Tiga

1730 Words
Pagi ini saat Mira memasuki kamar William, dia melihat William sudah bangun dan rapi. Tidak seperti biasanya. Mira berdiri kaku, dia tidak tahu hendak melakukan apapaun, kalau William sudah rapi begini. "kenapa malah bengong? Kemari pasangkan dasi ku!" perintah William. Dia memberikan dasi berwarna hitam ke pada Mira, lalu menunduk di hadapan Mira. Hal itu di lakukan agar Mira mudah memasangkan dasi di lehernya. Mengingat tinggi Mira yang hanya sedadanya saja. Mira memasangkan dasi William dengan menahan gugup. Ini pertama kalinya dia memasang dasi, dia belum pernah menyimpul dasi. William memperhatikan wajah Mira yang serius menyimpul dasinya, keningnya berkerut tatapan matanya fokus.  Hingga lima menit kemudian Mira masih berusaha membuat simpul dasi. Lalu dia membiarkan dasi itu menggantung begitu saja. Dari pelipisnya menetes keringat.  "Saya tidak bisa, Pak," kata Mira melepaskan dasi itu, dia menyerah. Sekuat apapun dia berusaha nyatanya tidak bisa.  William mengulum bibirnya, menahan senyumnya melihat ekspresi Mira yang menggemaskan. "Ekhm, Mulai hari ini kamu harus belajar menyimpul dasi. Pekerjaan kamu saya tambah, kamu harus memasang dasi saya saat saya mau pergi kerja." William menyingkir dari hadapan Mira, lalu menyimpul sendiri dasinya.  "Kamu bisa keluar!" Kata William saat melihat Mira yang berdiri mematung. Mira mengangguk lalu keluar dari kamar William. Tidak lama setelahnya, William juga keluar dari kamarnya. Dia berjalan ke dapur dan belum melihat Mira dan Mikha berada di meja makan.  William berjalan menuju kamar Mikha, sayup-sayup dia mendengar percakapan antara Mikha dan Mira. "Papa akan datang, kan, Tante?" Suara khas putrinya itu terdengar semakin jelas.  "Nanti Tante coba tanyakan papa lagi ya." William mendengar suara lembut pengasuh putrinya. William membuka pintu dan dua pasang mata itu langsung tertuju padanya.  "Papa akan ikut," kata William kaku.  "Beneran, Papa?" tanya Mikha riang.  "Iya," jawab William mengangguk. "Yeay! terima kasih, Papa. Mikha sangat senang!" sorak Mikha sambil melompat-lompat kegirangan. Mira tersenyum melihat tingkah Mikha. Dia lalu mengangguk ke arah William dan keluar lebih dulu dari kamar Mikha sambil menenteng tas ransel gadis kecil itu. Setelah sarapan, mereka langsung berangkat ke sekolah Mikha. Menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, mereka akhirnya tiba di sekolah Mikhayla. Mereka bertiga berjalan menuju aula pertunjukan. Mikha lalu pamit bersama gurunya untuk bersiap di belakang panggung. MIra mengikuti William dari belakang. Mereka mendapat tempat duduk di baris ke dua, bangku khusus orang tua dan wali. "Eh, Papa-nya Mikha yah?" Seorang wanita dengan dandanan mencolok bertanya dan duduk tepat di samping William.  William mengangguk kaku, dia merasa risih dengan wanita itu yang terlihat sok akrab. "Saya Evelin, ibunya Cristal, teman akrab Mikha." Wanita menyodorkan tangan nya mengajak bersalaman. "William," balas William datar tanpa menyambut jabatan tangan wanita itu. William tidak suka menjadi bahan gosip orang lain, jadi sebisa mungkin dia selalu menghindar dari orang-orang yang berkemampuan melakukannya.  Wanita itu menarik tangannya yang menggantung di udara sambil tersenyum canggung. "Anak kita akan tampil bersama setelah pertunjukan yang ini." Evelin masih tidak menyerah untuk memulai percakapan dengan William. William mengangkat alisnya tidak suka dengan kata 'anak kita' yang wanita itu gunakan. Kesannya seperti mereka sangat kenal dan dekat.  "Pak, anda ingin bertukar tempat duduk dengan saya?" Bisik Mira pada Boss-nya itu. Dia menyadari William tidak nyaman dengan orang asing yang sok akrab. William mengangguk lalu berdiri pindah kesamping Mira, Mira lalu pindah dan duduk di bangku William yang tadi, lalu William duduk di tempat Mira tadi.  Evelin memandang Mira dengan sinis. Mira memalingkan wajahnya dan pura-pura tidak melihat wanita itu. "Baru jadi babu aja sudah sombong." Evelin menyindir Mira pedas. Dia awalnya mengira Mira sebagai ibu kandung Mikha, nyatanya saat mereka berbincang dan mengobrol, Evelin mengatahui kalau Mira hanya seorang pengasuh. Semenjak itu Evelin tidak pernah lagi mengajak Mira mengobrol. Evelin yang datangan dari kalangan atas tidak akan mau berteman dengan seorang baby sitter. Mira tetap mengabaikan wanita itu, dia menulikan pendengarannya dan fokus pada pertujukan anak-anak menggemaskan di depan sana. Evelein mendengus dan mengalihkan pandangannya ke depan. dia kesal karena di abaikan, lihat saja aku akan membalas mu. sungut Evelin dalam hati. Kini giliran team Mikha yang akan tampil. Mikha tampil cantik, ada riasan mungil seperti mahkota di kepalanya. Mira melambaikan tangannya memberi semangat pada Mikha, seperti hal yang orang tua lainnnya lakukan pada anak-anak mereka. Berbeda dengan William yang hanya bertepuk tangan ringan. Tidak sampai lima menit pertunjukan yang menampilkan Mikha dan kawan-kawannya akirnya selesai. Evelin berdiri dengan cepat dan memutar arah untuk menghampiri William. "Apa, Pak William punya waktu untuk mengobrol tentang anak-anak kita?" Evelin menggunakan istilah 'anak kita'  lagi dan William benar-benar tidak suka dengan itu. William berhenti dan berbalik, dia berdiri tepat di depan Evelin. "Apa anda seorang janda?" Tanya William dengan dingin dan datar. "Tidak, kenapa anda menyakan hal itu?" Evelin pikir William mungkin menyukainya dan memastikan statusnya. Memikirkan kemungkinan itu, membuat wajah Evelin merona. "Anda punya suami, lalu kenapa mendekati saya?" "Sa-saya hanya ingin mengobrol tentang anak-anak, karena anak-anak kita berteman dekat. Jadi saya pikir kita bisa berteman juga, tidak lebih," kilah Evelin. Evelin dan suaminya, hubungan mereka memang tidak harmonis. Meskipun sudah ada anak di antara mereka. Suaminya hanya peduli dengan pekerjaan nya dan juga wanita masa lalunya. Evelin hanya ingin berteman, dia ingin menggunakan William untuk memancing suaminya. Namun sepertinya dia tidak akan bisa mewujudkannya. Melihat bagaimana tanggapan William. "Saya minta maaf, kalau anda merasa begitu." Evelin lalu pergi meninggalkan William dan Mira di belakangnya. Melihat itu, William hanya mengangkat bahunya acuh. "Papa! Tante Mira!" Mikha berlari menghampiri mereka memisahkan diri dari teman-temannya. William membuka tangannya dan Mikha masuk kedalam pelukan ayahnya. "Tante Mira." Mikha juga memeluk Mira setelah melepas pelukan ayahnya. Aroma parfum William yang tertinggal di baju Mikha masuk ke penciuman Mira. Mira menutup matanya merasakan aroma William itu. Seakan-akan dia sedang di peluk oleh William. "Berapa lama lagi kalian berpelukan?" William melipat tangannya di d**a melihat dua wanita beda generasi itu. Mira melepaskan pelukannya pada Mikha dan tersenyum canggung. Wajahnya terlihat merona, karena sempat membayangkan William yang memeluknya. "Papa hari ini libur, jadi Mikha boleh minta apa saja. Hari ini untuk Mikha," ucap William. Dia merasa bersalah setelah mendengar perkataan Mira kemarin. Dia sadar hubungannya dengan Mikha sedikit merenggang. Dan William bertekad untuk memperbaiki itu. "Beneran, Pa?" William menganggung meyakinkan putrinya itu. "Yeay! terima kasih, Papa" Mira berjalan di belakang mereka, membawa tas sekolah Mikha. *** MiKha meminta di temani ke mall, dia ingin bermain di arena permainan sepuasnya, mumpung ayahnya libur hari ini. "Papa, ini boleh?" tanya Mikha menunjuk sebuah wahana kuda-kudaan. "Boleh," Jawab William. "Papa ini boleh?'' Tanya Mikha lagi, setelah selesai dengan permainan tadi. "Iya ..." William benar-benar menuruti semua keinginan putrinya. Mira yang mengikuti mereka hanya diam, tidak ada hal yang ingin di bicarakannya. Dia juga tidak mau mengganggu waktu Mikha dengan William. Sangat jarang Mikha bisa menikmati waktunya dengan ayahnya, jadi Mira tidak akan mengganggu mereka. Mira duduk di salah satu bangku dan mengamati kedua orang itu dari jauh. Mira membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah roti. Dia memakannya dengan santai sambil masih memperhatikan majikannya itu. Mereka kini berada di sebuah toko pakaian anak, memilihkan beberapa pasang baju lalu keluar setelah menyelesaikan transaksi pembayaran. Sebelum pulang mereka makan di sebuah restoran jepang, dan lagi itu adalah keinginan sang putri. Mikha duduk di tengah Mira dan William. Restoran itu di desain dengan sofa panjang jadi mereka duduk sebelahan. William hendak mengambil sushi yang ada di depan Mira, namun tidak sengaja tangannya menyentuh dadaa Mira. Benda kenyal, lembut dan padat berisi itu bersentuhan dengan lengan kekar William. William dan Mira sama-sama tersentak, dengan buru-buru William menarik tangannya, namun kembali bersentuhan dengan d**a Mira. William menelan ludahnya "Maaf ..." katannya pelan. Lalu seperti tidak terjadi apapun William makan dengan tenang. Sementara Mira, dia berusaha fokus pada makannya. Seperti yang William lakukan. *** William menutup pintu kamarnya dengan sedikit keras. Ingatannya melayang pada kejadian di restoran tadi, bayangan akan lembutnya d**a Mira membuat sesuatu yang selama ini tertidur menggeliat bangun. Sejak berpisah dengan Sandra, mantan istrinya. William tidak lagi tertarik berhubungan dengan perempuan. Sejak Lima tahun terakhir dia juga tidak bernafsu untuk melakukan hubungan intim, seks atau semacamnya. Tapi tidak lagi, sejak siang tadi. William bernafsu untuk menyentuh Mira. Pengasuh putrinya yang berasal dari kampung. William ingin menertawai dirinya sendiri, dari sekian banyak wanita yang berasal dari kalangan yang sama dengannya mengapa justru dia harus menginginkan wanita kampung. William menggelengkan kepalanya, dia tidak akan menyentuh Mira. Biar bagaimana pun, William tidak akan berhubungan dengan wanita yang tidak sederajat dengannya, meskipun hanya untuk nafsu semata. William tidak sudi menyentuh wanita kampung. Berbeda dengan William, Mira justru merasakan pipinya memanas setiap memikirkan kejadian di restoran tadi. Dia berguling di ranjangnya dan membenamkan wajahnya di bantal. Mira mengangkat kepalanya dari bantal saat mendengar ponselnya berbunyi tanda pesan masuk. Mira menggapai ponselnya dan melihat pesan yang masuk, dari sahabatnya Jasmine. Isinya masih sama, menuntut Mira untuk menceritakan siapa pria yang di cintainya itu. Mira mengembalikan ponselnya ke atas nakas, tanpa membalas pesan Jasmine. Dia berbalik dan tidur telentang, menghadap langit-langit kamarnya. Mira memejamkan matanya mencoba tidur, namun bayangan akan kejadian di restoran itu selalu datang hingga membuatnya tidak bisa tidur. Mira baru bisa tidur saat jarum pendek jam dinding menunjuk angka dua. Pagi hari tidak seperti biasanya, Mira bangun terlambat. beruntung hari ini hari sabtu. Mikha mengetok pintu kamarnya dengan brutal. Mira membuka pintu kamarnya masih dengan gaun tidur dan wajah bantal. "Ada apa?" Tanyanya pada Mikha. "Tante, Mikha lapar," kata Mikha sambil mengelus perutnya. "Lalu kenapa tidak makan? Mikha, kan sudah bisa makan sendiri" Mira berlutut menyamakan tingginya dengan Mikha. "Mikha tidak mau makan sendiri, Papa juga belum bangun." Mira berdiri dan menggandeng tangan Mikha. "Iya sudah, kita turun untuk makan." Mira kemudian menutup pintu kamarnya lalu mereka menuruni anak  tangga menuju dapur. Mereka baru saja duduk di meja makan, William turun tidak lama setelahnya. "Sial!" Maki William pelan, saat matanya tidak sengaja melihat ke arah d**a Mira. Makin sial lagi saat dia tidak bisa mengalihkan matanya dari sana. Mira masih memakai gaun tidurnya, melayani Mikha yang bawel tentang makanan pagi ini. Mata Wlilliam turun melihat kaki Mira, William lagi-lagi menelan Ludahnya kasar. "Kamu bangun kesiangan? mengapa belum mandi sebelum turun ke meja makan?" Nada suara William terdengar sinis. "Jangan karena ini hari minggu jadi malas!" Tambah William lagi. "Maaf, Pak," ucap Mira menunduk. William mendengus, kesal dengan dirinya sendiri, yang tegang melihat penampilan Mira, apalagi setelah mendengar suara Mira, dia semakin menegang. Dengan sedikit kasar, dia membalik piring dan mengisi nasi serta lauk pauk ke piringanya. Sementara Mikha, dia hanya melihat papanya dan tante Mira dengan bingung. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD