Lima

1121 Words
Mira tidak sadar, kalau William berdiri tepat di belakangnya, gadis itu tetap melanjutkan pekerjaanya. Mira meletakkan gelas dan teko kecil di atas nampan. saat dia hendak berbalik... "Akh." Mira memegang dadanya yang berdetak kencang. Beruntung tadi dia belum mrngangkat nampan, kalau tidak, sudah di pastikan kalau gelas dan teko kaca itu akan hancur. "Bapak-," "Apa? kamu kira saya setan?" dengus William geli, namun raut wajahnya tetap datar. Mira menggeleng, karena bukan itu yang di pikirkannya. "Saya kira maling, Pak," kata Mira dengan polosnya.  "Kamu pikir maling mana yang bisa masuk ke rumah ini?" tanya William angkuh. "Dengan dua belas orang yang berjaga, CCTV di setiap sudut rumah. lalu ada empat anjing penjaga. Bahkan untuk melewati pintu depan dan pintu belakang mereka tidak akan sanggup" tambah William lagi. 'benar juga' pikir Mira. "Lalu apa yang Anda lakukan di sini, Pak?"  "Buatkan saya makan! Saya lapar" Perintah William. "Bapak mau makan apa?" Tanya Mira, dia lalu membuka kulkas untuk melihat persediaan bahan makanan. "Makanan yang proses masaknya cepat," jawab William tanpa melihat Mira. "Nasi goreng?" "Iya, boleh." Mira mengeluarkan bahan yang dia perlukan. "Mira, tambahkan telurnya satu lagi!" Pinta William saat dia melihat Mira hanya mengeluarkan satu telur.  "Baik pak." Jawab Mira patuh. dia lalu mengambil satu telur lagi dari dalam kulkas, Lalu dengan cepat berjalan ke depan kompor. William diam-diam mengamati Mira yang sedang memasak, dari belakang. William menelan ludahnya saat bayangan erotis tiba-tiba muncul di kepalanya. Bayangan akan  dia merengkuh Mira dan mencumbu bibir ranum gadis itu,  di depan kompor panas.  "Ugh ..." William mendesah kasar. Mira berbalik dan melihat William dengan kening berkerut.  "Bapak bilang sesuatu?" Tanyanya. "Ekhem ... tidak ada." William memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona merah yang muncul di kedua pipi-nya. Tidak butuh waktu lama untuk Mira menyelesaikan masakan nya. Dia menghidangkan sepiring nasi goreng di depan William. "Terima kasih, kamu boleh pergi!" Usir William halus. Dia tidak mau, selera makannya terganggu karena masih ada Mira di sekitarnya. "Permisi, Pak." Mira meninggalkan william sendiri di meja makan. Dia Masuk ke kamar Mikha dan meletakkan nampan yang dia bawa. Membetulkan selimut Mikha lalu mematikan lampu. Mira keluar dari kamar Mikha dan masuk ke kamarnya. Mira sudah mengantuk. Jadi, begitu tiba di kamarnya, dia langsung merebahkan badannya untuk tidur. William meninggalkan dapur setelah menghabiskan sepeiring nasi goreng buatan Mira. Dia berjalan menuju kamarnya untuk istirahat. William berhenti di depan kamar Mira, dia memperhatikan pintu itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Entah apa yang merasuki William hingga dia dengan berani, membuka pintu kamar Mira dan masuk kedalam. Di dalam kamar Mira, William bisa melihat gadis itu yang sudah tidur, meski keadannya temaram, nyatanya hal itu tidak bisa menyembunyikan kulit paha Mira yang ter-ekspos.  William semakin mendekat, dia mengamati Mira yang tidur nyenyak. Pelan-pelan William menyentuhkan tangannya ke paha Mira yang terbuka. William menahan desahan yang hampir lolos dari mulutnya, saat tangannya bersentuhan dengan kulit halus milik Mira. Mira tersentak dari tidurnya dan terbangun. William langsung menarik tangannya, sebelum Mira menyadarinya. "Bapak butuh sesuatu?" tanya Mira, dia berdiri dan menyalakan lampu. Mira kemudian mengernyit saat melihat wajah William yang memerah. "Bapak sakit?" Mira sedikit kaget, dia mendekat dan menyentuh kening William. "Ugh ..."  Mira menarik tangannya dari kening William, saat mendengar erangan majikannya itu. "Tidak panas, Bapak sakitnya di bagian mana?" Tanya Mira lagi, raut wajahnya terlihat panik. "Saya... ekhm," William berdehem untuk membersihkan tenggorokannya yang kering. "Saya, baik-baik saja," jawab William akhirnya. "Tapi, Pak. i-itu bapak sepertinya bengkak." Mira menunjuk bagian intim William.  William mengutuk dirinya sendiri, yang lepas kendali. "sebentar, Pak saya akan segera kembali."  "Tunggu! Apa yang akan kamu lakukan?"  "Saya akan membantu bapak meredakan bengkaknya," jawab Mira cepat  "Tapi-," Mira tidak mendengar William, Dia sedikit berlari keluar kamar. Dan tidak lama dia kembali dengan sekantong es batu di tangannya. "Apa itu?" Tanya William was-was. "Ini es batu, Pak. Di kampung, kami sering pakai es batu untuk mengompres bagian tubuh yang bengkak" Jelas Mira sabar. "Apa? Tapi yang saya butuhkan bukan itu." William menyesal menunggu Mira di kamar wanita itu. Dia pikir Mira akan membantunya dengan cara... "Ah sial!" Maki William dengan suara yang kencang tanpa sadar. Namun Mira menangkap makian William itu sebagai lampiasan rasa sakit.  "Apa yang kamu lakukan?" Tanya William nyaris berteriak. Mira yang berlutut di hadapannya dan bersiap menarik turun celana piyamanya. "sa-saya ingin membantu bapak, mengompres..." "Tidak perlu! saya akan melakukannya sendiri." William mengambil es batu dari mira dengan kasar, kemudian berlalu dari kamar Mira. Dari kamarnya Mira masih bisa mendengar desisan dan makian William. William masuk ke kamar dengan membanting kasar pintu kamarnya. Dia melemparkan kantong es batu itu ke tempat sampah. Dia kemudian masuk ke kamar mandi dan langsung mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. "Sialan Mira!" makinya lagi, entah sudah berapa kali dia memaki wanita itu hari ini. Semuanya berawal sejak dia tidak sengaja menyenggol p******a Mira di restoran. Dan sejak itu dia selalu bernafsu pada Mira. Bahkan jika Mira memakai pakaian tertutup sekali pun.Selalu mampu mengundang birahinya. William menanggalkan pakainnya yang basah, melemparnya ke keranjang pakaian kotor, dengan berbalut kimono handuk, dia keluar dar kamar mandi. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Tanya William dengan dingin pada Mira yang berdiri di tengah kamar dengan canggung.  "Saya khawatir dengan keadaan Bapak. Apa anda baik-baik saja, Pak?" Raut wajahnya menunjukkan kalau dia benar-benar mengkhawatirkan William. Tapi William tidak tersentuh sama sekali. "Saya baik-baik saja, keluarlah saya ingin istirahat!" "Tapi, Pak." "Keluar Mira!" William menekan suaranya saat menyebut nama Mira. Mira berjalan menuju pintu, namun sesekali dia masih melihat kebelakang, memastikan majikannya itu baik-baik saja.  *** Hari ini adalah hari minggu, jadi William tidak ke kantor. Namun dia tetap bekerja di ruang kerja rumahnya. Sejak pagi dia belum turun untuk makan. Sementa Mira, dia menemani Mikha kerumah temannya yang sedang berulang tahun.  William sedang berkonsentrasi pada berkasnya saat saat pintu ruangannya di ketuk dari luar. "Siapa?" William tidak mengijinkan orang lain masuk ruangannya kecuali Mira dan Mikha. Sementara dia tahu ke dua wanita beda generasi itu tidak sedang berada di rumah. "Saya Anisa, Tuan." Anisa menjawab dari luar ruangan.  William berdiri dan melangkah keluar dari ruangan kerjanya. Dia berdiri di depan pintu ruang kerjanya, dia melihat Anisa dengan tatapan intimidasi. "Ada perlu apa?" tanya William datar.  Anisa melihat William dengan tatapan memuja yang tidak di tutup-tutupi. "Sa-saya, Mira meminta saya untuk mengantar makan siang Anda, Tuan," Jawab Anisa gugup. Sambil mengangkat nampan yang berisi makan siang William. "Apa Mira sudah kembali?" "Belum, Tuan." "Kalau begitu, bawa kembali makanannya ke bawah. Saya akan turun untuk makan." William berbalik dan masuk ke ruangannya. Anisa menatap kesal pada makanan yang di masaknya. Dia sebenarnya tidak di minta Mira mengantar makan siang William, Tapi dia hanya ingin dekat dengan tuannya itu. Dia ingin seperti Mira yang bisa bebas keluar masuk dari kamar maupun ruang kerja William. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD