya sebelum menutup pintu. Carina kembali mendudukkan tubuhnya di kursi bar. Menghela napas panjang. Apa yang pamannya lakukan kali ini? Ia bersedih untuk sahabatnya. Ia satu-satunya orang yang tahu betapa sepupu tiri sekaligus sahabat baiknya itu jatuh cinta pada pamannya. Ya. Ia tahu bahwa Syaquilla begitu mencintai Gilang. Meskipun itu tanpa sengaja. Ia tahu alasan kenapa sahabatnya itu memilih meninggalkan Bandung dan kuliah di kota Yogya. Tidak lain sebagai upaya gadis itu untuk melupakan pamannya yang tiba-tiba memutuskan untuk melanjutkan meraih gelar doktoral nya di Jerman. Syaquilla remaja patah hati. Bagaimana tidak, pria yang dicintainya memutuskan untuk pergi setelah menolak cintanya. Cinta yang bahkan belum ia sempat ungkapkan secara langsung. Flashback Itu adalah hari dimana keluarga Adskhan merayakan ulangtahun Ilker yang ketiga, sekaligus syukuran kehamilan Caliana yang memasuki usia tujuh bulan. Carina, Syaquilla sedang duduk bersama di gazebo untuk menikmati makanan. Gilang saat itu datang terlambat. Dia datang bersama rekan sesama dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama dengannya dan ikut bergabung bersama mereka. Dr. Aathaf dan Dr. Zemira. "Boleh bergabung?" Sapa Dr. Aathaf ramah. Carina dan Syaquilla mengenalnya karena dokter itu sudah sering bermain ke rumah mereka. Sementara Zemira, ini untuk pertama kalinya mereka bertemu. "Silahkan, Dok." jawab Carina. Gazebo yang sudah hampir penuh itu sekarang benar-benar penuh. "Ini dokter Zemira. Dia baru di bangsal kami." Ucap Gilang mengenalkan. "Ini keponakan-keponakanku. Carina, Syaquilla." Lalu mereka saling memperkenalkan diri. Carina melihat Zemira dan Gilang bergantian. Dilihat dari gerak-geriknya, ia tahu bahwa dokter wanita itu menyukai pamannya. Dari rentang usia, Carina dan Syaquilla adalah orang yang lebih muda diantara mereka. Maka ketika orang-orang itu berbicara mengenai bisnis dan hal-hal yang sesuai dengan usia mereka, kedua gadis belia itu tidak mengerti.  Yang ia tahu saat itu adalah, aurakecemburuan yang menguar di udara dari sahabatnya, Syaquilla. Sementara Gilang, entah ia tahu atau memilih untuk berpura-pura tidak tahu, pria tua itu lebih memilih memerhatikan Zemira yang duduk di sampingnya. Carina tidak hilang akal. Karena tahu Syaquilla tidak akan berani mengungkapkan perasaannya, maka ia akan mencoba membantunya. "Hey Om-Om." Tunjuk Carina pada Gilang dan Aathaf. "May I ask you something?" Tanyanya yang dijawab anggukan keduanya. "Tapi tolong jawab dengan jujur." Lanjut Carina lagi yang diberi anggukan oleh ketiganya. "Oke, ini pertanyaannya. Jadi, Carina kan saat ini umurnya 18 tahun ya menuju 19. Menurut kalian itu umur dewasa atau masih bocah?" Ia memandang Aathaf terlebih dulu. "Jelas masih belia. Belum masuk dewasa." Jawab Aathaf jujur. "Tergantung." Jawab Gilang. "Tergantung apa?" Tanya Carina bingung. "Tergantung kamu nanyanya dewasa secara apa? Fisik atau pola pikir?" "Keduanya." Jawab Carina lagi. "Ya setiap orang kan punya karakter yang berbeda. Ada yang matang secara pikiran, namun belum secara usia. Dan ada yang sebaliknya." Kening Carina berkerut. "Oke. Sekarang nilai kami bertiga. Aku sama Qilla. Menurut uncle kami bagaimana." Tantangnya. "Kamu, jauh dari kata dewasa. Kamu masih anak-anak. Dan Qilla, dia sudah dewasa secara pemikiran." Jawab Gilang jujur. "Oke. Next question." Ujarnya. "Misal, aku sama Qilla, suka sama pria seumuran Om-om yang ada disini. Apa kalian akan menerima kami?" "Suka sama cinta bisa jadi definisinya berbeda untuk kita para laki-laki, dan untuk kalian yang masih belia." Jawab Aathaf. "Maksudnya?" "Ada suka sekedar suka. Ada suka yang menuju obsesi. Ada cinta yang benar-benar cinta. Dan ada cinta yang berdasar pada obsesi. Jadi suka dan cinta mana yang kamu maksud?" Carina mengerutkan kening. "Mm.. semacam suka dimana kamu deg-degan kalau lihat orang itu. Terus kamu berharap bisa terus melihat orang itu. Menunggu chat nya yang ga tahu kapan masuk. Atau sekedar sapaan darinya yang bikin hati berbunga?" "Apa kamu kesal kalau dia sama cewek lain?" Tanya Aathaf lalu Carina mengangguk. "Apa kamu khawatir kalau dia gak ngasih kamu kabar? Tapi kamu gengsi buat nanya kabar dia lebih dulu?" Carina kembali mengangguk. "Apa kamu nangis kalau dia pergi?" Lagi-lagi Carina mengangguk. "Lalu kalau ada pria lain yang pedekate sama kamu, kamu nerima pria itu?" Kali ini Carina menggeleng. "Meskipun dia lebih tampan atau lebih kaya dari orang itu?" Carina mengangguk. "Oke fix. Itu cinta. Meskipun gak tahu ya bertahan sampai kapan." Ucap Aathaf dengan senyum geli di wajahnya. "Tapi mengingat kamu gak berpaling sama pria yang lebih ganteng, berarti kamu tulus mencintai kejelekannya." Suara tawa terdengar menggema di gazebo. "Jadi?" Tanya Carina tak sabar. "Ya, kalo itu kena nya di aku, ya gak masalah. Kamu 18 menuju 19, aku sendiri baru menuju 31, beda 12 tahunan lah ya. Kalau aku sih oke. Toh usia kalian udah usia cukup buat menikah. Jadi kalo kami para pria udah tua ini ngebet pengen nikah, tinggal nikahin aja. Usia mah gak masalah." jawab Aathaf santai "Kalo uncle?" Tanyanya pada Gilang. "For me, No!" Jawabnya singkat. "Kenapa?" "Jawabannya udah jelas. Rasanya kayak nikah sama keponakan sendiri. Aku lebih suka sama cewek yang usianya gak beda jauh. Seenggaknya, pola pikirnya gak terlalu bertentangan. Perbedaan satu dekade itu punya banyak pengaruh. Dari sifat, kegemaran, dan cara belajar pasti akan berbeda. Sementara sebuah hubungan, fondasi utamanya kan komunikasi. Kita gak bisa mengalah dan berubah kekanakan hanya demi menyeimbangkan diri dengan pasangan yang lebih muda. Pun sebaliknya, kalian tidak bisa berpura-pura matang hanya untuk mengimbangi kami. Pria yang lebih tua. Dan masalah pelik lainnya akan bermunculan karena satu faktor. Usia. Meskipun mereka yang sebaya belum tentu tidak memiliki konflik. Tapi secara komunikasi, dirasa lebih nyaman." Jawabnya panjang lebar. Carina mengangguk mengerti. Apa yang diucapkan pamannya memang sangat masuk akal menurutnya. Meskipun disisi lain ia cukup patah hati mendengarnya. Carina menatap Syaquilla, ia tampak tersenyum, mencoba tampak tegar seperti biasanya. Sahabatnya itu tahu bahwa apa yang diucapkan Gilang merupakan penolakan secara tidak langsung terhadap keberadaannya, terhadap cintanya. Gadis itu sedih, terlihat dari matanya. Namun Carina tidak ingin memperpanjangnya. Dekade. Itu kata yang tadi Gilang ucapkan sebagai tolak ukurnya. Dinding yang dibangun untuk menghindar dari cinta Syaquilla. Dan sejak saat itu, Syaquilla tampak menjaga jarak dari Gilang. Dan ketika Gilang mengatakan akan melanjutkan S3 nya ke Jerman. Gadis itu memilih untuk mengejar beasiswanya di UGM, Yogyakarta. Sebagai upaya terakhirnya untuk melupakan cintanya. Flashback Off ************************************************* Jangan lupa masukan ceritanya ke library kalian ya... jangan lupa juga komennya,, sangat Mimin tunggu...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD