Heh … dia rupanya ada disini, orang yang Dieter cari.
Thea. Si perempuan menawan yang nyaris dia tabrak semalam.
Dieter benar-benar takjub dengan nasib baik yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Dia baru saja menginjakan kaki di ruang tunggu rumah sakit milik ayahnya, tapi siapa sangka dia justru menemukan perempuan cantik yang dicarinya. Dan memang sejak pertama bertemu pandang, Dieter sudah berencana untuk mencarinya lagi meskipun perlu menjelajahi satu kota. Tapi Tuhan Maha Baik, setelah bersusah payah berkeliaran di sekitar tempat dia menabrak Thea kemarin malam dan terlambat datang. Dia malah bisa memandangi perempuan itu sepuas hati dari tempatnya duduk kini. Takdir Tuhan memang lucu.
Perempuan itu berambut hitam, pastinya dia akan terlihat dua kali lipat lebih cantik kalau dia gerai. Sayangnya, saat bertugas para suster tentu menata rambutnya dengan cara yang sama. Meski ditata dengan cara yang membosankan tapi pesona wanita itu tidak luntur dan masih sangat indah dipandang mata.
Mata Dieter menyipit dan perutnya tiba-tiba merasa tegang ketika menatap wajah perempuan itu. Dia mengamati kedua matanya yang begitu indah dengan bibir merah muda yang lembut. Tubuhnya terbilang mungil tapi dia terlihat menyimpang banyak energi seperti tidak ada habisnya. Bergerak kesana kemari dengan lincah seolah memiliki sayap transparan. Di mata Dieter perempuan itu punya aura feminim yang begitu dewasa dan sangat seksi. Ya, Dieter tidak salah memberi definisi. Meski mungkin bagi pria lain perempuan itu biasa saja, tapi bagi Dieter dia sudah masuk dalam ranah special.
Terlalu asyik mengamati, kini si perempuan cantik itu membungkuk dan mengambilkan mainan untuk seorang bocah lelaki yang menangis di pelukan ibunya. Dia menyerahkan mainan itu dan tersenyum kepada si bocah yang dibalas dengan senyuman yang sama. Saat itu pula lah, Dieter merasa tubuhnya menegang. Andai senyuman itu diberikan si perempuan kepadanya secara langsung, dia pasti tidak akan segan dan langsung bersedia melemparkan komitmen untuk memperistrinya dan menjadi perempuan itu sebagai pasangan hidup dan langsung melamarnya di detik itu juga.
“Dieter!”
Namanya dipanggil sekali, membuat si pemuda mengerjap dan terpaksa mengalihkan pandangan kepada seorang wanita yang memanggil namanya. Wanita itu tersenyum cerah, dan dadanya yang sekal sedikit bergoyang saat dia sedikit melompat di depannya. Entah untuk tujuan apa dia melakukan itu.
“Yo, halo Ranti.” Dieter memberikan sebuah senyuman seadanya kepada wanita yang sudah dia kenal sejak lama. Wanita yang telah menduduki posisi sebagai resepsionis terlama di rumah sakit kepunyaan ayahnya. Pertama kali Dieter berkenalan dengannya adalah saat dia masih SMP dan wanita itu nyaris sama seperti yang dia kenal. “Kamu tampak se-seksi yang aku ingat,” ujar Dieter kemudian sambil memberikan kedipan nakal kepada wanita yang mungkin sekarang sudah menginjak angka tiga puluhan tersebut.
“Jangan berani menggodaku, bocah nakal,” Ranti meninju pelan lengan atas Dieter, membuat si pemuda terkekeh pelan.
“Jadi, ini artinya rayuan gombalku tidak mempan padamu lagi?”
Ranti menyeringai. Dia mengancungkan tangan kirinya di depan muka Dieter, raut mukanya terlihat bangga. Membuat si pemuda fokus pada cincin yang melingkar dijari manis si wanita. “Aku akan menikah dua bulan lagi,” katanya sambil tersenyum gembira.
“Lah? Kamu mau menikah? Lalu bagaimana dengan aku?” Dieter membual seolah dia patah hati, meletakan kedua tangannya di depan d**a dengan akting dramatis. “Tidak tahukah kamu jika selama ini aku berjuang di Amerika untuk kembali dan mempersuntingmu?”
“Bullshit!” sahut Ranti sambil menyipitkan mata kearahnya.
Dieter terkekeh karena sepertinya candaannya sudah melewati batas, karena itu dia berhenti menggoda wanita itu lagi. “Maaf,” ucap si pemuda pada akhirnya tapi dia tidak terlalu merasa bersalah sama sekali.
“Kata-kata seperti itu harus kamu ucapkan kepada perempuan yang ingin kamu nikahi bukan padaku. Lagipula kamu kan masih muda, tinggal tunjuk saja sebenarnya perempuan yang kamu mau. Aku yakin yang menginginkanmu ada banyak,” jelas Ranti memberi nasehat sambil menggodanya sedikit di akhir kalimat dan Dieter hanya nyengir kuda padanya.
“Ya, tapi kamu tahu sendiri kalau—”
“Ya, ya, ya, sangat tahu. Kamu tidak ingin menikah setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Karena kamu punya pikiran gila bahwa punya istri hanya akan jadi belenggu dan memenjarakanmu, juga memberimu banyak kewajiban dan tanggung jawab sedangkan kamu hanya ingin hidup bebas dan bersenang-senang. Aku benar?” potong Ranti cepat.
“Perfect!” Dieter meringis mendengarkan penjabaran Ranti tentang hidupnya yang sama persis dengan apa yang dia katakan sebelum memutuskan terbang ke Amerika.
“Tapi kau tahu, Dieter. Kelak kalau kamu sudah menemukan perempuan yang tepat kamu akan rela mengikat dirimu sendiri kepadanya dengan sebuah komitmen dan bahkan bersedia diberi tanggung jawab dan seluruh kewajiban itu. Aku bertaruh selama ini kamu hanya main perempuan saja di Amerika,” tambah Ranti sambil mengerucutkan mulutnya dengan sebal.
Tapi berkat perkataan barusan, Dieter langsung mengalihkan pandangannya kepada si perawat mungil yang sepertinya kini sedang sibuk membantu seorang kakek untuk duduk di kursi roda. Cara dia berdedikasi terhadap pekerjaannya membuat Dieter terpikat. Dia sangat sempurna. Sekarang Dieter sudah mendapatkan kriterianya.
“Ya, jika di Amerika. Tapi sekarang aku sudah menemukan wanita yang tepat,” sahut Dieter percaya diri dengan senyuman yang paling lebar yang pernah dia buat.
“Apa?” tanya Ranti meminta si pemuda mengulang kata-katanya.
Dieter hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong aku harus pergi menemui Ayahku, dia pasti menunggu anaknya yang tampan tak tertolong dengan muka kusut dan penuh rindu,” ujarnya lagi sambil beranjak dari kursi dan mengambil langkah meninggalkan Ranti. Sebelum pergi dia masih sempat melirik sekilas ke arah perempuan yang dia ketahui bernama Thea. Ranti menyadari cara Dieter menatap si perawat mungil dengan cara yang tidak biasa, tapi alih-alih menaruh perhatian lebih dia justru lebih suka mengabaikan hal itu dan berjalan mengekor Dieter karena dia punya urusan yang sama dengan kepala rumah sakit.
***
Kini Dieter sudah tiba di tempat yang dia tuju. Pria itu menghentikan langkahnya tepat di sebuah ruangan bercat putih. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat ayahnya, sang pemilik rumah sakit tengah mengobrol dengan dua orang berjas putih yang dia kenal sebagai Dr. Danuja dan Dr. Arfan, dua dokter yang bekerja sama dengan ayahnya sejak lama.
“Aku pikir para dokter di rumah sakit ini super sibuk sampai Ayah perlu memanggilku pulang. Tapi kenyataannya sepertinya tidak begitu. Tiga dokter utama malah bersantai-santai minum kopi dan berkumpul di ruangan ini. Ah, aku merasa kedatanganku sangat sia-sia,” ujar Dieter sembari melangkah masuk lebih dalam dan mendekati ketiga dokter itu.
“Well, ini dia bintang utama yang ditunggu-tunggu.” Arfan menyeringai pada Dieter dan memberikan tepukan santai di bahunya.
“My son~” Gustav langsung bergerak dan memeluk putra sulungnya, Dieter yang tidak sempat menghindar terpaksa dengan pasrah menerima rangkulan yang mungkin saja mampu untuk meremukan tulang-tulangnya. “Senang bertemu denganmu, Nak.”
“Hentikan, Ayah. Kau sedang mempermalukan dirimu sendiri di depan karyawanmu,” ujar Dieter sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan sang ayah. Akhirnya pria paruh baya itu melepaskan pelukannya tapi kedua tangannya masih berada di bahu putranya. Matanya mengamati Dieter dari ujung kepala hingga kaki. “Tidak ada yang berubah darimu,” ujar pria itu.
Dieter memutar bola matanya. “Tentu saja, kita bertemu bulan lalu lewat video call. Perubahan macam apa yang bisa terjadi dalam waktu sesingkat itu,” sahutnya.
“Tapi kau berhenti mengunjungiku sejak tiga tahun lalu dan kau juga harus tahu bahwa banyak hal bisa berubah dalam satu bulan, Nak,” kata Gustav. Dieter memandangi ayahnya mencari maksud terselubung di balik kata-kata sang ayah. Dia mengerti betul soal itu, tapi dia tidak mau berkomentar banyak. Terlebih karena saat ini tidak hanya mereka berdua diruangan itu.
“Apa yang membuatmu terlambat datang, Tuan Muda? bukankah kamu bilang akan sampai jam delapan pagi. Ini sudah nyaris masuk jam makan siang.”
Pertanyaan itu membuat Dieter menoleh pada si pria yang seusia ayahnya. Tersenyum kecil. “Selamat siang Dr. Danuja,” sapa Dieter sembari menyalami dan memberikan penghormatan padanya. “Sebenarnya tadi—”
Belum sempat Dieter menyelesaikan penjelasannya Ranti sudah celetuk duluan, menggagalkan usaha Dieter untuk menjelaskan.
“Dr. Danuja seperti baru mengenal Dieter saja. Salah pertanyaannya dokter, bukan apa tapi siapa. Dari instingku yang membuatnya terlambat adalah seorang perempuan.”
Dieter mendengus sebal. Meski benar tapi tetap saja dia tidak suka ditebak semudah itu. “Bisakah kamu memberiku waktu untuk memberi penjelasan, Ranti?”
“Jadi siapa dia? Apa perempuan yang digosipkan denganmu itu? Penyayi? Influencer? Aktris? Atau bahkan si model seksi?” Ranti mengabaikan ujaran Dieter.
Kalau saja pertanyaan itu keluar dari mulut orang asing. Dieter pasti akan langsung membentaknya. Tapi beruntung Ranti yang bilang, dan perempuan itu memang selalu blak-blakan karenanya Dieter terpaksa harus bersabar sekarang. “Dia tidak ada hubungannya dengan ini,” sahutnya masam.
Kesunyian menyeruak seketika setelah sahutan masam Dieter. Semua orang tahu penyebab Dieter keluar dari rumah sakit tempat bekerja dan kembali ke kota kelahirannya adalah karena gosip-gosip tidak sedap yang tersebar di media sosial tentang kedekatannya dengan seorang model dan influencer. Winolla.
“Tapi Ranti benar juga sih, aku memang terlambat karena seorang wanita.” Dieter memecah kesunyian.
Arfan menyeringai. “Dasar playboy brengsek.”
“Semoga yang kali ini adalah calon menantuku,” kata Gustav tiba-tiba yang langsung mendapatkan pelototoan dari Dieter.
“Sepertinya Ayahmu tidak sabar ingin melihatmu menikah, Dieter,” tambah Dr. Danuja. “Jadi cepat ceritakan kepada kami tentang wanita yang menyebabkan kamu terlambat hari ini.”
Dieter tidak mengerti mengapa seorang orang diruangan ini terkesan bersemangat mendengarkan ceritanya tentang seorang perempuan yang telah mencuri hatinya semalam. Sepertinya mereka semua sangat ingin segera melepas status lajangnya segera.
Apa boleh buat …
“Dia adalah …”