Bab 7

3286 Words
 “Dylan, cepet pulang.” Gumamnya lemah. ** Malamnya, seluruh anggota kepanitiaan sibuk mempersiapkan sound system dan microphone untuk digunakan sebagai alat pendukung bagi penampilan setiap kelompok. Ada yang merentangkan tikar plastik besar berwarna biru untuk digunakan sebagai alas duduk bagi para mahasiswa baru dan panitia acara. Tampak Helena dan Anggi menggunakan seragam baju angkatan HIMA berwarna biru dongker dan campuran silver. Oh iya, dari awal cerita bagi yang belum tahu apa itu HIMA, organisasi tersebut merupakan singkatan dari Himpunan Mahasiswa. Dalam satu fakultas terdapat lebih dari satu HIMA sesuai berapa banyak jurusan dalam fakultas tersebut. Jika memiliki tiga jurusan, maka organisasi HIMA di dalam fakultas tersebut juga berisi tiga organisasi HIMA. Organisasi di atas HIMA adalah BEM yang merupakan kepanjangan dari Badan Eksekutif Mahasiswa. Setiap fakultas mempunyai satu organisasi BEM karena bersifat antar-fakultas bukan antar-jurusan seperti HIMA. Tugas HIMA ialah menyampaikan aspirasi dari mahasiswa jurusan mereka ke kepala jurusan jika memiliki keluhan atau kesulitan selama masa perkuliahan berlangsung. Demikian BEM, bedanya mereka menyampaikan keluhan dari berbagai jurusan ke dekan mereka selaku pemimpin fakultas. “Anjir capek!” keluh Anggi yang masih mengantuk. Tidur siangnya tadi terganggu oleh suara Helena yang berusaha membangunkannya karena mereka ada kegiatan apel sore mendadak mengenai puncak acara mereka nanti. “Sama anjir! Gue juga haus, ngantuk.” Ujar Helena menyetujui. “Kak, haus?” sebuah tangan terulur dari arah belakangnya. Ia menoleh dan mendapati adik tingkatnya tadi siang itu tengah menyodorkan air putih kemasan botol yang segelnya belum dibuka. Artinya, minuman itu masih baru bukan bekas laki-laki tersebut. “Eh? Gapapa? Lo gak minum?” tanya Helena bertubi-tubi. Kalau saja dirinya tidak tahu malu, ia pasti sudah menerima botol minum itu dengan cepat. Ia memang sangat haus karena berjalan mondar-mandir mengurusi kegiatan mereka itu bersama Anggi. “Iya, Kak. Ambil aja.” jawab Rio sambil tersenyum ramah. Helena dengan canggung mengambil botol itu dan meneguk setengah isinya. “Sisain gue!” rengek Anggi yang juga merasa haus. Helena menunjukkan cengirannya sambil menghabiskan seperempat isi botol itu lagi. Kini, air itu hanya tinggal seperempat saja. Anggi mendengus sebal saat menerima botol tersebut dari Helena yang menatapnya usil. “Pelit lo!” ujar Anggi yang langsung meneguk sisa air minum Helena tadi. Helena menoleh ke arah belakangnya bermaksud ingin mengatakan terima kasih namun laki-laki itu sudah menghilang tanpa dirinya sadari. “Eh, kemana perginya itu bocah?” tanya Helena pada Anggi yang juga mengedarkan pandangannya bingung. “Hah? Gak tau tuh. Pergi gak bilang-bilang anjir!” gerutu Anggi lagi. Seharian, gadis itu memang sering menggerutu pada hal kecil. Alasannya karena ia tidak suka kegiatan berkemah, menurutnya kegiatan ini sangat ribet dan melelahkan. “Yang penting dia gak minta ganti rugi minumannya kita habisin kan?” tanya Helena. “Lo b**o ya? Tadi dia itu modusin lo!” ujar Anggi dengan nada kesal. “Hah? Orang dia cuma nawarin minum doang.” Ucap Helena dengan nada bingung. Dahinya mengkerut tanda ia sedang berpikir. “Ah udahlah! Besok-besok tuh pacaran di RL jangan RP mulu!” “Aw! Sakit anjir!” Anggi memekik kesakitan saat pinggangnya dicubit Helena yang menatapnya cemberut. “Omongan lo dih!” tegur Helena. “Kan bener sih! Gara-gara kelamaan pacaran di RP, lo gak tau gimana rasanya pacaran di RL.” Ujar Anggi membela diri. Dirinya takut menyinggung perasaan sahabatnya itu. “Na, maaf gue bercanda.” Sambungnya cepat. Helena terkekeh sambil memukul bahunya. “Ish! Sakit!” gerutu Anggi mengusap-usap bahu bekas Helena pukul. “Lo besok-besok cuci mulut tuh biar gak kotor!” ejek Helena yang hanya dibalas dengusan kesal gadis di sampingnya. **             Helena dengan mata sayunya itu mengecek jam di ponselnya secara berkala. Ia sudah merasa sangat mengantuk tetapi acara mereka juga belum selesai. Terakhir kali ia mengecek ponselnya, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sahabatnya, Anggi tak kalah mengantuk dari dirinya. Bahkan gadis itu terlihat beberapa kali memejamkan mata saat menyender di bahunya. “Na, tenda aja yuk. Ngantuk!” “Belum selesai, b**o. Nanti dimarahin Kak Dewa.” Anggi berdecak sebal sambil menutup mulutnya. Sudah terhitung berapa kali dirinya menguap sepanjang acara berlangsung yang dibuka dengan Dewa dan wakil ketuanya, Gian, menyanyikan sebuah lagu yang berjudul love of my life dari band ternama Inggris pada tahun 1980an, Queen. Helena iseng mengecek ponselnya yang tidak ada satupun notifikasi yang masuk. “Ini sinyal yang jelek apa gimana deh?” batinnya. Jempolnya menggeser layar dan membuka akun RPnya. Baru beberapa detik, notifikasi mulai masuk tanpa henti. Helena sampai bingung karena semakin lama ia buka, pesan yang masuk semakin banyak. “Aneh, banget.” batinnya lagi. Matanya melihat ke list chat dari Dimitris yang mengiriminya puluhan pesan berisi pertanyaan kenapa Helena tidak membalas pesannya dari siang. Ia sedikit merasa kaget saat laki-laki itu mengatakan, “Na, gue kangen gangguin lo. Boleh gak gue kenal lo lebih jauh?” **             Keesokan paginya Helena, Anggi, dan teman panitia lainnya yang satu tenda dengan mereka berdua sudah selesai membereskan peralatan kemah mereka begitupula dengan mahasiswa lainnya. Acara mereka semalam berjalan sukses yang ditutup dengan adegan drama anggota kepanitiaan dimana mereka pura-pura bertengkar di depan seluruh mahasiswa baru. Ada yang acuh saja dan ada yang pula sampai menangis karena takut melihat pertengkaran di antara seniornya. “Gue lega banget bentar lagi pulang!” seru Anggi semangat. Ia sudah lelah dan ingin cepat sampai ke rumah lalu tertidur sampai sore. Toh tidak akan ada yang menganggu karena orang tuanya juga sibuk bekerja. Saudara laki-lakinya pun juga tidak akan repot-repot menjaili dirinya. “Gue juga anjir! Badan gue pegel-pegel” sahut Helena. Gadis itu terlihat memijit-mijit bahunya yang terasa ngilu karena hanya tidur dengan beralaskan tikar plastik. “Guys, Kak Dewa udah kode tuh. Kita apel pagi sekarang.” ujar Hana, salah satu teman mereka yang satu tenda selama acara. Ia merupakan salah satu anggota seksi dokumentasi karena di lehernya tergantung kamera yang di talinya bertuliskan merk Nikon. Helena, Anggi, dan teman-teman yang lain mengangguk lalu berjalan bersama ke arah dimana Dewa berada. Pagi itu, laki-laki berkacamata tersebut sudah berpakaian sedikit rapi dari teman-teman panitia yang lain dengan memakai baju kaos hitam yang dibalut jas almamater kampus karena ia akan memberikan dua patah kata untuk menutup resmi acara mereka. Rambutnya ia sisir dengan tangan agar tidak terlalu berantakan. Di tangan kirinya ia memegang toa untuk menyuruh anggota kepanitiaan berkumpul sementara para mahasiswa baru dipersilahkan menunggu di depan lokasi tenda masing-masing. “Ayo cepat cepat cepat! Waktu kita gak banyak! Cepat!” seru Dewa berbicara melalui toa. “Dalam sepuluh detik jika belum sampai di hadapan saya, semua saya kasih SP 1.” Tambahnya lagi. Sontak seluruh anggota kepanitiaan akhirnya berlari-lari kecil agar tidak terlambat termasuk Helena dan Anggi. Bisa ditebak Anggi kini sedang memasang tampang kesal mendengar perkataan ketua HIMAnya itu. “Orang masih pagi juga lebay amat ngasi SP 1.” Bisik Anggi pada Helena yang ikut misuh-misuh. “Dikira gak pegel kali ngurus orang segini banyak.” Bisik Helena sambil diam-diam menatap Dewa dengan raut wajah menahan marah. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lapangan yang kemudian bertemu pandang dengan Rio yang daritadi sudah memandangnya dengan tatapan kagum. Kedua bibirnya seperti berkata ‘semangat’ ke arah Helena. Laki-laki itu bahkan sempat tersenyum tipis sebelum menoleh ke arah yang lain. Helena ikut tersenyum samar sebelum Anggi mencolek lengannya. “Ayo ke bus! Bengong aje!” “Eh? Udah? Kita gak ngecek daftar hadir maba?” tanya Helena. “Enggak. Itu urusan penanggung jawab setiap kelompok, lo gak denger kata Kak Dewa tadi?” tanya Anggi balik. Kini mereka berjalan ke arah bus yang akan mereka tumpangi untuk pulang ke Jakarta. “Hah? Enggak.” Anggi mendengus ketika sahabatnya itu menunjukkan cengirannya. “Ngelamun mulu. Mikirin apalagi lo? RP?” “Sembarangan. Dylan lagi gak aktif jadi gue juga jarang main.” “Oh! Lo pasti mikirin Rio ya? Adik tingkat yang kemaren maintain WA lo?” Anggi tertawa meledek. Kini gantian Helena yang mendengus mendengar perkataan sahabatnya itu. “Boleh juga, Na. Selera lo berondong ya? Gak sama adek gue aja?” tawa Anggi makin keras bertepatan dengan sampainya mereka di depan bus. “Bacot! Minggir gue mau masuk!” ucap Helena galak tanpa menoleh ke arah Anggi yang masih sibuk tertawa. Ia menyusul naik ke bus saat Helena sudah lebih dulu. Gadis itu tersenyum geli melihat tingkah Helena yang seperti orang salah tingkah. “Idih ngambek lo?” goda Anggi tanpa henti. Gadis di sampingnya mengerucutkan bibir sambil melihat ke arah jendela. “Rio-rio Helena ngambek!” ucap Anggi tiba-tiba yang membuat Helena menolehkan kepala dengan cepat. Anggi langsung tertawa keras melihat respon sahabatnya itu yang memang sesuai ekspetasinya. “Lucu ya?” tanya Helena sebal. Ia memasangkan earphone di kedua telinganya agar suara menyebalkan Anggi tidak terdengar lagi. Saat bus mulai berjalan dirinya memejamkan mata menikmati suara James Arthur yang menemani perjalanannya itu. Kebanyakan orang di bus tersebut termasuk Anggi juga memilih tidur di sepanjang perjalanan. Maklum, ini tahun pertama mereka mengurus ratusan mahasiswa baru, tentu saja melelahkan dan menguras tenaga. Helena tidak sepenuhnya tertidur, ia mengingat pesan yang masuk dari Dimitris semalam yang sampai sekarang belum ia balas. Saking kagetnya ia tak tahu harus merespon bagaimana.  Ia akui dirinya memikirkan perkataan laki-laki itu sepanjang malam. Ia takut kalau-kalau Dimitris memang benar menyukainya, tentunya ia akan sangat merasa bersalah jika hal itu sampai terjadi. Ia juga memikirkan pacarnya, Dylan, yang mungkin memang sibuk di kehidupan aslinya tapi di sisi lain ia juga mencurigai pacar Rissa yang bernama Willy itu. Helena takut pikiran buruknya tentang Willy adalah akun kedua dari Dylan benar-benar terjadi. Semalaman, gadis dengan tinggi seratus lima puluh delapan sentimeter itu sibuk memikirkan hal-hal yang menganggu benaknya. Kini lagu dari James Arthur yang berjudul Say You Wont Let Go sudah tergantikan dengan lagu Love Me Like You dari girl band perempuan asal Inggris, Little Mix. Ia menghela napas sekilas dan membuka matanya. Gadis itu melirik ke samping tempat dimana sahabatnya itu tertidur dengan bantalan di lehernya. Helena tersenyum geli saat dengkuran halus Anggi terdengar. Tiba-tiba timbul ide jail di kepalanya untuk mengambil gambar Anggi yang sedang tertidur dengan bibir sedikit terbuka. “Kalau lo ngejek gue, gue udah punya s*****a Nggi.” Batinnya sambil terkekeh geli. Ia tersenyum puas melihat hasil jepretannya itu tersimpan rapi di ponselnya. Gadis itu mengecek notifikasi yang telah ia abaikan sejak semalam. Saking sibuknya gadis itu tidak punya waktu bermain ponsel, ia bahkan tidak pernah mengirim pesan pada Mamanya. Ia melihat jam yang menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Mamanya mungkin sedang berada di pasar, ia tersenyum geli membayangkan sang Mama menenteng banyak belanjaan sendirian sambil mendumel dalam hati. Maklum, jika ada Helena, gadis itulah yang rata-rata membawa semua belanjaan, sementara Lia sibuk melakukan transaksi dan negosiasi dengan para penjual. Bus sudah berada di setengah perjalanan pulang saat tiba-tiba ponsel Helena bergetar, gadis yang berusaha tertidur itu pun langsung membuka kedua matanya, dengan tidak semangat mengecek siapa yang mengirimnya pesan saat itu. Ia menautkan kedua alisnya ketika melihat Dimitris mengiriminya sebuah pesan. “Pagi, Na.” pikiran gadis itu kembali pada pesan yang Dimitris kirimkan semalam. Ia bingung harus merespon bagaimana. Cukup lama dirinya perang batin antara membalas atau mengabaikan pesan dari laki-laki itu, akhirnya ia memilih untuk mengabaikannya dulu. “Di rumah aja deh balesnya.” Ujarnya dalam hati. Gadis itu memejamkan matanya kembali, ia masih mengantuk ditambah dirinya memang susah tidur semalam akibat terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sedang terjadi belakangan ini. ia berniat mengajak Dania berbaikan saat mereka di kampus nanti. Kebetulan ketiga sahabat itu memang mengetahui jadwal kuliah masing-masing. Apalagi Helena dan Anggi memang rata-rata berbagi kelas yang sama. Hanya satu atau dua mata kuliah yang kelasnya berbeda. Iya, dia akan meminta maaf dan mengajak Dania berdamai. **             “Na, makan malem dulu! Udah jam berapa!” teriak Lia dari luar. Sekitar jam satu siang, gadis itu sudah sampai di rumahnya menaiki jasa ojek online. Tadinya ia mau meminta Lia menjemputnya tapi dirinya paham Mamanya itu sedang membuat kue pesanan seperti biasa. Helena memijit pelipisnya, kepalanya sedikit berdenyut menandakan dirinya merasa pusing. Dengan langkah gontai, ia berjalan keluar kamar sebelum Lia meneriakinya lagi. “Lho lho lho! Kenapa kamu? Akting sakit biar gak diomelin karena telat makan?” tuduh Lia memerhatikan anaknya yang sedikit pucat itu. “Enggak, Ma. Kepala Helena beneran pusing.” Sahut gadis itu dengan nada bicara yang lemah. “Lah? Serius?” “Dih, Ma.” Ujar Helena lagi. Ia duduk di kursi makan dengan menumpu dagunya dengan kedua tangannya di atas meja. “Mau ke dokter aja? Yuk Mama anter.” Helena menggeleng saat Mamanya itu berjalan menghampirinya dan menyentuh dahinya. “Kamu demam deh kayaknya. Besok gak usah ngampus aja ya?” ujar Lia sedikit menunjukkan raut wajah khawatir. Anak gadis kesayangannya itu jarang sekali sakit. Helena menggeleng untuk kedua kalinya, “Gapapa, Ma. Takutnya besok ada kuis kan udah masuk pertengahan semester.” “Gapapa, libur sehari aja. Istirahat di rumah sampai mendingan, kalau dipaksain makin parah gimana? Tambah lama kan kamu libur kuliahnya.” Bujuk Lia. Helena hanya diam tidak menggubris perkataan Mamanya itu, karena menurutnya percuma. Besok ia pasti tidak diizinkan keluar rumah. Kepalanya semakin pusing saat Lia menopang lengannya dan menyuruhnya berdiri. “Ke kamar ya, nak. Nanti Mama aja yang bawain makanan ke kamar.” Ujar Lia yang hanya diiyakan saja dengan anggukan pelan dari Helena. Gadis itu sudah tidak mempunyai tenaga untuk merespon perkataan Mamanya itu. Gadis itu menghela napas sambil menahan sakit di kepalanya saat ia direbahkan di atas kasurnya oleh Lia. Wanita separuh baya itu menyelimuti Helena yang kini memejamkan mata, berharap itu dapat mengurangi sakit di kepalanya. “Kamu ngapain aja Na, selama acara?” tanya Lia lembut. Ia mengusap dahi anaknya yang terasa panas. Gadis itu hanya menggeleng lemah tidak mampu berkata-kata. Lia menghela napas sebelum keluar dari kamar anaknya itu, ia bermaksud untuk menyiapkan handuk kecil dan air hangat untuk mengompres kepala Helena agar panasnya turun. Ia juga membawakan makan malam karena anaknya itu belum pernah makan semenjak pulang dari acara kampus. Ponsel gadis itu tampak bergetar menandakan ada notifikasi yang masuk tapi ia tidak berniat membukanya. Dirinya hanya memikirkan kesehatannya sekarang ini, ia tidak mau jatuh sakit saat ujian tengah semester sebentar lagi akan dimulai. Beberapa menit kemudian Lia masuk dengan membawa nampan berisi wadah kecil air hangat dan handuk kecil di tangan satunya, sepiring nasi dengan lauk pauk serta segelas air putih. Gadis itu merasakan sesuatu yang lembab di dahinya saat Lia menempelkan handuk tersebut. “Bangun sebentar yuk. Makan nasi dulu, dikit aja.” bujuk Lia dengan nada lembut. Helena menggelengkan kepalanya, dahinya mengernyit tanda menahan rasa pusingnya yang semakin bertambah. “Dikit, aja.” bujuk Lia lagi namun gadis itu menggeleng untuk kesekian kalinya. Akhirnya Lia menyerah dan meletakkan kembali piring tersebut di atas nakas. Butuh beberapa menit sampai akhirnya Helena tertidur lagi. Malam yang panjang bagi Lia karena ia tidak bisa tertidur, wanita itu menunggui anaknya sampai setidaknya panas badan Helena turun. Sesekali ia mengganti kompresan tersebut dengan yang baru. Sekitar pukul tiga pagi, Mama Helena tersebut akhirnya tertidur di tepi ranjang anak gadisnya. **             Keesokan paginya, Helena lebih dulu bangun dengan kedua mata yang sayu. Pusing di kepalanya perlahan menghilang namun  tubuhnya masih merasa lemas karena semalaman tidak makan. Ia mengerang pelan dan berusaha duduk namun gerakannya itu malah membangunkan Lia yang terlihat seperti orang yang masih mengantuk. “Na? Gimana kepalanya, sayang?” tanya Lia yang melihat putri kesayangannya itu berusaha duduk. Dirinya pun membantu Helena dengan memberikan bantal di tepi tembok agar Helena bisa duduk dengan nyaman. “Mama tidur jam berapa semalem?” tanya Helena balik. Ia juga khawatir dengan kondisi Lia yang seperti orang kurang tidur. “Ya pas kamu tidur, Mama juga ikut tidur.” “Kok gak di kamar Mama?” tanya Helena lagi. “Dih, emang Mama gak boleh tidur kamar kamu?” ujar Lia dengan nada omelannya. “Yeee kan punya kamar sendiri.” “Dasar anak durjana!” ucap Lia dengan nada bercanda. Ia diam-diam mengucap syukur, putri satu-satunya itu sudah jauh lebih mendingan dari semalam. “Kamu gak usah ke kampus ya, hari ini. Mama bikinin sarapan dulu.” Ucap Lia beranjak keluar kamar setelah mengikat rambutnya itu. Helena mengangguk patuh lagipula rasa lelahnya karena acara jurusan kemarin belum sepenuhnya hilang. Ia mengambil ponselnya di nakas dan ternyata sudah banyak pesan yang masuk dari akun RPnya maupun akun aslinya. “Na, lo kesiangan? Cepetan b**o! Bentar lagi dosennya masuk!” kata Anggi beberapa belas menit yang lalu. “Na!” “Ish!” “P” “Punten Kak.” “Mampus aja lo!” “Dah msk dosennya, bye.” Helena tersenyum samar membaca pesan Anggi yang terkesan galak itu. Ia mengetikkan beberapa kata sebagai balasan pesan Anggi, “Gue lagi sakit, gak masuk. Besok baru ngampus.” Balas Helena. Dirinya beralih membuka akun RPnya, banyak pesan yang masuk dari grup chat maupun obrolan pribadi. Entah kenapa tangannya bergerak membuka pesan-pesan dari Dimitris yang hampir mendekati seratus. Tanpa sadar ia tersenyum lagi. “Anna, lo ilfeel ya sama gue?” “Na, kok chat gue gak lo bales?” “Na, sibuk ya?” “Anna.” “Na, lo marah?” “Na, aktif dong, gue nungguin nih.” Dan masih banyak yang lainnya. Setelah selesai membaca seluruh pesan dari laki-laki itu, dirinya pun mengetikkan balasan untuk Dimitris. “Maaf, Dim. Kemaren gue sibuk acara RL, gak sempet pegang hp. Gue juga lagi sakit.” Tak sampai semenit, laki-laki itu sudah membalas pesannya dengan bertubi-tubi. “Ya ampun kemana aja?” “Gue kira lo marah sama gue karna gue ngomong gitu.” “Lo gak marah kan?” “Lo sakit apa?” “Udah minum obat?” Helena tanpa sadar tersenyum sedikit lebih lebar, “Gue cuma kecapekan aja abis ngurus acara. Gue udah gapapa.” Balas gadis itu. Tangannya beralih mengklik notifikasi yang baru saja masuk dari Anggi. “Gue nanti ke rumah lo, ya. Jengukin lo.” Ucap gadis itu. “Siap! Titip batagor depan kampus dong.” Balas Helena. “Dih! Untung lo sakit, ya!” Helena tertawa melihat balasan sahabatnya itu. Kepalanya menoleh ke arah kamar dan mendapati Lia sedang berjalan ke arahnya dengan membawa nampan berisi bubur hangat dan segelas air putih. Helena sedikit cemberut. “s**u coklatnya mana?” tanya Helena dengan nada manja. “Udah habis, Mama belum beli yang baru tadi lupa, yang ada aja dulu ya.” Bujuk Lia yang hanya diangguki Helena. Gadis itu menurut saja saat disuapi yang beberapa menit kemudian sudah selesai sarapan. “Cepet kan? Coba kalau makan sendiri, lama banget, abis sambilan hpan.” Omel Lia yang membuat Helena nyengir. “Nanti Anggi mau ke rumah, Ma.” Ucap Helena setelah meneguk habis air putihnya. “Iya? Bagus dong, kamu jadi ada temen. Mama tinggal kerja gapapa ya? Jam berapa Anggi ke sini?” tanya Lia bertubi-tubi. “Habis kelas kayaknya, agak siangan. Gapapa, Ma.” “Maaf ya, Ma. Semalem Helena pasti ngerepotin Mama.” Tambahnya. “Wah, iya nih! Repot banget, Mama. Traktir Chatime bisa kali?” canda Lia. Keduanya sama-sama menyukai merk minuman tersebut. Helena mendengus geli, “Harusnya orang yang lagi sakit yang ditraktir.” “Dih, lagi sakit kata siapa boleh minum es?” Lia menoyor pelan kepala anaknya itu. “Aduh-aduh! Kepala Helena pusing banget mau pingsan,” gadis itu pura-pura kesakitan yang malah diberi toyoran lagi untuk kedua kalinya oleh Lia. “Yailah, kamu gak cocok jadi bintang film.” Komentar Lia. “Dih, Mama emang cocok?” “Udah, ah. Mama mau siap-siap kerja. Nanti kalau ada apa-apa WA Mama ya.” “Siap, bos!” ucap Helena semangat sambil memberi tanda hormat. Lia terkekeh geli dan berjalan keluar kamar setelah mengusap rambut gadis itu.             Sudah lebih dari setengah jam, Mamanya berangkat kerja. Helena merasa bosan dan memutuskan untuk bermain ponsel saja di ruang TV nya. Sejak tadi dirinya sibuk saling berbalas pesan dengan Dimitris sambil menunggu kabar dari Anggi. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu sambil meneriakkan namanya. “Helena, buka!” seru suara seorang perempuan yang ternyata Anggi. Di belakangnya ada Dania yang memasang tampang masam. Helena seketika langsung merasa deg-degan, ia belum siap bertemu Dania karena sudah lama mereka berdua tidak melihat satu sama lain. “Sabar, anjir!” ucap Helena berusaha menutupi kecanggungannya. “Gila! Udah berapa lama gue gak kesini ya?” tanya Anggi menyelonong masuk. Dirinya sengaja meninggalkan Helena dan Dania berdua. Tadi ia memaksa gadis itu ikut dengannya dengan alasan “Lo tega sahabat lo sakit gak lo jengukin? Jangan kayak anak kecil, Dan!” Akhirnya Dania terpaksa ikut walaupun sebagian dirinya enggan menerima ajakan itu. Dania masih diam berdiri di situ dengan raut wajah datar. Ia membuang muka saat Helena memandangnya dengan perasaan yang tidak bisa ia tebak. Ia paham sahabatnya itu merasa canggung padanya. “Masuk, Dan.” Ajak Helena pada akhirnya. Gadis itu menutup pintu saat Dania sudah masuk ke dalam rumah, ia berjalan di belakang Dania. “Lo jalan duluan aja.” ucap Dania tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang. Helena tersentak kaget dan hanya menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga kini sedang berada di depan TV, menikmati sinetron pilihan Anggi. Saat perjalanan ke rumah Helena, Anggi dan Dania menyempatkan membeli batagor dan itu lah yang mereka makan sekarang sambil menonton. “Dan, gue minta maaf ya. Gue tau gue salah, harusnya gue gak ngintip hp lo waktu itu.” ucap Helena tiba-tiba. Ia sudah tidak tahan terjebak dalam perang dingin ini lagi. Anggi yang mendengar itu hanya berpura-pura fokus menonton. “Iya, udah gausah dibahas. Gue juga minta maaf.” Ucap Dania pelan. Ia menepuk-nepuk bahu Helena sambil tersenyum tipis. Diam-diam ketiganya merasa lega, akhirnya mereka bertiga kembali bersahabatan lagi. Namun, mereka tidak tahu, bahwa ini bukan akhir dari cerita persahabatan mereka. Ini baru permulaan.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD