Dua

1702 Words
Mikhayla berlari-lari kecil keluar dari mobil menuju kamarnya sementara Mira mengikutinya dari belakang sambil menenteng tas sekolah milik Mikhayla. Mira membantu Mikha mengganti baju lalu turun ke dapur untuk makan siang.  "Papa akan datang saat pertunjukan nanti, kan, Tante?" Mikha bertanya di sela-sela kunyahanya.  "Nanti akan tante bicarakan dengan papa, yah. Sekarang kamu habiskan makan siang mu dulu," kata Mira lembut. Mikha mengangguk lalu fokus pada makannya. Mira tidak yakin bisa membujuk majikannya itu. selama ini sudah ada tiga pertunjukan sekolah Mikha yang pria itu lewatkan dengan alasan sibuk bekerja. "Tante, Mikha sudah selesai," ucap Mikha saat dia sudah menghabiskan makannya. Dia memperlihatkan piringnya sudah kosong. Mira mengangkat jempolnya untuk memuji gadis kecil itu karena turut serta menghabiskan sayurnya. "Mikha boleh menonton sekarang?" tanya Mikha penuh harap.  "Baiklah, tapi hanya dua jam, iya, setelah itu, kamu harus mengerjakan pekerjaan rumah mu." "Iya, Tante." Mikha memundurkan kursinya lalu pergi ke ruang keluarga, lalu menyalakan televisi. Mira membereskan peralatan makan yang baru mereka gunakan. "Biar saya aja, Mir." Pekerja rumah yang lain menghampiri Mira. "Enggak pa-pa, Mbak, biar Mira saja," kata Mira sambil tersenyum. Meskipun Mira di tugaskan untuk mengasuh Mikha, namun dia tidak segan untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Saat sore menjelang William kembali kerumah, lebih cepat dari biasanya. William biasanya pulang saat jam makan malam tiba, atau bahkan lewat jam makan. Mira tentu saja heran, namun dia tidak berani menanyakannya. William menyerahkan tas kerja dan jas miliknya pada Mira. Ia kemudian berjalan dengan santai menuju kamarnya. Mira membawa tas kerja William ke ruang kerja pria itu. Meletakkannya di atas meja lalu dia ke ruang laundry untuk menaruh jas kotor William. Setelahnya dia masuk ke kamar William. Pria itu sepertinya sedang mandi terdengar dari bunyi gemerisik air dari araha kamar mandi pribadi pria itu. Mira masuk ke ruang ganti dan menyiapkan pakaian tidur William di ranjang yang berukuran besar. Setelah itu Mira kembali ke dapur untuk membantu yang lainnya menyiapkan makan malam. "Mira bantu apa, Bi?" Mira mendekati Bi Aminah, perempuan paruh baya yang sudah lama bekerja dengan William. Bi Aminah sudah bekerja dengan William sejak William masih duduk di bangku SMP. Bi Aminah dulunya bekerja di rumah besar orang tua William lalu saat William memilih mandiri dan keluar dari rumah orangtuanya Bi Aminah memutuskan untuk mengikuti William hingga sekarang. "Nggak usah, Mir, Ini sudah mau selesai, kok. Kamu temani non Mikha aja." Bi Aminah menunjuk Mikha yang duduk di meja makan sendirian sambil menonton youtube kids. William ternyata sudah keluar dari kamarnya dan langsung merebut ponsel dari tangan Mikha. "Papa." Mikha protes karena ponselnya di ambil sevara tiba-tiba. "Tidak ada benda lain yang boleh ada di meja makan, kecuali peralatan makan. Berapa kali Papa harus katakan?!" Mikha menunduk mendengar perkataan tegas ayahnya itu. Mira yang melihat itu berjalan cepat menghampiri mereka. "Mira! Apa saja kerja mu? Kamu membiarkan Mikha menonton youtube tanpa pengawasan!" Mira menunduk, merasa bersalah sekaligus kesal pada majikannya itu. Mira sudah melarang William untuk tidak membelikan Mikha gadget tapi, pria itu ngotot. Dan ujung-ujungnya Mira juga yang salah. "Saya minta maaf karena lalai. Pak," kata Mira menyesal. "Saya harap ini yang pertama dan terakhir kalinya." Nada suara William melunak. "Baik, Pak" Jawab Mira pelan. Mira kemudian membantu Bi Aminah menyajikan makan malam mereka. Kemudian mereka makan dalam diam, tidak ada suara selain dentingan sendok yang beradu dengan piring. *** Mira mengetuk ruang kerja William. Tadi setelah makan William masuk keruang kerjanya. Nyatanya meskipun pria itu pulang lebih awal, dia tetap berkutat dengan pekerjaan. "Masuk!" sahut William dari dalam ruang kerjanya. Mira masuk ke ruang kerja William sambil membawa kopi dan beberapa cemilan sehat. Mira meletakkan kopi dan cemilan di meja kerja William. Tidak lupa Mira meletakkan sebuah kertas yang tadi berada di bawah nampan ke hadapan William. William melihat Mira dengan satu alis terangkat. "Itu surat undangan dari sekolah Mikha." William mengambil surat itu dan membacanya. "Saya harap kali ini bapak hadir di acara pertunjukan Mikha," ucap Mira saat William selesai membaca surat itu.  "Saya tidak bisa janji,"  kata William datar. Lagi-lagi jawaban yang sama seperti sebelum-sebelumnya yang berakhir tidak akan dihadiri pria itu. "Pak, Anda sudah melewatkan tiga acara Mikha. Dan surat itu masih minggu depan, Anda bisa mengosongkan  waktu Anda, hanya dua jam tidak lebih." "Kamu bisa mewakili saya." Kata yang sama lagi, dan Mira sudah mulai bosan mendengarnya. "Anda tahu pak, sudah sangat lama saya ingin mengatakan hal ini." Mira terdiam sebentar, dia menarik napasnya dalam dan menghembuskannya pelan. dia melihat Wlliam sedikit gugup. "Saya bukan orang tua Mikha, Pak. Di surat itu jelas ditulis 'untuk orang tua murid'. maka saya harap kali ini anda bisa meluangkan waktu."  "Akan saya usahakan, sekarang kamu sudah boleh keluar. Kerjaan saya masih banyak," usir William terang-terangan.  Mira mengangguk "Saya permisi,Pak." Tanpa kata lagi Mira keluar dari ruang kerja William. Dia tadinya masih ingin berada di sana, memandangi wajah tampan majikannya yang membuat hatinya berdebar kencang. Mira menepuk pipinya pelan. "bangun Mir, jangan mimpi ketinggian mendapatkan tuan mu itu," kata Mira pada dirinya sendiri. Mira kembali menarik napas dan melangkah kembali ke dapur. Dia ingin mengisi teko kecil dan meletakkannya di kamar Mikha. Anak itu biasanya terbangun malam-malam untuk minum. Begitu juga dengan William. "Mir, kamu habis dari ruang kerja tuan William, ya?" Anisa yang juga pekerja di rumah William menghampiri Mira. "Iya, Mbak, kenapa?'' tanya Mira balik. "Aku masih penasaran gimana rasanya berada di ruang kerja tuan William." Anisa menerawang jauh, William memang melarang siapapun masuk keruang kerjanya. Hanya Mira yang ia perbolehkan masuk, sekaligus membersihkan ruangan kerjanya itu. "Tidak ada yang spesial, Mbak. Biasa aja seperti yang tivi-tivi," jawab Mira mengedikkan bahunya. Menurutnya memang tidak ada yang spesial dari ruang kerja William. Hanya ruangan yang di isi meja kursi dan rak-rak untuk menyimpan file sekaligus buku koleksi pria itu.  "Mira," Panggil Anisa lagi. "Iya, Mbak?" "Kamu ada rasa nggak  sih sama tuan?" "Maksudnya, Mbak?" "Kamu nggak jatuh cinta gitu, sama tuan William?" tanya Anisa memperjelas ucapannya.  "Kenapa, Mbak nanya gitu?" Mira takut Anisa bisa menebak perasaannya. Selama ini dia merasa sudah menyembunyikannya dengan baik. hanya dia dan Tuhan yang tahu. Bahkan sahabat baiknya saja belum dia beri tahukan. Akan sangat canggung rasanya saat orang lain tahu perasaan nya sementara Mira dan orang lain itu sudah jelas tahu bagaimana akhirnya perasaan itu. "Gini loh, Mir, kamu kan tiap hari berurusan dengan keperluan tuan William dan putrinya. Kita semua merasa pekerjaan kamu itu bukan seperti baby sitter-nya Non Mikhayla, tapi lebih ke pasangan atau istri tuan William. Kamu mengurus semuanya, mulai dari membangunkannya, menyiapkan pakaian kerja, bekal makan siang kalau tuan kerja, saat dia pulang kerja pun harus kamu yang sambut, menerima tas kerja, lalu menyiapkan pakaian tidur." Mira mengerutkan keningnya, saat di sebutkan begitu, Mira baru sadar pekerjaannya ternyata sangat banyak. "Saya salut sama kamu loh, hati kamu kebal banget sama pesonanya tuan William. Kalau saya jadi kamu, saya pasti sudah jatuh cinta dan mati karena sakit hati, karena tidak bisa memiliki tuan William." Mira tertawa canggung, terkesan di paksakan. Mira merasa tersindir dengan perkataan Anisa.  "Mbak bisa aja, he-he. Aku tahu diri mbak, makanya tidak berani jatuh cinta sama pak William," kilah Mira. Dalam hati Mira berjanji dan bertekad untuk mengakhiri perasaannya kepada William. "Naik duluan, iya, Mbak." Mira mengangguk kecil pada Anisa dan berlalu dari dapur. Dia menoleh sekali lagi kebelakang dan mendapati Anisa menatap aneh padanya. Mira tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mira membuka pintu kamar Mikha dengan pelan, lalu dia masuk dan mendapati ternyata Mikha belum tidur, Gadis kecil itu sedang sibuk mewarnai gambar princess. "Belum tidur?" Mira meletakkan teko kecil dan gelas di nakas lalu menghampiri gadis kecil itu di meja belajarnya. "Mikha mau selesaikan ini dulu, Tan, baru tidur," jawab Mikha tanpa menoleh pada Mira, dia fokus dengan gambar yang ada di depannya. "Tapi ini sudah malam, jam setengah sepuluh. Sudah waktunya kamu tidur." Mira menarik pelan crayon dari tangan Mikha. "Besok lagi, iya, lihat mata kamu sudah merah. Menandakan kamu harus tidur." Mikha cemberut, namun dia tetap menurut. Turun dari bangkunya dan naik ke ranjang besar miliknya. "Sudah gosok gigi?'' Tanya Mira. Mikha tersenyum lebar.  "Belum, Tante," katanya, lalu tanpa di perintah lagi dia turun dari kasurnya menuju kamar mandi pribadi miliknya. Tidak lama dia keluar setelah menggosok giginya. Mikha kembali naik ke kasurnya menarik selimut hingga batas lehernya. Mira menunggu di sana dalam diam hingga Mikha tertidur. "Selamat tidur princess, mimpi indah," kata Mira berbisik. "Selamat malam tante Mira," balas Mikha setengah mengantuk, dan tidak lama dia jatuh tertidur. Mira membenarkan selimut Mikha sebelum keluar dari kamar gadis kecil itu. Tidak lupa Mira matikan lampu menyisakan lampu tidur yang temaram. Mira lalu masuk ke kamarnya, dia duduk di ujung ranjang nya. Dia masih kepikiran dengan perkataan Anisa tadi, Mira menebak-nebak, apa mungkin Anisa tahu perasaannya atau mungkin tidak. Mira menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pemikiran buruk di kepalnya. Mira meraih ponselnya, yang sejak siang tadi tidak di sentuh olehnya. Ada lima panggilan tak terjawab dan delapan pesan whatsaap, semuanya dari sahabatnya. Melihat isi dari semua pesan itu, sepertinya Jasmine tengah kesal dengannya karena belum menceritakan siapa orang yang di cintainya itu. Mira juga ragu antara memberi tahu tentang perasaannya atau tidak, Bisa jadi tanggapan Jasmine seperti yang Anisa katakan. "Awas aja kalau besok kamu tidak cerita, aku tidak akan mau lagi berteman dengan kamu" "Eh,, maksudnya tidak mau bersahabat lagi sama kamu!" Itu adalah pesan terakhir yang Jasmine kirimkan sekitar setengah jam yang lalu. Mira menghempaskan tubuhnya ke kasur empuknya. Dia berandai-andai.  Andai saja Adit tidak selingkuh, pasti dia sudah jadi istri Adit sekarang, pikirnya. Namun secepat kilat dia menepisnya. Bayangan Adit yang bersetubuh dengan Nadia kakak tirinya, membuat Mira bergedik jijik. Mira pernah sekali memergoki mereka saat bersetubuh di kamar milik Nadia. Bayangan di mana Nadia memasukkan alat kelamin Adit ke mulutnya, membuat Mira, mual dan muntah-muntah hingga esok harinya. Kejadian itu jugalah yang memicu fitnah yang di lemparkan oleh Adit dan Nadia padanya. Adit dan Nadia takut Mira menyebar luaskan apa yang dia lihat, hingga muncullah ide itu.  Mira mendengus kesal mengingat kejadian itu, kejadian yang mengharuskan Mira berangkat ke ibu kota pagi-pagi buta, agar tidak di lihat oleh tetangga. Namun ada yang Mira syukuri juga, salah satunya bertemu dengan William dan anaknya Mikhayla. hal lainnya, dia jadi tahu betapa busuknya Adit, pria yang pernah di cintainya sangat dalam. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD