3

1820 Words
Valerie benar. Pangeran dan budaknya kembali datang. Kali ini Sang Pangeran tidak menunjukkan seragam kerajaan yang mencolok seperti seorang tentara kelas atas. Pria itu memakai pakaian formal yang justru terkesan santai dan bersahabat. Tetapi kedatangannya seakan membawa mimpi buruk baru. Valerie dan firasatnya terkadang tepat sasaran. Ia menduga kedatangan pria itu adalah untuk memaksanya kembali ke Andera. Lihat saja bagaimana paras congkak dan rupa angkuh yang membuat mata Valerie sakit. Dagu terangkat dan pakaian mahal yang nampak santai rupanya tidak juga memberikan kesan bagus untuknya. "Selamat siang." Ame baru saja kembali dari ladang. Melepas sarung tangannya dan terburu-buru mencuci tangan untuk mencari lap kering demi menyeka keringat yang turun dari dahi dan lehernya. "Siang." Liam memindai seluruh peternakan dan tersenyum. Kepuasan berbinar di matanya. Ame mendongak dengan raut siaga. Saat ia melirik Valerie yang mendengus, memerah s**u sapi dengan kekuatan menahan jengkel. Sama-sama keras kepala. "Bisakah aku bertemu—," "Aku di sini," Valerie bersuara dari balik pagar kayu yang terbelah. Melambai kecil dengan telapak tangan mulus itu nampak kotor karena s**u. "Kau mencariku, kan?" Liam mengernyit sebentar. Saat matanya melirik Bobby yang sama-sama berkerut, berpikir pantaskah calon raja masuk ke kandang sapi? "Duduklah dulu, Yang Mulia. Sebentar." Ame memanggil Raito yang sibuk memeriksa domba-domba gemuknya. Saat sang suami dengan sigap mengerti, memindahkan bangku kayu panjang ke taman untuk Liam duduk. "Silakan, Yang Mulia." "Terima kasih." Liam duduk dengan kaki menyilang. Ketampanan Sang Pangeran bukan main. Itulah kesan yang Raito dapatkan. Tapi sorot matanya yang keras dan berprinsip membuatnya cemas dengan keponakannya. Bisakah kedua sifat itu menyatu? "Aku akan kembali mengurus domba." Raito membungkuk dan Liam hanya memberi anggukan sekilas. Saat Bobby mengangkat alis, melihat sambutan luar biasa menyebalkan dari keluarga suami Putri Larissa yang abnormal. "Ingin minum sesuatu?" Liam menyipit tanpa ekspresi. "Tidak. Terima kasih." Ame memilih untuk diam. Karena lima menit setelahnya, Valerie muncul. Tubuh tinggi dan rampingnya terlihat dari celah kayu yang terbuka. Gadis itu menurunkan kepalanya, menyusuri lubang bawah untuk melepaskan diri dari kandang pengap nan sempit itu. "Aku yang butuh minum," kata Valerie, mendadak merasa malu saat Ame mengedip dan bergegas menuangkan air putih untuk keponakannya. "Sini, cuci tanganmu dulu. Pangeran sudah menunggu." Liam mungkin sedikit berharap gadis itu tertarik atau setidaknya menyambutnya dengan sikap formal yang menyenangkan. Tapi apa-apaan ekspresi jijik mau muntah itu? Bagaimana bisa bangsawan itu memasang tampang menjengkelkan pada calon raja? Valerie mengangkat kursinya sendiri. Dan dengan sikap formal, Bobby hendak membantu. Tetapi Valerie menolak halus, menatap pria berbadan besar yang tidak cocok memakai kemeja ketat itu dengan tajam. "Aku bisa membawa ini. Bahkan melempar ini sejauh sepuluh meter pun masih bisa." Bobby diam. Matanya melirik Sang Pangeran yang memberi isyarat agar dia mundur. Valerie menaruh kasar kursinya di atas rumput, memandang Sang Pangeran dengan tarikan napas bosan. Liam bisa mendengar gadis itu menggerutu. Kau lagi, kau lagi. Benar-benar perempuan tidak sopan! "Aku membawa seorang manajemen keuangan baru dari Osaka. Dia bekerja cukup lama di Tokyo selama delapan tahun. Namanya Clarius." Valerie bangun, mengulurkan tangan dengan formal pada pria berambut cokelat kemerahan dengan kacamata bulat yang menawan. "Valerie," sapanya ramah. "Clarius." Apa-apaan itu tadi? Senyum pria itu memikat. Saat Clarius berdeham, lalu bersuara dengan aksen ramah. "Aku banyak mendengar dari Yang Mulia tentang kemungkinan peternakan ini maju. Anda mempunyai ladang berkompeten yang bagus. Sedikit perubahan dan teknologi mutakhir sekarang, ini akan menjadi ladang uang." Senyum Valerie mengembang malas. "Oh, benarkah? Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana. Ladang uang, bagaimana? Kau menanam uang di tanah dan membiarkannya tumbuh sampai menjadi rumput liar dan berharap kalau itu pecahan uang besar?" Liam mengerutkan alis. Sama sekali terkejut dengan balasan spontan gadis itu. "Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Selama kebutuhan kami tercukupi dan domba bersama sapi tumbuh sehat, itu segalanya." "Aku mengerti, Putri." "Valerie saja," koreksi gadis itu lancang dan Clarius tampak tak nyaman. Terlebih tatapan Liam berkali-kali meliriknya dan melirik calon istrinya dengan sinis. "Kau sepertinya butuh berlibur." Sungguh, kalimat konyol dari Valerie yang ditunjukkan pada calon raja di depannya. Gadis itu bahkan menunjuk dirinya dengan dagu seakan ia adalah b***k. "Kau bilang apa?" "Tampangmu sekarang sangat kusut. Seakan kau baru saja berkunjung ke neraka dan bukan peternakan bagus yang sempat kau pamerkan memiliki potensial di masa depan," Valerie mendengus menahan miris. "Bahkan wajah dombaku yang sering tersenyum jauh lebih pantas dipandang daripada dirimu." Bobby tidak bisa menahan keterkejutannya saat Valerie berpaling, memasang ekspresi bosan yang membuat kepalan tangan Liam mengeras di atas pangkuan. "Aku tidak akan berbasa-basi lagi," Liam menatap Ame yang duduk di samping pintu dapur untuk menguping. Saat Valerie berpaling, memandangnya seakan siap bertempur. "Kau harus kembali ke Andera. Karena waktu kita tidak banyak. Kita harus segera menikah. Aku harus mengambil posisiku dan memastikan negaraku aman." Keluhan lain terdengar. Saat Valerie mengerang, menggeleng dan membiarkan Liam menatap gelombang rambut manis gadis itu yang bergoyang karena tiupan angin. "Kau tidak akan berharap apa pun dariku. Kau tidak seharusnya lakukan ini." Liam menarik napas. "Aku tahu apa yang kulakukan sekarang. Terhadapmu, dan terhadap diriku sendiri." Bibir itu mengetat. Dan pandangan Liam tak sopan turun untuk mengamati dadanya yang naik-turun konstan. Seakan menahan jengkel luar biasa yang membuatnya harus mengontrol diri untuk tidak ikut meledak seperti anak kecil. *** Penjelasan Clarius sudah sangat amat membantu. Saat Valerie memandang kesiap Ame dan Raito, ia dilanda hantaman keras di belakang kepala cukup parah. Membuatnya pusing. Ia bahkan harus memberi jarak agar tidak terlalu dekat dengan pangeran gila dari Andera. Valerie takut jika dirinya kesal, dia akan melempari Liam dengan sepatu boot kotornya. Yang berlumpur dan sedikit beraroma kandang sapi. "Aku rasa—," "Ini potensi bagus di masa depan. Dengan pengalaman dan koneksi bagus yang kujalani selama nyaris lima tahun, aku bisa membaca kemungkinan ini hanya dari membaca berkas," sahut Clarius berapi-api. Seakan cocok pria itu mendukung agar Ame dan Raito membuangnya. Atau parah, menyodorkannya pada Liam sebagai tumbal atas belas kasih. "Rentenir itu sangat mencekik, bukan? Seharusnya koperasi tidak semengerikan itu pada nasabahnya," ujar Liam datar, memainkan jemarinya di atas meja dan mendesah. "Aku bisa membelinya dengan harga tinggi atau melelangnya kalau aku mau. Karena perjanjian bebasnya atas namaku, dan tandatanganku." Raito diam. Kembali Ame menjadi patung. Valerie menarik napas. Tidak ada gunanya memaki di saat ia melihat harapan sebuah kepastian dari sepasang mata paman dan bibinya. Valerie tidak mungkin egois dengan membiarkan peternakan yang ia cintai melewati kesempatan bagus. "Tentang Putri Larissa, Anda tahu bagaimana dirinya di masa lalu?" Liam menyempatkan diri untuk melirik gadis yang berdiri di tembok depan kamar dengan tangan terlipat. Paras angkuh tak ubahnya sama seperti dirinya. Mereka akan menjadi pasangan keras kepala yang saling menuntut satu sama lain. Andaikan Valerie laki-laki, mungkin sekarang mereka sudah adu jotos. "Putri Larissa satu-satunya mewarisi bakat melukis dari Putri Agnia, ibunya. Bahkan lukisan beliau jauh lebih lembut dan tegas. Membuat rakyat Ardissia mengenangnya dengan cara baik. Yaitu membiarkan semua lukisan yang ada dipamerkan pada museum rakyat di Ardissia Museum Art selama masa pembuangan Sang Putri di masa lalu." Valerie membeku. Ia tidak tahu tentang hal ini. "Kalau begitu, dirinya masih memiliki tempat di hati rakyat kota Ardissia," kata Raito parau, melirik Valerie yang menunduk dan membuang muka. Agar siapa pun tidak bisa melihat ekspresi kalutnya. "Aku tidak berbohong. Lain kali, aku bisa membawa kalian ke sana. Dan membiarkan Putri Valerie mengurus museum itu sebagai hak ahli waris," ujar Liam datar, namun terselip kepercayaan absolut yang membuat kedua lutut Valerie lemas. Pria itu seakan memberi dukungan besar padanya. Untuk memerintah kotanya sendiri dengan cara bijak. Clarius dan Bobby hanya diam. Bersamaan Ame dan Raito yang memandang sertifikat peternakan, ladang dan rumah mereka dalam satu berkas. Bersamaan bukti lunas yang tertera pada kertas. Valerie menarik napas. Menatap lentera minyak saat ia berjalan, tanpa sengaja menendang guci air milik Ame dan merasa bersalah. "Aku—," "Tidak apa, Sayang. Jangan dipikirkan." Valerie tidak lagi ragu untuk berlalu pergi. Tanpa aba-aba Liam bangun. Memundurkan kursi saat dia memberi kesempatan Clarius untuk menjelaskan prospek masa depan yang berusaha mengalihkan pemikiran pasangan suami istri itu untuk melepas keponakan mereka. Bobby ikut menemani, saat Liam pergi dari pintu utama untuk menyusul Valerie pergi. Gadis itu duduk di bangku panjang yang menghadap ladang bunci dan tomat. Saat Liam mendekat, menemukan anjing gembala gemuk yang tampak kotor sedang tidur di sisi lain. "Jangan bangunkan Loki. Kau bisa duduk di bawah kalau kau mau." Dasar gadis gila. "Sangat terkesan kau meremehkan harga diriku," kata Liam datar, merapat pada bangku dan memutuskan untuk berdiri. "Aku datang dengan permintaan baik-baik." "Kau memaksa. Kau mengancam keluargaku untuk membiarkanku bebas dan ikut denganmu ke negara asing." "Itu bukan negara asing. Itu rumahmu." Valerie kembali diam. Memainkan ujung blus miliknya dan mendesah. "Kau tidak akan mengerti. Rumahku di sini. Ardissia terasa jauh sekali dan membuatku tidak nyaman." "Saat aku menjadi raja nanti, aku akan merubah banyak protokol dan kebijakan istana untuk kebaikanku dan rakyat. Beberapa orang yang bekerja di istana harus diperlakukan sebaik mungkin," ucap Liam, membacakan visinya setelah dia naik takhta. "Kau bisa saja mengumbar janji. Pada dasarnya janji tetap menjadi janji, kan?" Bola mata itu bersinar di tengah pekatnya malam. Saat Liam menatap lurus, tenggelam dalam iris teduh yang membuatnya seperti tersesat di hutan belantara asri yang menyimpan banyak kejutan. "Aku akan banyak mengecewakanmu." Valerie bicara tanpa perlu merasa kurang percaya diri. Dia bicara apa adanya. Karena memang keputusan gila Liam dengan memperistrinya adalah kesalahan. "Kau bisa belajar banyak hal." Itu bukan kalimat penenang yang ingin Valerie dengar. Tetapi ia memilih diam, alih-alih menepis kalimat itu dan berkata kasar pada Liam. "Aku sedang berpikir tentang pesta dansa kuno di lantai dansa kastilmu. Apakah kita bisa memutar lagu rock metal untuk bergoyang?" Pemikiran luar biasa yang membuat Liam terkejut. Matanya yang pekat memandang lurus ketika gadis itu perlahan membentuk gestur geli, bibirnya berkedut membentuk senyum samar. "Aku serius. Aku punya kecenderungan mendengar lagu dengan genre bebas yang membuat sakit kepala. Karena mendengarkan musik opera membuatku mengantuk." "Ayahmu pemusik opera." "Dia sadar kalau aku tidak cocok meneruskan bakatnya," kata Valerie datar, mengangkat bahu dengan senyum miris. "Toh, dia tidak keberatan. Dia memberikanku kebebasan menjadi apa pun yang kumau." Dilihat dari segi mana pun, Valerie akan mendapat hujatan kalau ia menginjakkan kaki di tanah Andera tanpa riasan dan tampil berkilau bak putri dongeng. Tapi gadis ini pastinya tidak pandai berdandan. Yang ia tampilkan adalah kepolosan dan sifat apa adanya yang mencolok. "Aku tidak punya cara lain untuk terus memaksamu pergi bersamaku ke Andera. Politik memanas setiap waktu. Aku tidak bisa membagi kedua waktuku untuk terus lakukan hal ini." "Jadi, menurutmu ancaman itu perlu?" "Kalau saja kau menurut dan mau berkompromi, aku tidak akan lakukan itu." Valerie tidak bicara, melainkan tetap diam. Saat matanya menelusuri Loki yang pulas dan tangannya mengusap badan gemuk anjing itu, Liam mendesis. "Jangan sentuh dia. Dia kotor." Iris sehijau daun pinus itu menatapnya datar. Saat Valerie bangun, bersiap pergi tanpa jawaban yang membuat Liam frustrasi. "Kesepakatan lain yang kutawarkan adalah satu; kau akan menjadi ratu dan bukan permaisuri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD