bc

Nightfall Witch

book_age16+
74
FOLLOW
1K
READ
dark
kickass heroine
confident
witch/wizard
bxg
vampire
sword-and-sorcery
magical world
friendship
sassy
like
intro-logo
Blurb

The Frost Blade [1]: Nightfall Witch

Candice Emrys sempat mengira ia akan hidup terkekang untuk selama-lamanya di dalam sebuah rumah sepetak milik paman dan bibinya. Namun, kejenuhan hidup Candice mulai raib pasca pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan sesosok makhluk bernama Glacies di perpustakaan mini kediamannya. Setelah mengalami beberapa insiden ganjil di hari yang sama dengan eksistensi makhluk itu, Candice tidak memerlukan waktu lama untuk tahu bahwasanya Glacies bukan sembarang makhluk, melainkan separuh jiwa dari Sapphire Galaxy.

Pertemuan Candice dengan Glacies juga berhasil membuatnya terbebas dari pengekangan Paman Miles dan Bibi Harlow selama hampir tujuh belas tahun. Segera, ia menemukan dirinya merupakan seorang penyihir dengan sihir spesial pelenyap. Tidak hanya itu, status Sang Terpilih juga tersemat kepadanya. Candice menjadi si pemegang Sapphire Galaxy, penerus dari Felicite Deghan, sang ibu kandung yang sudah lama mengorbankan diri kepada musuh bersama sang suami.

Memiliki status dan peran penting untuk keseimbangan seluruh alam, Paman Miles dan Bibi Harlow segera mengirimkan Candice menuju Asrama Nightfall yang berpusat di EveFalls Sky. Dari sana, Candice mulai mengawali kisah hidupnya sebagai Sang Terpilih bersama Glacies, mempelajari penggunaan Sapphire Galaxy bersama sang kakak, terlibat dalam beberapa permasalahan mengenai persahabatan dan pengkhianatan, serta berhadapan dengan musuh kedua orangtuanya.

Sebuah organisasi ilegal. Organisasi Harapan.[]

chap-preview
Free preview
CHAPTER 1
CANDICE EMRYS BERTAMBAH usia menurut definisiku bukanlah sesuatu yang menggembirakan, menghebohkan, atau apa pun yang bersarang di dalam pikiran manusia pada umumnya. Pertambahan usia pada setiap tahun memang sudah menjadi perihal yang lazim terjadi dan takkan bisa berhenti sampai embusan napasmu berakhir. Jika perayaan ulang tahun biasanya dipakai dengan menghabiskan waktu bersama teman-teman, namun semua itu tak berlaku untukku. Tidak akan berlaku, maksudku. Begini. Dengan aku mempunyai pola pikir seperti itu, bukan berarti aku sedang melankolis. Terlahir dengan animo sarkasme yang tinggi membuatku besar kemungkinan takkan memiliki teman—bahkan di hari pertamaku bersekolah. Kendati demikian, aku tidak terlalu ambil pusing karena—sekali lagi—segala t***k bengek mengenai kehidupan sosial takkan berlaku untukku. Terkungkung selama tujuh belas tahun kurang satu hari di sebuah rumah satu petak—tanpa hidup berdampingan dengan dunia luar—membuatku tidak dapat mengenal apa pun dan siapa pun. Lebih jelasnya, aku lebih mengenal kehidupan luar dari mendengar ketimbang menilik dengan mata kepala sendiri. Kata monoton mungkin sudah menjadi sesuatu yang tidak asing untuk didengar dan dirasakan oleh sebagian besar manusia di belahan dunia. Dan ironisnya, bagiku monoton bukanlah sesuatu yang dapat mencerminkan betapa datarnya alur kehidupanku—bahkan aku tidak dapat mendeskripsikan versi parah dari ketujuh huruf tersebut. Semua makhluk tentu memiliki alasan tersendiri untuk memenuhi keinginan mereka terhadap sesuatu. Aku mengingat betul salah satu kutipan yang tercantum dari sebuah novel klasik pemberian Paman Miles dan Bibi Harlow. Secara berangsuran, aku mulai merenungkan satu-satu tentang apa alasan di balik pengisolasian mereka terhadapku. Aku tidak pernah sekali pun mengerti dan dapat menangkap kesimpulan dari alasan mereka untuk mengisolasiku hingga detik ini. Kupikir dengan Paman Miles dan Bibi Harlow mengirimkan dua pemuda yang hampir seusia denganku, maka besar peluang untukku melarikan diri. Namun, faktanya tidak berakhir sesuai dengan harapan. Belum genap enam langkah ke luar dari ruang kamar, salah satu di antara kedua pemuda itu sudah berdiri di depan mata dengan berpose sok keren. Ia membiarkan punggungnya bersandar di permukaan dinding seraya memainkan kunci rumah sepetakku dengan menggunakan ruas-ruas jemarinya. Kentara sekali, ia ingin terlihat keren. Lagaknya benar-benar bak seorang pemuda arogan yang mempunyai surai cokelat dengan sepasang netra hijau. Kendati demikian, diam-diam aku mengakui ketampanannya. “Berusaha untuk melarikan diri, hm?” tudingnya. Sedikit tersinggung, aku membeo dengan sengit sekaligus membela diri, “Menurutmu, apa aku bisa keluar dari rumah sepetak ini tanpa kau dan kawanmu itu?” Rhett Ambrose mengukirkan senyum miringnya yang sinting. “Tidak akan bisa,” jawabnya. Kudengar ada nada mencemooh di dalam kalimatnya. Mau tidak mau, hati kecilku mengumpat kesal. “Kau tidak akan bisa melarikan diri dari kami, Emrys.” “Nah, kau sudah tahu!” Berusaha untuk tetap tenang, aku berjalan melintasi Rhett untuk menuju pintu belakang yang memberikanku akses menuju perpustakaan mini milik Paman Miles dan Bibi Harlow. Langkah kaki yang berderap di belakangku membuat suasana hatiku menjadi lebih tidak baik. Kepalaku sontak menengok ke belakang dan menemukan pemuda itu masih mengikutiku dengan senyuman sinting yang tetap melekat di rahangnya yang tegas. “Jangan mengikutiku,” ujarku, datar. “Hanya memastikan kau tidak akan melarikan diri.” Aku mencebik dan menerawang ke sekeliling kami dengan nyalang. Sepanjang hidupku singgah di rumah sepetak ini, tidak ada akses yang membawaku ke mana pun selain perpustakaan mini yang terletak di pekarangan belakang rumah. Pintu depan rumahku selalu berada dalam kondisi terkunci. Pernah aku mencoba setidaknya dua atau tiga kali untuk membuka pintunya, yang kudapatkan hanyalah tenaga yang terbuang sia-sia. Belum lagi, sekeliling pekaranganku terisolasi oleh dinding beton yang luar biasa tebalnya dengan tinggi mencapai hampir enam setengah meter. Satu-satunya tangga kayu dengan lima belas undakan pun tidak akan bisa membantu keinginanku untuk terbebas dari tempat ini. “Apa yang kauharapkan dari seorang gadis semacamku? Sungguh ajaib apabila aku bisa melarikan diri dari tempat ini.” Aku mengangkat dagu dan mengibaskan sebelah tanganku di hadapan Rhett, “Sekarang, tetap di sini dan aku akan kembali.” Sekilas, aku bisa melihat pemuda itu masih tersenyum miring ketika aku mulai berbalik untuk melanjutkan langkahku menuju perpustakaan mini. Helaan napas lega kemudian terlontar dari mulutku begitu saja saat merasakan Rhett tidak lagi mengikutiku. Berdasarkan insting, ia masih memperhatikan kepergianku dari kejauhan tanpa berkutik dari posisinya. Bahkan aku masih bisa merasakan tatapan tajam pemuda itu menembus sampai ke tulang punggungku. Seraya mendengus kesal, aku menaikkan kecepatan melangkah agar tidak lagi merasakan tatapan Rhett. Sesekali kelimpungan karena tak habis pikir dengan Paman Miles dan Bibi Harlow yang telah mengirimkan dua pemuda aneh sekaligus kepadaku ketika mereka sedang memiliki tugas di luar kota selama beberapa hari. Aku cukup bersyukur karena masih belum melihat keberadaan Tristan Baxter—pemuda aneh yang lain—hari ini. Perpustakaan mini itu sudah tampak di dalam visualku, berjarak lima belas meter dari pintu belakang rumah sepetak. Untuk menuju ke sana, kami perlu melintasi berangkai-rangkai tanaman bunga yang telah dipelihara oleh Bibi Harlow sejak masa belianya. Penghujung rangkaian tanaman tersebut diberi tanda dengan adanya sebuah gerabah beton yang cukup besar dengan berisikan kubangan air. Pada permukaan airnya, terdapat beberapa teratai kecil di atas sana. Secara keseluruhan, wilayah yang melingkupi kediamanku memang cukup luas. Kendati demikian, semua itu bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan apabila sepanjang napasmu akan tetap berada di sana tanpa mengenal dunia luar. Segala sesuatu yang mulanya terlihat elok untuk dipandang, jika dilihat secara terus-terusan maka akan mengundang kejenuhan. Dan tingkat kejenuhanku terhadap rumah ini berada di titik puncak tertinggi dari yang paling tinggi. Pintu yang memberikan akses untuk masuk ke dalam perpustakaan mini tidak terlalu tinggi, sehingga aku perlu sedikit menunduk untuk masuk ke dalam sana. Tanganku masih memegang pintu berknop itu saat tubuhku sudah berada di dalam perpustakaan mini. Aroma buku langsung menguar masuk ke dalam rongga hidungku, menjejakkan kenyamanan yang acap kali kudapatkan saat berada di sini. Meskipun Paman Miles dan Bibi Harlow jarang sekali mengurus keapikan buku-buku novel yang terdapat di dalam rak buku beranggotakan tujuh—dengan masing-masing tiga baris—selama kutinjau tidak ada satu pun kerusakan yang tampak pada buku-buku itu. Semuanya masih terlihat sama semenjak pertama kali aku menjejakkan kaki di perpustakaan mini dua belas tahun silam, minus dengan permukaan dinding-dindingnya yang mulai keropos. Aku meneruskan langkah, sebelum itu tidak lupa untuk menutup pintu agar baik Rhett dan Tristan tidak bisa menjangkau keberadaanku dengan sepasang mata tajam mereka. Ruas-ruas jemariku yang menyisir dari satu buku ke setiap buku di sampingnya seakan-akan telah menjadi naluriku semenjak lama, sampai-sampai aku tidak melewatkan satu pun judul dari buku-buku tersebut. Yang pasti, sebagian besarnya adalah novel dengan tema klasik ataupun buku edukasi yang membosankan. Aku terperanjat dan memandang dengan awas terhadap situasi di dalam perpustakaan mini sekeliling kami. Sekitar tiga detik yang lalu, indra pendengarku mendeteksi adanya sebuah suara yang terdengar tidak jauh dari tempatku berdiri. Sumbernya masih belum kelihatan—bahkan enam detik setelahnya. Mula-mula, aku sempat berpikir suara ketukan itu hanya berasal dari ranting pohon yang menggesek lapisan jendela perpustakaan mini bagian belakang. Oleh sebab itu, aku hampir kembali meneruskan aktivitas mencari buku novel yang tertunda—sampai-sampai aku kembali mendengar suara itu lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih kentara meskipun hanya berupa desisan. Candice Emrys. Sepasang mataku membeliak, sesekali menyumpahi indra pendengarku kalau-kalau salah mendengar. Berdasarkan instingku—yang entah bagaimana caranya selalu akurat—akhirnya aku bergerak melawan arah dari posisi yang seharusnya kulintasi. Beberapa kali, aku memicingkan sepasang mata dari satu sudut ke sudut lainnya. Tidak ada satu pun yang terlihat mencurigakan, sampai-sampai muncul lipatan yang cukup dalam di permukaan keningku. Benda-benda tak hidup itu masih setia mendudukkan b****g mereka di singgasana masing-masing. Setidaknya kalimat itulah satu-satunya yang bisa menjadi penghiburku dari ketakutan, sampai suara gesekan mendadak terdengar kembali—lebih berat dan keras dari yang tadi. Hanya dengan berbekal sedikit keberanian, aku dapat melihat dengan sepasang mata hijauku sendiri bagaimana cara salah satu rak yang menempel pada permukaan dinding mulai bergeser ke samping. Lidahku terasa kram—butuh perjuangan besar untuk melontarkan u*****n kasar. Bekas permukaan dinding yang sempat menjadi tempat bersandarnya rak hidup itu, ironisnya memancarkan cahaya berbentuk persegi panjang bak pintu tersembunyi—atau memang benar-benar ada pintu tersembunyi di balik sana. Cahaya aneh itu terdiri dari beberapa spektrum warna dan sangat nyaman untuk dipandang, seakan-akan cahaya itu memiliki keistimewaan tersendiri. Kedua kakiku bergerak secara mendadak, bukan atas kehendakku. Suara yang menyebutkan namaku kembali terngiang-ngiang di telinga—atau mungkin di dalam pikiranku sendiri. Tidak membutuhkan waktu sepuluh detik bagiku untuk menjangkau pintu tersembunyi, hanya berkisar dua langkah dari posisiku berdiri. Ajaibnya, aku tidak berusaha untuk melawan arus dan berkelit dari kejanggalan pintu tersebut. Aku tetap meneruskan langkah—hingga tubuhku tersedot saat itu juga.[]

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.7K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.2K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.7K
bc

Time Travel Wedding

read
5.5K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.6K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
4.4K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook