Prolog
Di tengah hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur, Keisya Lestari berdiri di depan pagar sebuah rumah mewah, tempat mantan calon suaminya, Dimas Sadewa, tinggal. Rasa tegang terasa di udara seolah-olah mencerminkan pertarungan batin Keisya saat ini.
***
Satu jam yang lalu.
“Tante.” Keisya menemui ibu Dimas dengan suara gemetar.
“Cukup, Keisya. Sudah lama sekali aku ingin bicara denganmu tentang ini, tapi seringkali Dimas melarangku! Kalian itu tidak cocok satu sama lain!” desis Tante Marissa dengan nada tegas.
“Tapi aku dan Dimas sudah lama menjalin hubungan, Tante. Sampai sekarang pun kami sudah di tahap bertunangan. Apa Tante pikir mudah untuk memutuskan hubunganku dengannya? Tante benar-benar kejam!” Keisya menegaskan dengan suara yang penuh emosi.
“Keisya! Apa begitu caramu berbicara dengan ibuku, hmm?” Tiba-tiba, suara Dimas memenuhi ruangan.
Keisya terlonjak kaget. Ia menatap pada pria yang baru saja melangkah turun dari anak tangga terakhir. “Dimas!” seru Keisya menyambut tunangannya.
“Mama benar tentangmu, Kei. Sekarang aku bisa melihat dengan dua mataku sendiri bagaimana caramu berbicara dengan orang tuaku. Kita ini baru tunangan, Kei. Bagaimana nanti jika kita menikah? Aku tidak sudi punya istri yang tidak hormat pada ibuku!” seru Dimas dengan suara yang penuh kecewa. Ia menghampiri mamanya, Marissa, yang memasang wajah sedih dan terluka.
Keisya kelabakan mendengar Dimas yang tidak lagi memihak kepadanya. “I-ini tidak seperti yang kamu lihat, Dimas! Kamu tidak tau keseluruhan ceritanya!” Keisya mencoba membela diri.
“Cukup, Kei! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi! Pergi kamu dari sini! Cincin pertunangan kita itu, kau simpan saja kalau kamu mau,” ujar Dimas dengan suara yang keras.
Air mata mulai mengalir dari pelupuk mata Keisya. Ia tidak menyangka akan melihat Dimas mengusirnya seperti itu. Hatinya terasa perih. Dengan air mata yang tidak berhenti, Keisya melepaskan cincin berlian yang selama ini menghiasi jari manisnya. Dengan gerakan tegas, cincin itu dilemparkannya ke arah Dimas.
“Aku, Keisya Lestari, juga tidak mau menikah dengan pria arogan dan egois sepertimu!” ucap Keisya dengan suara gemetar karena amarah. “Kamu tidak tahu apa-apa, Dimas!”
Marissa mencoba untuk membela putranya. “Aku juga tidak mau memiliki menantu yang tidak punya pekerjaan seperti kamu! Apa kamu tidak tahu jika Dimas sudah punya pengganti yang lebih cocok dari kamu! Dia seorang putri konglomerat! Dia juga bekerja sebagai artis! Sedangkan kamu hanya lulusan perguruan tinggi saja,” ejek Marissa dengan sinis.
Keisha menggeram mendengar hal itu. Hatinya terasa panas, terutama melihat Dimas yang sama sekali tidak membela dirinya. Keisya memalingkan diri dan melangkah pergi dengan langkah lunglai, meninggalkan keheningan yang penuh luka.
Kesialan Keisya tidak berhenti disitu saja. Setelah keluar dari rumah Dimas, tiba-tiba hujan deras datang mengguyur. Ia yang tidak punya apa-apa untuk melindungi diri dari hujan pun membiarkan dirinya basah dan larut dalam perasaan.
Tin! Tin!
“Nona, hujan deras sekali! Ayo naik!" seru seorang pria dari dalam mobil dengan jendela terbuka.
Beberapa kali suara klakson kembali dibunyikan. Namun, Keiysa tidak menggubrisnya sama sekali. Dia terus berjalan di tengah hujan yang masih deras.
'Kamu jahat, Dim! Setelah bertahun-tahun kita pacaran, bahkan sampai menjadi tunangan, kamu mendepak aku hanya karena satu kesalahan kecil yang aku lakukan,' batin Keisya dalam diam. Ia membiarkan saja air matanya meleleh menuruni pipi dan menyatu dengan air hujan.
Tiba-tiba, tangannya terasa dicekal dan memaksa Keisya untuk memalingkan tubuh pada orang itu. Di hadapannya, seorang pria tampan sedang menghentikan langkahnya. Ia memaksa Keisya untuk masuk ke mobil.
“Lepaskan aku! Biarkan aku sendirian!” pekik Keisya histeris. Ia berulang kali mencoba untuk membuka pintu mobil, tetapi selalu ditahan oleh pria itu. Pada akhirnya, Keisya meringkuk dan menangis meraung-raung.
“Menangislah sepuasmu. Mungkin dengan menangis, kau akan merasa sedikit lebih baik,” ujar pria tampan itu pada Keisya.
“Aku tidak sanggup! Aku lebih baik mati! Aku sayang sama Dimas!!" raung Keisya sambil tergugu. Rapuh dalam keputusasaan.
“Gadis bodoh! Dangkal sekali pemikiranmu, hmm? Apakah orang tuamu melahirkanmu ke dunia ini hanya untuk melihatmu bunuh diri karena pria yang tidak mencintaimu?!”
“Kamu-?!”
“Putus cinta saja membuatmu bodoh dan mau bunuh diri! Bukankah kamu harus bangkit dan tunjukkan pada mereka kalau kau adalah wanita yang lebih baik daripada wanita itu?! Mereka tidak pantas memiliki kamu sebagai bagian dari keluarga!”
Keisya terdiam seketika, meski masih sesenggukan. 'Pria ini benar juga,' gumam Keisya dalam hati.
***
“Ketika aku berpikir semuanya sudah berakhir, ternyata itulah saat di mana segalanya dimulai.”
- Keisya Lestari