Satu

1100 Words
Langkah Zuhra terasa berat saat memasuki rumah yang hampir empat tahun ini ditinggalinya bersama ayah dan bundanya. "Assalamualaikum," ucap Zuhra seceria mungkin. "Wa'alaikumsalam." "Darimana saja kamu?" tanya ayah Zuhra, terlihat sekali pria paruh baya itu sedang menahan amarah. "Da--dari rumah teman, Yah," jawab Zuhra gugup. Tentu saja dia gugup, ayahnya pasti akan sangat marah karena anak gadis satu-satunya tidak pulang semalam dan baru kembali pagi ini. "Duduk!" perintah pak Albar, ayah Zuhra tegas. Dengan gelisah Zuhra menuruti perintah ayahnya, gadis itu duduk di hadapan ayah dan bundanya seperti seorang tersangka. Oh, jangan lupakan tatapan tajam seorang pria yang duduk di sebelah sang bunda, Randy Marcello, abang tercintanya. "Ada apa, Yah?" tanya Zuhra berharap bisa menghentikan tatapan menyelidik ayahnya. Bunda Zuhra menyodorkan sebuah benda pipih berwarna putih yang menyerupai sebuah stik, ada dua garis merah disana. "Bisa kamu jelaskan?" tanya bunda Zuhra dengan suara bergetar. Zuhra tidak bisa berkata apa-apa, rasa terkejut menyebar menguasai, pembuluh darahnya seakan berhenti bekerja, sekujur tubuh Zuhra seakan tersiram bongkahan es yang membekukan. Zuhra menyesal tidak langsung membuang benda itu kemarin, dia meletakkannya begitu saja di kamar mandi saking syoknya melihat dua garis yang muncul. Zuhra terburu-buru menemui seseorang yang menyebabkan kekacauan ini di apartemennya, tetapi jawaban yang diberikan pria itu sungguh membuat dunia Zuhra semakin hancur. "It-itu ...." Sungguh lidahnya terasa kelu, tubuh gadis itu bergetar hebat. Dengan sisa kekuatannya Zuhra bersimpuh di kaki sang bunda. "Maafin Zuhra, Bun. Zuhra salah, Bun. Zuhra salah," ucapnya disela tangisannya. Dapat dirasakannya tubuh sang bunda ikut bergetar, Zuhra bahkan tidak mampu untuk mengangkat kepala, sungguh dia tidak akan sanggup melihat bundanya menangis karena kebodohannya. Ya, Zuhra sadar ia terlalu bodoh. Semalaman ia menangisi keputusan pria b******k itu, tetapi seberapa banyak pun air mata yang dikeluarkan Zuhra tidak akan mampu mengubah kenyataan apa pun, kenyataan bahwa dirinya hamil tanpa seorang suami, kenyataan bahwa masa depannya hancur, kenyataan bahwa dirinya telah melukai hati ayah dan bundanya. "Apa ini ulah pria b******n itu?" desis Randy geram. Zuhra semakin terisak, apalagi kali ini ia menyadari keterdiaman ayahnya. Zuhra yakin ayahnya pasti sangat kecewa sehingga untuk berbicara pun enggan. Randy Marcello adalah orang yang sedari dulu paling menentang hubungan antara Zuhra dan Reno. Reno yang terkenal sebagai seorang bad boy membuat Randy tidak menyukainya, apalagi mengetahui bahwa Reno adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya raya yang hobinya menghambur-hamburkan uang. "Aku akan menghajar pria itu," ucap Randy seraya beranjak dari duduknya. "Jangan, Kak." cegah Zuhra. "Lo ngelindungin dia?" Randy mulai kehabisan kesabarannya. Zuhra menggeleng lemah. "Bukan gitu, Kak." "Terus apa?" Randy menatap tajam adiknya, "pokoknya gue harus kasih pelajaran si berengsek itu," tandasnya. "Dia udah pergi." Ucapan Zuhra yang serupa bisikan itu nyatanya mampu menyurutkan langkah Randy. "Apa maksud kamu?" kali ini ayah Zuhra yang angkat bicara. Gurat-gurat kekecawaan masih terpancar jelas dari wajahnya. Zuhra tidak mampu untuk membuka mulut barang sedikit pun. Kenyataan bahwa dirinya hamil diluar nikah saja sudah barang tentu menjadi tamparan keras bagi keluarganya, konon lagi fakta bahwa lelaki itu pergi tanpa tanggungjawab, pastilah akan menjadi aib yang sangat besar. "Jawab, Nak." Kali ini suara bundanya mulai melembut. Zuhra tergugu. "Di--dia pergi, Bun." Dirinya lagi-lagi terisak, "Dia berangkat ke Inggris kemarin sore." Praang ... Zuhra terkesiap kala Randy dengan kasar menghancurkan guci di sebelahnya. "Brengseeeekk ...!" teriaknya geram. "Maafin Zuhra, Yah," isak gadis itu saat melihat ayahnya mulai tertunduk dengan bahu bergetar. Hanya tangisan dan kata maaflah yang bisa diucapkannya, karena rasa kecewa ayah dan bundanya pastilah teramat besar. Zuhra menyesali kebodohannya sendiri yang terbuai oleh janji-janji manis seorang Reno Pramudya. Harusnya sedari dulu dia mendengarkan nasihat abangnya untuk menjauhi pria itu, tetapi sayangnya sebuah alasan klise membutakannya. Cinta! ✏✏✏ Tok tok tok …. "Ra, gue boleh masuk?" Suara familiar dari luar kamarnya sukses membuyarkan lamunan Zuhra. "Masuk aja, nggak di kunci, Nad," jawabnya parau. Nadia muncul dari balik pintu, tanpa aba-aba gadis itu langsung merengkuh tubuh mungil Zuhra. "Yang sabar, ya," bisiknya lembut. Zuhra mengangguk kecil, meskipun airmatanya terus mengalir,tetapi gadis itu mencoba untuk tetap tersenyum. Apakah ini ujian bagi hidupnya? Atau sebuah karma? Entahlah, Zuhra terlalu lelah untuk menerka-nerka semuanya. "Terus kedepannya gimana?" tanya Nadia setelah melepas pelukannya. Zuhra menggeleng pelan. "Gue gak tau." Nadia terdiam sejenak, menimbang-nimbang pertanyaannya. "Lo nggak coba hubungin keluarganya Reno?" tanyanya hati-hati. Zuhra menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak punya akses ke sana." "Maksud lo?" "Dia nggak pernah ngenalin gue ke keluarganya, Nad," jawab Zuhra lesu. "Ya lo kan bisa ngenalin diri, tunjukin foto-foto kebersamaan lo bareng Reno, siapa tau usaha lo berhasil." Zuhra menatap langit-langit kamarnya seperti menerawang sesuatu. "Renonya aja nggak mau tanggung jawab, Nad, apalagi orangtuanya." Zuhra diam sejenak, "apa gue gugurin aja kali, ya?" gumamnya yang lantas membuat Nadia terperanjat kaget. "Jangan yang aneh-aneh deh, Ra. Dosa lo ngelakuin itu aja belum lo tebus, sekarang malah mau nambah dosa lagi," omelnya. Zuhra terdiam sambil meremas jarinya saking fruatasinya. Dia tahu apa yang dikatakan Nadia itu benar, dirinya sadar betul kalau dosanya kali ini sangatlah besar, tetapi sekarang dia benar-benar merasa buntu. Tidak ada satu pun hal yang terpikirkan untuk pemecah masalahnya saat ini. "Gue bukannya sok suci, Ra, tapi apa lo tega ngebunuh anak lo sendiri? Darah daging lo, Ra. Darah daging lo." "Terus gue harus apa?" lirihnya. "Berdo'a semoga yang kuasa kasih jalan. Sekarang lo istirahat, gue mau keluar nemuin bunda, dia juga pasti syok berat, kan?" Zuhra mengangguk patuh. "Inget, banyak yang sayang sama lo, jadi jangan mikir yang aneh-aneh," pesan Nadia sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar Zuhra. Sepeninggal Nadia, Zuhra kembali termenung. Tanpa sadar, sebelah tangannya mengusap perut datar miliknya dengan lembut. Zuhra masih tak menyangka bahwa sekarang ada kehidupan lain di sana. ✏✏✏ Pagi-pagi sekali Zuhra dikejutkan dengan berita yang disampaikan oleh ayah dan ibunya. Mereka berencana menikahkan Zuhra dengan anak teman ayahnya. "Tapi, Yah, Zuhra nggak kenal sama pria itu, gimana kami bisa menikah?" tolak Zuhra keras. "Dia baik, itu cukup, kan? Pengenalan itu bisa setelah kalian menikah, yang terpenting anak kamu punya status jelas, Ra," tutur ayahnya tegas. "Tapi, Yah ...." "Kamu harus nurut kali ini, karena semua demi kebaikan kamu juga," putus ayahnya tak terbantahkan. "Bun ...." Zuhra berharap bundanya mau membantu. "Turuti saja, Nak. Menurut bunda juga itu yang terbaik." Lenyap sudah harapan Zuhra, ayah dan bundanya sudah sepakat memutuskan untuk menikahkan dirinya dengan seorang pria yang menurut mereka baik dan cocok untuk Zuhra. Tentu saja Zuhra menolak, bukan apa-apa, siapa laki-laki yang mau menikahi seorang perempuan yang sedang hamil dengan orang lain tanpa imbalan. Pasti ada yang tidak beres di sini, kalau bukan karena imbalan sudah pasti karena pria itu punya kelainan. Gay, misalnya. Oh, tidak. Membayangkannya saja Zuhra tidak sanggup, apalagi menjalaninya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD