Bab 6

3274 Words
 “Makasih ya, Mut.” Helena balas tersenyum hangat ke arah gadis di hadapannya. Meskipun ia tak begitu mengenal dekat tapi Helena tahu, Mutia merupakan orang yang baik ke siapa saja. Sifat pendiam gadis itulah yang membuat Mutia tidak mempunyai terlalu banyak teman. Dirinya lebih suka menyendiri ketimbang bergabung bersama sekelompok orang. ** Usai kelas Helena mengernyit heran saat Anggi menghampiri mejanya. Tidak ada satupun yang peduli pada kecanggungan mereka berdua karena mereka pun sibuk membereskan alat tulis mereka dan keluar dari kelas secepat mereka bisa. “Iya, kenapa?” tanya Helena bertanya duluan daripada hanya berdiam-diaman dengan gadis berbaju kaos putih di depannya itu. Tanpa sadar jari-jarinya mengetuk meja dengan tempo sedikit cepat menandakan dirinya sedang gugup. “Kak Dewa mau lo bantuin gue nagih uang ke maba soalnya masih ada yang belum bayar. Bisa?” “Data namanya udah lengkap?” Helena bertanya balik tanpa menjawab terlebih dahulu. Anggi mengangguk canggung, “Iya, udah.” “Mau nagih kapan? Sekarang?” tanya Helena lagi. “Iya, soalnya waktunya udah mepet. Hari ini cuma ke satu kelas doang kok, udah gue chat ketua kelasnya.” Jawab Anggi lagi. “Bisa gak? Kalau engga, gapapa, gue duluan ya.” Setengah kesal pertanyaannya tidak dijawab, Anggi berbalik arah menuju pintu kelas. “Bentar-bentar, gue ikut.” Helena ikut menyusul Anggi yang berjalan lebih dulu. Mereka berjalan ke kelas adik tingkat mereka dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Anggi yang memikirkan cara menghilangkan gengsi untuk mengajak Helena berbaikan dan Helena yang sibuk memikirkan cara agar tidak terus-terusan terjebak dalam situasi yang membuat dirinya tidak nyaman seperti sekarang. Dirinya pun yakin sahabatnya itu juga pasti merasa risih dengan kondisi mereka berdua.  Kini mereka sedang berdiri di depan pintu kelas adik tingkat mereka yang terletak di lantai dua. Anggi terlihat sedang mengetikkan pesan ke seseorang sambil tersenyum-senyum yang tanpa gadis itu sadari kini jadi perhatian Helena yang memandangnya heran sekaligus ingin tahu. Kalau saja ia tidak ingat mereka sedang mendiamkan satu sama lain, Helena pasti sudah merampas ponsel sahabatnya itu. “Masa iya chat sama adek tingkat sambil senyum-senyum gitu.” Batin Helena bertanya-tanya. Ingatkan dirinya untuk menanyakan hal tersebut saat mereka sudah berbaikan nanti. “Udah lo chat, Nggi?” tanya Helena akhirnya membuka suara. Anggi menoleh, ekspresinya langsung berubah datar. “Hah? Iya udah-udah. Bentar lagi kelar kelas.” Jawab Anggi yang kini kembali sibuk dengan ponselnya. Helena hanya mengangguk-angguk sambil berusaha mencari tahu apa yang sahabatnya itu lakukan. “Masa iya sih liat meme doang kayak gitu.” Batin Helena lagi. Anggi yang sadar sedang diperhatikan menoleh dan menatap Helena setengah kesal. “Gak cukup privasi Dania lo ganggu? Sekarang gue?” tanya Anggi dengan nada datar tapi perkataannya menusuk hati Helena. Gadis itu sedikit kaget namun langsung menghela napas untuk mengendalikan emosinya yang tiba-tiba datang entah darimana. “Maaf, kalau lo ngerasa keganggu sama sahabat lo sendiri.” Jawab Helena yang tidak direspon apapun oleh gadis di sampingnya itu. Anggi pura-pura tidak mendengar dan kembali sibuk dengan ponselnya. Sekitar sepuluh menitan mereka menunggu, kelas itu mulai bubar. Anggi dan Helena meminta izin untuk masuk saat dosen bersangkutan yang mengajar sudah keluar. “Minta waktunya sebentar ya, Dik. Kami dari HIMA bertujuan untuk menagih pembayaran buat acara makrab kita nanti yang mungkin akan dilaksanakan akhir pekan nanti hari Sabtu. Maju ke depan ya bayarnya, satu-persatu dari absen.” Jelas Anggi panjang lebar yang kemudian Helena bantu dengan menyebut nama mereka satu-persatu sementara Anggi fokus mencontreng nama yang sudah membayar. Setelah lebih dari setengah jam mereka di kelas tersebut, keduanya berpamitan untuk pergi. “Gue duluan.” Ucap Helena yang juga sedikit merasa kesal dengan sahabatnya itu. Helena paham Anggi memang memiliki kelebihan mengatakan sesuatu dengan kata-kata pedasnya, namun ia juga sadar dirinya pun masih mudah tersinggung. Helena berjalan cepat meninggalkan Anggi sendirian. Gadis itu duduk termangu beberapa saat di kursi yang terletak di koridor kampus mereka. Dirinya merasa bersalah setelah mengatakan hal tadi ke Helena, ia juga tidak sadar telah berkata seperti itu. Ia hanya sedikit risih karena Helena berusaha mengintip isi ponselnya. Anggi hanya belum siap seseorang mengetahui apa yang selama ini dirinya sendiri sembunyikan. **             Hari-hari berlalu seperti biasanya. Baik Anggi, Dania, dan Helena sibuk dengan urusannya masing-masing. Kebetulan hari itu adalah hari Jumat, usai mengikuti perkuliahan, Helena dan Anggi berjalan berjarak-jarak menuju ke sekretariat jurusan mereka. Kemarin malam, Dewa, menyuruh seluruh kepanitiaan berkumpul di ruang HIMA untuk mengadakan rapat sekali lagi sekaligus memperhitungkan kematangan rencana mereka besok. Terlihat ruangan HIMA sedikit sesak dipenuhi oleh seluruh anggota HIMA yang terlibat. Dewa sendiri tanpa sibuk merapikan kumpulan kertas-kertas yang mungkin berkaitan dengan acara mereka besok. Kacamatanya sedikit melorot dan rambutnya ia biarkan berantakan. Laki-laki itu menoleh ke arah pintu ketika Anggi dan Helena memasuki ruangan. Dirinya langsung memberi kode dengan tangan, bermaksud untuk menyuruh Anggi dan Helena menghampirinya. “Iya, Kak?” tanya keduanya kompak. “Kalian tolong absenin satu-satu panitia yang hadir sekarang ya. Saya mau minta konfirmasi kedatangan dekan kita untuk acara besok.” setelah mengatakan itu, Dewa menyerahkan beberapa kertas yang sudah diisi dengan nama-nama panitia. Keduanya menerima kertas tersebut dan mulai mengabsen teman-teman mereka satu persatu saat Dewa sudah beranjak pergi. Rapat akhirnya usai dua jam kemudian, Helena mengucap syukur karena rencana mereka besok sudah mereka persiapkan dengan matang tanpa ada kendala satupun. Ia harap besok berjalan lancar sesuai ekspetasi, karena ini merupakan kegiatan kepanitiaannya yang pertama. Gadis itu bergegas pulang karena hari pun mulai sore.  Sesampainya di parkiran, ia melihat Dania dan Anggi tengah berbincang-bincang. Raut wajah keduanya terlihat biasa saja seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Saat Helena memandang mereka, kedua gadis itu juga balas memandang sekilas lalu melanjutkan obrolan mereka. Keduanya seperti mengacuhkan Helena yang kini menghela napas dalam-dalam. Ia merasa terpojokkan dengan sifat kedua sahabatnya itu. Tanpa sadar, air matanya keluar begitu saja bertepatan dengan dirinya yang mengendarai Scoopynya keluar kampus, bermaksud untuk pulang. Lia yang pulang lebih awal itu merasa kaget ketika melihat anak tunggalnya itu pulang dengan mata sembab. Gadis itu bahkan tidak mengucap salam apapun dan langsung menuju ke kamarnya. Lia memutuskan untuk menyusul Helena, ia khawatir sesuatu terjadi pada anaknya karena sejak kepulangan dirinya dari Singapore, Helena tidak pernah menceritakan tentang apa yang sudah terjadi selama dirinya tidak di rumah. “Helena? Boleh Mama masuk?” Lia mengetuk pintu kamar anaknya dengan pelan. Ketukan untuk ketiga kalinya, gadis itu tak kunjung membuka pintu. Wanita separuh baya itu tampak khawatir dan akhirnya memutuskan untuk masuk begitu saja. Kedua matanya menatap Helena yang sedang berbaring membelakangi pintu. Bahunya sedikit bergetar, sesekali terdengar isakan tangis dari gadis itu. “Kenapa, sayang? Ada masalah di kampus?” tanya Lia dengan lembut. Ia paham sesuatu telah terjadi pada anak semata wayangnya itu. Pasalnya, Helena memang jarang menangis terkecuali gadis itu memang sudah tak sanggup menahannya. Beberapa menit Lia menunggu namun gadis itu masih betah membelakanginya, untungnya tangisannya sudah berhenti. Dirinya bergerak mengusap bahu Helena lalu tiba-tiba keluar kamar. Saat terdengar pintu ditutup, Helena menyeka mata dan pipinya yang basah karena air matanya tadi, ia memilih bersender ke tembok karena ranjangnya memang berada di pojok kamar sambil melihat ke arah jendelanya. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar saat mendengar gerakan pintu yang dibuka, terlihat Lia membawa segelas s**u coklat hangat kesukaannya sambil tersenyum hangat. Helena tersenyum lemas, dirinya pasrah kalau-kalau nanti Mamanya itu menanyakan alasan dirinya menangis tadi. Lia ikut duduk di tepi ranjangnya setelah meletakkan s**u tadi di nakas. Tangannya yang belum keriput itu menggenggam kedua tangan Helena sambil tangan satunya mengusap kepala Helena dengan sayang. “Udah mau cerita?” tanya Lia lembut. Helena menghela napas, awalnya ia tidak mau bercerita karena menurutnya ia bisa mengatasi dirinya sendiri. Namun, sudah kepalang basah, Mamanya sudah melihat dengan jelas bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya itu. “Gak ada salahnya juga Mama tahu,” batinnnya. Lia menunggu dengan sabar sambil tetap mengusap kepala gadis itu. “Mama waktu kuliah dulu pernah berantem sama temen Mama gak?” tanya Helena memulai cerita. Lia tersenyum mengerti alasan kenapa anaknya itu tiba-tiba menangis sepulang dari kampus. “Ya pernah, Na. Jangankan pas kuliah, waktu Mama SMA dulu juga pernah.” Jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu berantem sama siapa? Anggi? Dania?” sambung Mamanya itu. Helena menghela napas lagi lalu mengangguk. “Keduanya, Ma.” “Apapun masalahnya lebih baik cepat diselesaikan, ya? Kalau kamu salah, kamu harus minta maaf.” Saran Lia menatap anak semata wayangnya itu. Ia merasa kasihan karena dirinya paham betul seberapa dekat persahabatan yang terjalin antara Helena dan kedua sahabatnya. “Kalau misal Helena gak salah?” tanya Helena yang membuat Lia terkekeh pelan. Respon Mamanya itu membuat Helena mengernyitkan dahi karena merasa bingung. “Na, gak mungkin seusia kalian tiba-tiba bertengkar tanpa alasan kan? Kalian sudah hampir dewasa, sudah sepantasnya menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Kalaupun kamu gak salah, kamu harus tetap meminta maaf. Itu namanya mengalahkan gengsi dan ego kamu. Ngerti kan sayang?” Jelas Lia penuh pengertian. Helena menganggukkan kepala tanda mengerti. Lia mengusap punggungnya sebelum keluar dari kamar. Ia kini duduk termangu memikirkan perkataan Mamanya barusan. **             Pagi-pagi sekali Helena sudah bersiap ke kampus, ia lebih memilih menaiki ojek online karena ia paham Mamanya lebih membutuhkan motor mereka untuk mengantarkan pesanan kue. Terlebih dia akan menginap satu malam di lokasi acara dimana hari Minggu biasanya dirinya dan Lia pergi ke pasar untuk berbelanja mingguan dan bahan-bahan membuat kue. “Helena pergi ya, Ma. Ojeknya udah di depan.” Ucap gadis itu yang membawa ransel di pundaknya berisi perlengkapan kemah. Ia menyalim tangan Mamanya sebelum berangkat. Lia tersenyum mengangguk, “Kamu hati-hati ya. Jangan aneh-aneh waktu kemah.” “Oke, bos.” Helena beranjak keluar rumah setelah mengacungkan jempol kanannya. Ia berjalan sedikit terburu-buru karena takut terlambat. Tadi Dewa memberi instruksi agar semua anggota HIMA yang terlibat dianjurkan datang lebih awal karena banyak yang harus mereka urus menjelang keberangkatan mereka ke lokasi acara dengan bus yang sudah mereka sewa dari jauh-jauh hari. Sesampainya di kampus, sudah ramai dengan mahasiswa baru, di sisi lain juga terlihat beberapa orang memakai jas almamater yang menandakan orang tersebut adalah anggota kepanitiaan HIMA. Ia meringis pelan karena sadar dirinya sedikit terlambat. Pasalnya, anggota HIMA sedang melakukan apel pagi. “Maaf telat, Kak.” ucap Helena takut-takut. Dewa yang sedang memberikan arahan hanya mengangguk sambil memberi kode agar Helena masuk ke barisan panitia. Satu jam kemudian, mereka semua berangkat dengan menaiki beberapa bus sewaan sesuai daftar pembagian bus. Helena sedikit lesu ketika dirinya satu bus dengan Anggi. Ia masih merasa sakit hati atas apa yang ia lihat kemarin. “Gue boleh duduk sini?” tanya seseorang yang ia hapal suaranya. Meskipun memakai earphone, ia masih bisa mendengar suara orang yang bertanya padanya. Matanya menoleh ke samping dan mendapati Anggi yang menenteng tas ranselnya tengah menunggu jawabannya. “Duduk aja.” kata Helena singkat. Untuk beberapa saat, Anggi merasa sedikit kaget mendengar nada bicara Helena yang terkesan dingin dan jutek. “Makasih.” Anggi dengan canggung mengambil posisi duduk di bangku samping sahabatnya itu. Anggi paham apa yang membuat Helena menjadi bersikap seperti itu. Ia yakin ada kaitannya dengan kejadian dirinya mengobrol dengan Dania kemarin. “Na?” panggil Anggi saat bus yang mereka tumpangi mulai berjalan. Helena hanya menoleh sambil mengangkat satu alisnya sebagai respon. “Lo salah paham, Na. Gue kemarin ngobrol sama Dania juga berusaha bujukin dia buat baikan sama lo.” Ucap Anggi pelan tapi masih bisa didengar Helena. Ekspresi wajahnya tidak berubah, tetap datar, pandangannya lurus ke arah jendela. “Tolong, Na. Jangan kayak anak kecil gini, gue minta maaf kalau perkataan gue kemarin-kemarin nyinggung lo.” “Anak kecil lo bilang? Lo harusnya bilang itu ke Dania. Gue cuma nanya biasa tapi dia malah marah ke gue.” Sahut Helena setelah lama diam. Ia mengatur napasnya untuk mengendalikan emosinya yang tiba-tiba muncul. “Iya, gue tau. Gue udah nyuruh dia minta maaf duluan tapi dianya gak mau. Gue minta tolong sama lo, lo ngalah ya? Lo yang minta maaf ke Dania.” Pinta Anggi sedikit memelas. Usahanya mengajak kedua sahabatnya itu berbaikan tidak semudah yang ia kira. Baik Dania dan Helena sama-sama tidak mau mengalah. “Dia aja gak mau ngomong sama gue.” Kata Helena mencabut earphone dari kedua telinganya. Gadis itu kini memandang ke arah Anggi yang juga menatapnya dengan perasaan bersalah. Jujur, Helena sedikit merasa kasihan, ini masalah antara dirinya dan Dania tapi Anggi juga terkena imbasnya. “Oke, gue coba.” Sambung Helena pada akhirnya. Anggi tersenyum hangat sambil memeluk Helena dari samping. Gadis itu terkejut dengan aksi spontan dari sahabatnya itu, namun tak urung ia juga membalasnya. Hatinya sedikit lega sekarang. Satu sahabatnya sudah kembali berbaikan dengannya. Ia janji ia akan berusaha mengembalikan persahabatan mereka bertiga. Kalau Anggi saja bisa meminta maaf duluan padanya, harusnya dirinya juga bisa melakukan hal yang sama pada Dania bukan? ** Menurut Helena, semua terasa lebih baik sejak dirinya berbaikan dengan Anggi di dalam bus tadi. Sepajang perjalanan mereka sibuk menceritakan perasaan mereka masing-masing ketika saling mendiamkan satu sama lain. Anggi yang menceritakan bahwa hari-harinya terasa sepi tanpa kehadiran kedua sahabatnya itu, begitupun Helena. Anggi juga bercerita bahwa ia ingin berbaikan dari lama akan tetapi rasa gengsi menghalanginya untuk menyapa Helena duluan. “Tolong kalian pandu adik-adiknya ke kelompok mereka masing-masing ya!” perintah Dewa kepada seluruh panitia ketika mereka semua sudah sampai di lokasi perkemahan. Kelompok itu sendiri terdiri dari sepuluh kelompok dengan dua panitia yang menjadi penanggung jawabnya. Sisanya termasuk Helena dan Anggi yang ikut berpatisipasi menjadi panitia acara yang mengatur susunan acara, konsumsi, dan dokumentasi. “Semua udah pada tau kan tugas masing-masing? Saya harap kalian benar-benar amanah karena bagaimanapun ini tahun pertama kalian di HIMA. Berikan usaha terbaik kalian agar acara kita sampai besok berjalan lancar tanpa ada kendala yang berarti. Mengerti semua?” tambah Dewa. Laki-laki itu berkata dengan nada kalem namun tegas. Semua panitia mengangguk tanda paham. “Kalau begitu kalian boleh bubar. Ingat, jangan ada yang aneh-aneh di sini yang merugikan pihak kampus. Paham?” lagi-lagi semuanya hanya mengangguk, entah sudah kelelahan karena perjalanan mereka cukup panjang atau karena bosan mendengar ketua mereka terus-terusan berbicara. Dewa mengangguk tanda mereka boleh benar-benar bubar. Keseluruhan panitia termasuk Helena dan Anggi bergegas menjalankan tugas mereka. Beruntungnya, kini kondisi sudah berbeda, Anggi yang memang disuruh bekerja sama dengan Helena merasa senang begitupula sebaliknya. Jika saja Anggi tidak mengajaknya berbaikan mungkin mereka berdua masih merasa canggung dan sedikit merasa tidak nyaman satu sama lain. Tugas mereka pun sederhana, hanya mendata nama-nama kelompok dan memastikan tidak ada yang absen yang kemudian akan mereka berikan pada seksi konsumsi untuk diperlukan saat pembagian makan siang dan makan malam nanti.             Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing seperti mendirikan tenda bersama, ada yang mencari kayu bakar ke hutan untuk pesta api unggun serta menyiapkan perlengkapan lainnya untuk acara nanti malam. Helena dan Anggi merupakan salah dua orang yang bersemangat dalam acara ini. Sekitar jam 11 siang, acara mereka resmi dibuka dengan kata sambutan dari ketua dan wakil ketua HIMA jurusan mereka yang dilanjutkan dengan dua patah kata dari dekan mereka kemudian ditutup dengan pembacaan doa yang bertujuan agar acara malam keakraban mereka berjalan lancar. Semua menghela napas lega saat pembukaan acara yang menurut mereka membosankan itu selesai. “Sumpah! Gue ngantuk banget woi!” bisik Helena sedikit heboh ke arah sampingnya dimana Anggi berdiri sambil menahan kantuk. “Gue juga anjir! Udah gak keitung berapa kali gue nguap!” bisik Anggi tak kalah heboh. Matanya tampak sayu jelas terlihat seperti orang yang kurang tidur beberapa hari. “Untungnya dah kelar. Balik tenda kuy?” ajak Helena. Dirinya benar-benar bosan berdiri di lapangan perkemahan mereka. “Ish! Lo mau dapet SP dari Kak Dewa? Kan kata dia kita gak boleh kemana-mana sampai semua maba ngambil makan siang!” ujar Anggi mengingatkan Helena. SP sendiri merupakan kepanjangan dari surat peringatan. Jika mereka sampai mendapatkan SP tiga, mereka dikatakan keluar dari HIMA secara tidak hormat. Seram kan? Helena mengerucutkan bibirnya tidak menanggapi perkataan sahabatnya itu. Ia memilih membuka ponselnya hanya untuk sekedar melihat notifikasi yang masuk. Dirinya bingung sejak kemarin tidak ada pemberitahuan yang masuk dari akun RPnya. Ia pun juga tidak berniat mengecek secara langsung. Setelah selesai makan siang, akhirnya kedua gadis itu dapat pergi beristirahat ke tenda mereka. Sampai nanti sore mereka dibebas-tugaskan dari kegiatan kepanitiaan. Semua anggota panitia yang dari pagi bertugas menghela napas lega, mereka tidak menyia-nyiaka kesempatan tersebut untuk pergi tidur ke tendanya, agar malamnya mereka tidak mengantuk saat bertugas. Maklum, nanti malam adalah puncak acaranya yang akan dirayakan dengan pesta api unggun dan penampilan dari setiap kelompok. “Na, ayo balik tenda. Gue capek banget gila!” ajak Anggi yang sudah menunjukkan wajah kelelahan. Dari pagi mereka sibuk pergi dari satu tenda ke tenda yang lain untuk mendata nama-nama adik tingkat mereka itu. Mereka juga harus membantu seksi konsumsi untuk memastikan bahwa semua mahasiwa baru tersebut mendapat jatah makan siang. “Yeee kan daritadi udah gue ajakin! Lo nya aja sok mau nungguin maba-maba ini.” Mereka berjalan beriringan ke tenda mereka yang terletak sedikit ke ujung menuju arah hutan, melewati tenda-tenda adik tingkat mereka yang rata-rata tertutup. Gadis bermata coklat itu sedikit kaget saat seorang laki-laki menghadang jalannya. Ia berhenti mendadak begitupula dengan Anggi yang ikut merasa kaget. Laki-laki itu menampilkan senyum yang mampu membuat beberapa orang yang melihat terpesona. Rambutnya yang sedikit gondrong itu bergera-gerak samar karena tertiup angin. Ia menatap Helena yang juga menatap dirinya penuh keheranan. “Ada apa ya, Dik?” tanya Helena mengernyitkan dahinya. Anggi juga ikut menatap adik tingkat di depannya itu dengan heran. “Kak, boleh kenalan gak?” tanya laki-laki itu dengan tiba-tiba. Baik Anggi dan Helena memasang tampang cengo karena diajak berkenalan secara mendadak seperti sekarang. Terlebih Helena. “Jawab, woi!” bisik Anggi agar mereka dapat cepat sampai ke tenda mereka. “Iya, gue Helena. Kalau lo butuh apa-apa tenda panitia di ujung ya.” Ucap Helena, gadis itu mengira adik tingkatnya tersebut mengajaknya berkenalan semata-mata karena ia salah satu anggota kepanitiaan yang melewati tenda laki-laki itu. “Kalau saya butuh Kak Helena, tenda yang mana?” Baik Anggi dan Helena memasang tampang cengo lagi, mereka saling berpandangan heran. “Tenda gue nomor dua dari paling ujung warna biru. Ada pertanyaan lagi?” “Nomor w******p Kak Helena berapa, Kak?” tanya laki-laki itu polos. Untuk ketiga kalinya, Anggi dan Helena memasang tampang keheranan. Tidak ada angin, hujan, badai, dan petir, tiba-tiba dirinya diajak kenalan secara random oleh adik tingkat yang tak mereka kenal. “Buat apa ya?” tanya Helena balik. “Buat kenalan.” Jawabnya cepat. “Kasih aja kasih biar cepet!” bisik Anggi lagi. “Males ah! gue aja gak kenal.” Bisik Helena balik. “Ah iya! Nama saya Rio Kak. Kak Helena kemarin-kemarin ke kelas saya nagih uang makrab bareng Kakak ini.” Tunjuk Rio pada Anggi. “Oh, sorry. Gue lupaan anaknya.” Jelas Helena. “Dik, nanti malem aja lanjutin ngobrolnya ya. Kita berdua ada urusan penting nanti takutnya dimarahin ketua HIMA kita.” Tanpa menunggu respon lanjut dari Rio, Anggi menarik tangan Helena menjauh. Gadis itu berdecak sebal karena waktu tidur mereka terpotong akibat laki-laki itu. “Berani banget baru masuk udah modus!” gerutu Anggi yang malah disambut kekehan geli Helena. Gadis berambut sebahu itu teringat ekspresi Rio yang merasa tersinggung dengan tingkah laku sahabatnya itu. Kini mereka sedang menikmati semilir angin yang masuk dari pintu tenda. Mereka sengaja tidak menutupnya karena merasa gerah. Saat Anggi sudah tertidur pulas karena kelelahan mengurus acara, Helena membuka ponselnya. Terdapat banyak notifikasi masuk dari sosial medianya yang belum sempat ia baca sejak pagi tadi. Saking sibuknya mereka, Helena sampai tidak sempat membuka ponsel. Ia takut mendapat surat peringatan pertama dari ketua HIMAnya itu. Ia paham, Dewa tidak pernah main-main dengan perkataannya. Gadis itu bergerak membuka akun RPnya yang anehnya tidak pernah ada notifikasi yang masuk. Matanya membelalak kaget saat melihat ribuan pesan masuk bertubi-tubi, entah dari teman-teman RPnya atau grup chat. Untungnya, ponsel itu dalam mode diam sehingga tidak mengganggu tidur Anggi dan teman lainnya yang berada dalam satu tenda dengannya. Ia mengernyit heran ketika melihat ratusan pesan masuk dari akun bernama Dimitris itu. Mereka tidak saling mengenal lebih dekat tapi laki-laki itu bertingkah demikian. Helena memutuskan untuk membaca pesan dari laki-laki itu yang isinya tidak jauh-jauh dari bertanya kenapa dirinya tidak aktif dari kemarin serta gombalan-gombalan receh yang membuat Helena geli. “Neng Anna, Abang Dimi kangennn” ucap laki-laki itu membuat Helena terkekeh pelan takut membangunkan teman-temannya jika ia membuat keributan. “Ada hiu di depan kaca, I love you buat yang baca.” “Neng kemana Neng?” “P” “P” “P” Dan masih banyak pesan lainnya yang tak jauh-jauh dari itu. Kedua jempol Helena bergerak lincah membalas pesan dari Dimitris. “Gue sibuk. Knp?” balasnya singkat. Seperti biasa, ia mengirimkan pesan kepada Dylan yang menyuruh laki-laki itu cepat aktif kembali karena ia merindukan pacar RPnya itu. Ia sangat rindu. “Dylan, cepet pulang.” Gumamnya lemah.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD