4

1091 Words
Valerie tidak bisa merasa tidak percaya diri saat ia menemukan harapan yang menyala-nyala pada kedua pasang mata paman dan bibinya. Mereka mungkin menyayanginya sepenuh hati. Valerie remaja yang kesepian dan merasa terasingkan ketika sang ibu pergi. Kemudian sang ayah berkabung berat karena kehilangan cintanya. Ame dan Raito memberi cinta yang semestinya. Valerie tidak bisa menyalahkan Liam dan kuasanya karena menawarkan kesepakatan tentang prospek ladang yang bagus di masa depan setelah semua utang dilunasi dan mereka bisa bernapas. Untuk kembali menelurkan ide-ide baru guna membuat maju area peternakan dan kebun mereka yang hampir mati. Valerie merasa dirinya egois bila tidak terlibat untuk membuat kedua orang yang ia cintai bersedih. Mereka cukup bahagia. Ame lebih banyak diam. Dan sang suami berusaha untuk terlihat acuh, walau Valerie mengerti bahwa mereka berpikir keras untuk tidak menolak kesepakatan bagus ini. "Apa perbedaan antara permaisuri dan ratu?" Suara Ame mengalun penuh tanya. Gurat di usia empat puluhan terlihat jelas saat matanya yang berkantung menunjukkan perubahan yang berarti. "Valerie akan menjadi perempuan nomor satu di Andera?" "Semacam itu," balas Raito masam. Ia tidak bisa berpikir jernih saat Liam membicarakan tentang kesepakatan bahwa ia akan membawa Valerie menikah dan menjadikannya ratu, alih-alih permaisuri biasa. "Ibumu pernah bicara padaku, kalau kekuasaan ratu melingkupi segalanya. Ia punya posisi setara dengan raja dalam segala aspek dan urusan. Sedangkan permaisuri tidak. Ia tidak memiliki kebebasan itu selain mematuhi semua aturan dan bersikap layaknya pemimpin di kandangnya sendiri. Permaisuri hanya berperan sebagai istri biasa." Valerie diam, mendengarkan. Semasa ia mendengar sejarah Andera, satu-satunya ratu hanyalah ibu dari Pangeran Liam. Yang meninggal pasca melahirkan. Kehidupan malang Sang Pangeran rupanya berembus seperti dongeng. Valerie semula tidak peduli. Dan sekarang terusik dengan empati karena dalam hitungan hari pangeran malang itu akan menjadi suaminya. "Aku tidak pernah berpikir untuk menikahi seorang bangsawan egois yang lebih tertarik mengangkat dagu daripada mengangkat tangan untuk berbagi," kata Valerie muram, memandang paman dan bibinya bergantian. "Liam mungkin salah satunya. Atau dia menjadi satu-satunya yang melakukan hal itu." "Apakah baik melihat seseorang dari tampilan luar?" Ungkapan itu serasa menyindirnya. Tapi Valerie paham maksud sang bibi bermakna baik. Konotasi dalam kalimatnya mengandung nasihat, walau Raito melihat itu sebagai bentuk teguran. "Aku tidak secerdas itu untuk memimpin satu negara." Raito menyambar kecemasan itu dengan tarikan napas. Ia bangun dari kursi kayu, menepuk bahu sang istri yang lunglai. Ketika dia berputar, merangkul bahu Valerie. "Semua perlu proses. Kalau kau tidak mau, kami tidak akan memaksa. Kami akan berusaha keras untuk membayar upeti dan bunga utang. Kami juga akan berlutut di depan Pangeran Liam kalau itu diperlukan. Kami tidak ingin membuatmu terkurung di sangkar emas. Selagi kau bisa bermain dengan Loki dan domba, mencintai anak sapi dan induknya, itu lebih dari segalanya." Bola mata yang hijau itu tampak keruh dengan ketidakberdayaan. Valerie merasa putus asa karena dirinya harus kembali ke tanah asal. Dimana mimpi buruk, semua penghinaan dan tempatnya berduka ada di sana. Penderitaan sang ibu bermula dari kastil terkutuk itu. Sekelas Putri Larissa merasa bebas tanpa titel putri dan bangsawan yang melekat setelah menikah. Bisakah Valerie mendapatkan masa depan yang sama? "Pamanmu benar. Kami tidak akan melepasmu kalau kau tidak mau. Valerie tetap menjadi prioritas kami." *** Valerie mengenal Clarius dengan baik. Pria itu ramah dan tidak menyombongkan diri sebagai manajer baru yang mengelola peternakan atas perintah Yang Mulia langsung. Dia banyak bicara dan murah hati. Ame banyak bertanya, Clarius sama sekali tidak pernah mengeluh atau meminta agar Ame mencerna semuanya secara langsung. Bertahap adalah jawaban yang sering Clarius berikan untuk paman dan bibinya. Di sisi lain, ada tangan kepercayaan Sang Pangeran yang membuat Valerie gatal ingin menggaruk wajahnya. Bobby—Valerie dengar saat pria itu memanggilnya dalam satu tarikan napas. Liam dengan sikap soknya berniat menukar Loki dengan anjing gembala lain sekaligus anjing terlatih untuk menjaga kebun. Yang berakhir dengan pertengkaran antara mereka. Bobby menjadi korban saat Valerie mendorong asisten berbadan besar itu dengan tubuhnya. Sampai nyaris masuk ke dalam kubangan lumpur kalau Bobby tidak bisa menyeimbangkan diri. Kesan buruk dan kesan baik yang mencengangkan. Setidaknya kehadiran Clarius berhasil membuat Valerie lebih baik. Daripada dirinya harus tarik urat dan terus mengalami sakit kepala sebelah karena pangeran dan anteknya membuatnya naik darah. "Silakan masuk, Clarius." Ame begitu terbuka pada pemuda berkacamata yang tersenyum ramah. Masuk melewati pintu dapur dan membiarkan Bobby sendiri seperti patung selamat datang. "Kau tidak bersama majikanmu?" Bobby mengernyit dalam. "Sang Pangeran ada rapat penting sampai jam dua siang. Beliau memerintahkan saya untuk membawa Anda pergi secepatnya." "Terburu-buru sekali, bukan?" "Ini desakan karena masalah politik memanas di Andera." Valerie menarik napas. Sejujurnya ia tidak peduli—atau ingin bersikap acuh pada politik, kudeta, pedang, dan segala macamnya yang berbau darah dan kematian. Mengurus domba dan bermain petak umpet dengan Loki adalah yang terbaik. "Kenapa? Ada yang ingin membunuhnya?" "Ya, Putri. Ada. Sang Pangeran terancam kalau dirinya tidak segera naik takhta." Raito tiba dan tatapannya terasa sangat mengiba. "Aku tidak tahu kalau kehidupan bangsawan dan politik di negara sangat mengerikan. Bagaimana bisa pria semuda itu mendapat banyak ancaman dari beberapa kubu oposisi?" "Ini terjadi semenjak Raja Lewis memimpin. Kelonggaran yang terjadi di tubuh oposisi membuat mereka bebas dan tidak lagi terikat protokol istana yang mencekik. Mereka seakan diberi kebebasan untuk membuat onar karena peraturan Raja Lewis ternyata terlewat batas," jelas Bobby datar, tanpa ekspresi berarti yang membuat Valerie mendengus. "Malang sekali nasib pangeran satu itu. Dirinya menjadi pangeran ditengah situasi panas yang menginginkan kursi nomor satu," kata Raito muram, yang diberi anggukan kepala Bobby. Valerie menghela napas. Memandang Bobby sekilas saat dia berjalan menjauhi keduanya dan mendekat pada Loki yang duduk untuk memantau para domba. "Kalau aku pergi, kau baik-baik saja?" Raito hanya bisa menatap dalam diam. Mungkin terlihat aneh bagi Bobby yang saat ini mengangkat alis. Calon ratu di masa depan bersentuhan dengan lumpur dan kotoran sapi. Benar-benar. Loki memandangnya sedih. Valerie tidak tahu bagaimana bisa anjing sepintar ini dibenci sekitarnya. Terkecuali Valerie, Ame dan Raito yang mencintai hewan malang ini penuh cinta. "Jaga domba-domba ini dengan baik. Saat anak sapi itu besar, pastikan dia untuk tidak terperosok dalam kubangan lumpur. Aku berusaha bilang pada Paman Raito untuk menutupi lubang lumpur agar kaki domba tidak terpeleset." Loki hanya diam. Sorot matanya tampak yakin, dan membuat Valerie tersenyum. Ia mengulurkan tangan, dan anjing itu ikut menjulurkan kaki kirinya, menyentuh telapak tangan Valerie. Saat Valerie bangun, ia mendapati Raito dan Bobby masih menunggu dalam diam. Saat Paman Raito memandangnya sedih dengan senyum, sementara Bobby yang bingung dan merasa jijik dengan ekspresi datar tidak tersentuh. "Aku akan bersiap-siap." Valerie berbalik dengan mata memanas menahan tangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD