Satu

1655 Words
Mira melakuakan pekerjaannya seperti biasa, bangun lebih pagi, Lalu menyiapkan keperluan sekolah Mikhayla. Lima tahun yang lalu, saat Mira baru pertama bekerja di sini, Mikhayla masih bayi mungil berusia sepuluh bulan. William saat itu baru saja bercerai dengan mantan istrinya.  Mira awalnya di tolak bekerja sebagai baby sitter oleh William. Alasannya karena Mira tidak punya pengalaman mengurus bayi, dia juga bukan berasal dari yayasan penyedia jasa baby sitter. William takut Mira tidak bisa bekerja dengan benar dan malah melukai putrinya. Namun nyatanya Mira mampu  membuktikan kalau dia bisa bekerja dengan baik. Kontrak kerja MIra di perpanjang setiap Lima tahun sekali. Dan minggu lalu, Mira baru saja menandatangani kontrak keduanya.   Setelah Mira menyiapkan keperluan Mikhayla, Mira berjalan menuju kamar William. Mira memutar kenop, dan pintu terbuka, seperti biasanya William tidak pernah mengunci kamarnya, sejak Mira membereskan keperluannya juga. "Pak, saat nya bangun!" Mira menggoyangkan pelan lengan pria itu. William membuka matanya. "Jam berapa sekarang?" tanya nya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. "Jam enam pagi, Pak," jawab Mira sambil membenarkan letak bantal yang terjatuh. Mira lalu melangkah meninggalkan William yang duduk di ranjangnya. Mira masuk ke dalam ruang ganti William, dia mengambil kemeja berwarna biru dan stelan jas berwarna hitam. Mira kemudian meletakkanya di sebuah sofa tunggal yang tersedia di kamar bos nya itu. Saat Mira keluar dari ruang ganti, William sudah tidak berada di ranjang, mendengar gemericik air bisa  Mira tebak kalau pria itu sedang mandi. Mira menarik napasnya dalam-dalam saat pikiran kotor melintas di kepalanya. Mira kemudian mengalihkan pikirannya dengan mengganti seprei kasur William. Setelahnya Mira bergegas keluar dari kamar pria itu, sebelum pikirannya semakin kotor. Mira sekarang ada di dapur, dia menyiapkan sarapan dan bekal untuk kedua majikannya. Setelah menyajikan makanan di meja makan, Mira masuk ke kamar Mikhayla, dia melihat Mikhayla yang sudah bangun. Gadis kecil itu sedang duduk dan memeluk boneka kesayangannya. "Hai princess, sudah bangun?" Mira bertanya lembut. Mikhayla mengangguk, lalu mengulurkan kedua tangannya minta di peluk oleh Mira. Mira berlutut dan merentangkan tangannya, Mikha langsung masuk ke pelukan wanita itu. Di peluk seperti itu, sudah menjadi kebiasaan Mikha sejak masih bayi. "Mikha mau mandi sendiri atau tante bantu?" Sejak bulan lalu Mikha sudah bisa mandi sendiri, namun dia masih sering di bantu oleh Mira. "Mandi sendiri tante," jawab Mikha sambil melepas pelukannya.  "Baiklah, tante tunggu di sini!" Mikha berjalan menuju kamar mandi, sementara Mira menunggu di ranjang gadis kecil itu, sambil memberskan tempat tidur Mikha. Tidak lama Mikha keluar dari kamar mandi, dengan balutan kimono handuk. Mira menghampiri Mikha dengan membawa baju sekolah gadis itu. Mira membantu Mikha berpakaian.  "Tante, aku harus berikan kado apa buat Lala?" Lala adalah teman sekelas gadis kecil itu, yang besok akan berulang tahun. "Uhm,,," Mira terdiam mencari ide untuk putri majikannya itu. "Bagaimana kalau beri dia mainan barbie, seperti punya kamu. Biar sama-an" Kata Mira memberi saran. "Apa dia akan suka?" tanya Mikha ragu. "Mikha suka tidak, dengan mainan barbie nya?" Mira malah balik bertanya. "Uhhum, Mikha sangat suka!" Jawab Mikha senang. "Kalau begitu teman Mikha juga pasti suka." Mira menyelesaikan mengepang rambut gadis kecil itu. "Nah, sudah selesai," katanya.  "Sekarang kita turun untuk sarapan, lalu berangkat sekolah," tambahnya lagi. "Iya, Tante!" jawab Mikha dengan semangat. Mira menggandeng tangan Mikha dengan satu tangannya, satunya lagi dia gunakan membawa tas sekolah Mikha. Saat mereka turun William sudah menunggu mereka di meja makan. Mira mengambil tempat duduk di samping Mikha, mereka lalu mulai sarapan dalam diam. Suasana kaku seperti ini sudah biasa bagi mereka, karena William memang tidak suka ada suara saat mereka berada di meja makan.  "Hari ini, supir yang akan menemani kalian, saya ada rapat pagi ini," kata William begitu menyelesaikan sarapannya. "Tapi papa akan menjemput Mikha kan pa?" Mikha melihat ayahnya itu dengan penuh harap. Mikha juga ingin pamer punya papa ganteng seperti yang teman-temannya lakukan. Selama ini William hanya mengantar mereka hingga depan gerbang sekolah, itu pun sangat jarang. Dan papanya itu tidak pernah mau turun dari mobil. Setelah keduanya turun dari mobil, William langsung tancap gas pergi. "Tidak bisa, Papa ada pertemuan dengan klien siang ini," tolak William. "Tapi Papa sudah janji kemarin!" Mikha merajuk. "Hari ini Papa tidak bisa, mungkin lain kali."  "Papa mengatakan itu setiap hari!" Wajah Mikha berubah sendu, tanda dia akan menangis tidak lama lagi. Mikha turun dari kursinya lalu mengambil tasnya dan pergi lebih dulu. "Mira, katakan pada Mikha kalau saya benaran tidak bisa" William berucap datar. "Saya tidak tahu harus memberi alasan apalagi pak, semua kata sudah saya ucapkan" Mira juga kecewa pada William akan sikap pria itu terhadap putri satu-satunya itu. "Itu sudah menjadi tugas mu, saya membayar kamu untuk itu." Mira menghela napas, selalu saja tiap hari begini. Sungut Mira dalam hati. 'Lalu apa gunanya anda menjadi seorang ayah jika meluangkan sedikit waktu saja tidak bisa?' Sungut Mira lagi, namun hanya berani ia tanyakan dalam hati. Mana berani dia mengatakannya langsung pada William. Melihat tatapannya saja Mira sudah takut, apalagi lebih dari itu. "Saya pamit," kata Mira dengan menahan dongkol pada majikannya itu. Mira keluar dari pintu utama dan melihat Mikha sudah duduk di dalam mobil. Mira tebak pasti gadis kecil itu menangis. Mira membuka pintu mobil dan masuk. "Jalan pak!" Mira meminta supir untuk menjalankan mobil, dia akan membujuk Mikha sambil jalan. "Maafin papa ya, princess," kata Mira membuka suara. "Kamu kan tahu, kalau papa sangat sibuk. Kita akan minta papa untuk menjemput mu saat waktunya luang," bujuk Mira sambil mengelus lembut kepala gadis kecil itu. "Papa nggak sayang sama Mikha, Papa hanya sayang sama pekerjaannya," kata Mikha masih terisak. "Papa sayang kok sama Mikha, buktinya papa selalu membeli maian, baju bagus buat Mikha."  "Beneran papa sayang Mikha?" Mika melihat Mira dengan tatapan polos. "Bener dong, nah sekarang jangan nangis lagi yah. Nanti biar tante yang bicara sama Papa, oke?" Mikha mengangguk, dia mengusap pipinya dengan tangannya, menghapus sisa air matanya. *** Mira dan Mikha tiba di sekolah, Mira mengantar Mikha hingga depan kelas. Lalu bergabung dengan para orang tua lainnya yang sedang menunggu anak-anak mereka. Sekolah menyediakan ruang tunggu Khusus untuk para orang tua yang ingin menunggu anak mereka selesai belajar. Mira sendiri, tidak taip hari dia menunggu Mikha di sana, kadang dia pulang atau menunggu di kafe yang berada tidak jauh dari sekolah Mikha. "Mir. " Seseorang yang suaranya begitu dikenal Mira, datang mendekat.  "Ngopi yuk, di kafe depan!" Ajak seseorang itu yang merupakan sahabat Mikha dari desa. Namanya Jasmine. Jasmine bekerja sebagai pengajar di sekolah itu. "Kamu nggak ada kelas?" tanya Mira. Jasmine menggeleng "Aku kosong hingga satu jam kedepan," katanya. "Iya udah, yuk." Mira berdiri dari duduknya, dan menyamai langkah sahabatnya yang tadi berjalan lebih dulu. "Muka mu enggak enak di pandang. Kamu ada masalah?" Mira bertanya saat mereka sudah selesai memesan. "Aku putus dengan Ardi" Jawab Jasmine. Dia sudah pacaran dengan Ardi selama satu tahun setengah. "Padahal aku berharap hubungan kami hingga jenjang pernikahan."  "Memang masalahnya apa?" Mira bertanya hati-hati, dia tidak ingin menambah rasa sakit sahabatnya itu. "Ardi minta lebih dari ciuman, tapi aku menolak. Lalu dia bilang kalau aku nggak benar-benar mencintainya." Mira masih diam, dia nggak tahu harus menanggapi seperti apa. Dia memutuskan untuk mendengar curhatan sahabatnya itu lebih jauh. "Kami bertengkar dan lalu dia mengatakan putus," lanjut Jasmine lagi. "Kamu tidak percaya pada hubungan kalian?'' Mira akhirnya bertanya. "Memangnya kepercayaan pada pasangan di ukur dari hubungan yang lebih intim?" Jasmine balik bertanya. Mira menggeleng ragu. "Tapi Adit bertahan dengan Nadia karena hubungan mereka sudah sejauh itu. Nadia bersedia tidur dengan Adit, bahkan saat Adit masih jadi pacar ku," jawab Mira polos. "Mir, aku harap kalau kamu punya pacar. Jangan mau berhubungan intim dengan iming-iming cinta." Jasmine mengernyit, kenapa jadi dia yang memberi nasehat, seolah-olah yang curhat itu Mira. "Aku pikir hubungan akan bertahan lama, kalau pacarnya bersedia di ajak tidur. Buktinya Nadia dan Adit bertahan hingga sekarang," kata Mira keras kepala. "Itu karena Nadianya aja yang murahan, pacar adik sendiri juga di embat." Jasmine jadi emosi mengingat kelakuan kakak tiri sahabat nya itu. "Aku malah berpikir Adit berpaling karena aku tidak mau tidur dengannya." Jasmine ingin sekali mengeluarkan otak sahabatnya itu dan mencucinya hingga bersih. "Kamu tahu, Adit dan Nadia itu setipe, makanya mereka cocok. Sama-sama murahan." Jasmine ingat, Adit pernah memintanya untuk jadi pacar keduanya, Adit kemudian menjanjikan akan memberikan uang banyak sebagai kompensasi. Jasmine bersyukur Mira putus dengan Adit. Sejak awal laki-laki itu tidak tulus dengan Mira. "Tunngu! kenapa kamu jadi membicarakan Adit? Jangan bilang kamu masih mencintainya?" Jasmine bertanya tidak suka. "Tidak, tentu saja tidak. Aku sekarang mencintai orang lain." sangkal Mira.  "Kamu mencintai orang lain? Siapa? Apa aku mengenal orang itu?" Wajah Mira memerah, dia menunduk malu. Ingatannya melayang pada William. Walaupun bersikap kaku dan dingin, nyatanya Mira tidak bisa mengelak dari pesona William. Si duda anak satu. "Katakan padaku siapa orangnya?"  desak Jasmine. "Kamu bukannya tadi mau curhat karena patah hati?" Mira mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kisah ku sudah tidak menarik, sekarang kisah mu sepertinya lebih menarik. Ayo ceritakan padaku. Siapa orang beruntung itu?" Jasmine memajukan tubuhnya, siap mendengar cerita Mira. "Aku akan katakan nanti, setelah kamu menyelesaikan kelas mu." Mira menunjuk jam yang melingkar di pergelangan tangan Jasmine. "Akh, sial!" Maki Jasmine. "Tidak bisakah kamu beritahukan namanya saja?" Mira menggeleng. "Inisialnya?" Jasmine belum menyerah. "Tidak!" tolak Mira tegas. "Aku akan cerita saat kamu benar-benar luang." "Baiklah setelah aku pulang sekolah nanti. Aku tunggu cerita mu." Mira mengangguk malu-malu. Jasmine bukan hanya penasaran, tapi dia juga ingin melindungi sahabatnya itu. Mira sangat mudah untuk di manfaat kan. Gadis itu polos cenderung bodoh. Namun di balik itu dia punya hati yang luar biasa baik. "Ingat ya, Mir, Jangan mau diajak bercinta, walaupun kamu cinta mati sama dia. kecuali dia bersedia menikah dengan kamu. bukan, maksudku, kalau kalian sudah menikah baru bole,"  kata Jasmine mengingatkan. Jasmine melihat ke arah Mira yang melamun. "hei Mira! kamu dengar aku ngomong gak sih?"  "Iya dengar, jangan mau di ajak bercinta, kalau belum menikah" Mira mengulangi ucapan Jasmine. Jasmine mengangguk, lalu mereka berpisah di depan ruang tunggu khusus orang tua murid. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD