2

1213 Words
Insting berburunya masih tajam. Sangat malahan. Dasar menjadi seorang pemimpin sudah tertanam sejak usianya empat tahun. Selepas itu, ia mengasah kemampuannya sendiri dalam membidik lawan atau musuh dan mencapai kata mufakat tanpa kekerasan bukan persoalan sulit. Salah satunya adalah membaca masalah yang terjadi di gubuk kecil itu. Gubuk yang sekiranya membuat mata Sang Pangeran sakit. Bagaimana bisa bangsawan nomor satu sekelas Ardissia harus menetap di rumah kumuh berbau kotoran sapi itu? Oke. Katakan saja kalau Valerie—atau siapa perempuan keras kepala bergengsi tinggi yang menolaknya mentah-mentah. Sang Pangeran ibaratnya kaleng sarden, dan seharusnya kucing tidak menolak. Tapi kenapa perempuan itu jual mahal? Oh, mungkin karena terlalu lama berbaur dengan kehidupan rakyat kelas bawah membuatnya berbeda. Kepribadian bukan bangsawan yang sebenarnya mengaliri pembuluh darah gadis itu. Andai saja ia tidak terikat protokol kuno yang membuatnya harus meminang salah satu bangsawan ternama yang tersisa, mungkin hidupnya tidak akan jungkir-balik seperti ini. Sang Pangeran bisa saja memilih pasangan yang sepadan dalam hal pengetahuan dan keterampilan. Ia tidak perlu seorang istri yang mahir memegang pedang. Setidaknya memegang pisau dapur sudah cukup. Perempuan bertubuh menarik yang penurut. Yang bisa membuat Sang Pangeran bertekuk lutut dan tidak perlu memutar otak untuk menjinakkan bagai kuda liar. Bukan perempuan barbar yang terang-terangan memilih domba dan anjing daripada istana mewah. Valerie itu gila. Separuh malah. Kenapa pewaris terakhir bangsawan Ardissia menulis surat wasiat untuk gadis malang itu? "Yang Mulia?" Liam tersekat karena suara asisten kepercayaannya berhasil membawanya pada kesadaran. Untuk malam ini ia akan beristirahat di hotel terbaik. Hotel yang dibangun atas kerja sama dua belah pihak. Ia tidak akan kembali ke Andera sebelum membawa gadis itu pulang dengan cara paksa. Untuk menjabarkan sangat sulit. Membutuhkan waktu lebih dari semalam hanya untuk menjelaskan aturan sialan yang mengikat sejak berabad-abad silam. Kerajaan monarki yang kini berbalut konstitusional belum sepenuhnya melepas aturan mengikat lama yang mencekik. Liam bersumpah, setelah ia duduk di takhta dia akan banyak merevisi protokol istana yang mengekang untuk kemakmuran dirinya sendiri dan mengekang pergerakan kubu lain untuk melancarkan kudeta. "Dalam dua puluh empat jam. Semua harus beres. Terkadang paksaan itu perlu," kata Liam muram. Memandang sosok yang berdiri dengan tangan terulur sambil menghitung anak domba yang berlarian di sekitar peternakan. "Ancaman pun sama. Aku tidak bisa mengulur waktu lebih lama untuk bermain-main." "Saya mengerti, Yang Mulia." Liam merespon dengan dengusan pelan. Sang Pangeran bertumpu pada kaca helikopter dengan sikunya. "Aku pikir, pewaris sebelumnya jauh lebih memiliki aura dan minat belajar yang tinggi. Itu sangat cocok dengan syarat menjadi calon permaisuri di Andera." Lalu, kembali kalimat lain menyambung. "Lantas siapa yang berdiri di sana dan seakan membenci Ardissia bersama Andera sekaligus? Kakeknya hanya memberi ancaman, bukan sepenuhnya meminta gadis itu pergi." "Persoalan internal yang rumit," balas Bobby—asisten kepercayaan Sang Pangeran sejak dua tahun lalu. "Saya berpikir bahwa aksennya tidak lagi ada. Beliau harus banyak belajar. Putri Ardissia harus mengenal kampung halamannya sendiri." "Oh. Dia akan melakukannya." Kalimat terakhir menjadi penutup percakapan. Liam menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, menarik napas dalam dan bisa merasakan bahwa baling-baling helikopter mulai menyala. Serta pijakan kaki yang perlahan bergetar. *** Valerie menatap murung pada Ame yang sibuk menjahit. Di sisi lain selain kepintaran mengurus dapur dan domba, bibinya tampak tekun menenun dan suka membuat karya tangan untuk suami dan dirinya. Valerie pernah mendapat syal rajutan di hari ulang tahunnya. Satu tahun setelah ia kehilangan ibunya. Dan jaket rajutan lain berwarna krem pucat satu tahun setelah kematian ayahnya. Ame berduka untuknya dan Valerie menyayangi sang bibi sama seperti ibunya sendiri. Ame dan Raito mengurusnya sangat baik. Valerie berpikir ia harus mencari pekerjaan lain bergaji besar untuk membantu finansial rumah yang berantakan. Berharap pada ladang tidak bisa seratus persen berhasil. Ia berpikir bagaimana caranya bertahan hidup di tengah gempuran industri pabrik dan peternakan maju lain yang lebih menawarkan keuntungan berlipat. "Jadi, pria itu pangeran?" "Tampilannya seperti tuan tanah congkak yang suka memamerkan emas mereka daripada prestasi," gumam Valerie muram. Senyum Ame mengembang pantas. "Sayang, dia terlihat serius. Aku dan pamanmu tidak akan memaksa kalau kau sudah membuat keputusan. Valerie kami mandiri dan dewasa. Dia bisa menentukan masa depannya sendiri." "Apa kalian baik-baik saja jika aku pergi?" Ame menarik napas. "Mungkin tidak akan terbiasa. Atau aku akan menangis seperti bayi setiap malam. Raito tidak akan mengeluh," langkah kaki lain masuk ke dalam rumah melewati pintu belakang. "Benar, 'kan, Sayang?" "Kau bicara apa?" "Tentang aku yang rewel seperti bayi," Ame tersenyum saat Raito melepas rompi lusuhnya dan mengedip. "Apa percakapan ini tentang pria asing yang datang dan meminta Valerie kembali ke Andera?" "Aku tidak mau kembali," kata Valerie marah, mendadak kebencian mengaliri pembuluh darahnya seperti anak sungai. "Aku benci mendapati diriku kembali menjadi anak lemah seperti pecundang. Mereka bicara buruk tentang Mama dan Papa." "Seorang bangsawan yang turun derajat karena menikahi rakyat jelata," balas Paman Raito muram. "Aku paham benar ketakutanmu, Valerie. Tapi tidak ada yang tersisa dari keluargamu karena kecelakaan pesawat itu." "Mereka mengutukku dari alam kubur." Ame memberikan Valerie seulas senyum manis. "Sayang, Ardissia tetap keluargamu. Kastil besar, kenangan ibumu dan bagaimana ia dibesarkan di sana. Aku rasa kau akan kembali menemukan hidup yang baru setelah mencoba." "Apa ini termasuk pemaksaan?" Raito menggeleng dengan senyum miris. Saat ia menarik bangku kayu, duduk dengan memperlebar kakinya dan tampak kuat. Menatap lurus pada bola mata hijau yang keruh karena cemas. "Kami tidak akan memaksa. Kalau kau menikah nanti, aku senang hati membuatkan kamar untukmu dan suamimu yang lebih besar." "Terakhir kali aku mencoba, semua gagal." Ame menarik napas. Menurunkan hasil rajutannya dan menatap Valerie lirih. Keponakannya yang malang. Dia cantik dan bersinar. Serta riang dan punya semangat bagus. Tapi Valerie selalu menyembunyikan sosok sebenarnya. Beberapa orang yang tahu bahwa dia bangsawan hanyalah pria berengsek yang serakah. "Aku tidak cantik. Pangeran itu buta. Dia bisa membakar surat warisan itu dan mencari pendamping lain. Protokol sialan macam apa itu?" Raito mendesah. Menatap sang istri yang balas menggeleng. Valerie dan mulutnya tidak akan bisa dipisahkan. Ia teringat tentang adiknya yang suka menegur putrinya karena suka marah-marah dengan pria pemabuk yang suka melempari Loki, anjingnya dengan batu sungai cukup besar. "Itu terserah padamu. Ibumu sempat bercerita bahwa aturan istana selamanya berlaku dengan sifat mengikat dan memaksa. Seperti konstitusi pada umumnya. Dengan pasal dan hukuman yang tertulis dalam buku sakti," kata Raito, mengenang dongeng dari Larissa sebelum kematiannya. "Semua hanya demi keturunan dan generasi penerus. Budaya itu harus tetap ada." "Ini menyesatkan." Ame mengulurkan tangan, meremas kepalan tangan itu di atas meja. Valerie adalah seorang bangsawan. Itu tidak akan pernah menghapus kodratnya sebagai perempuan terpandang hanya karena ayahnya seorang pemusik opera murahan. "Sayang, dengarkan aku. Kalau kau tetap tidak mau, aku dan Raito akan memasang badan untuk mengusir komplotan keluarga Andera pergi. Tapi sebaiknya kau pikirkan baik-baik." "Setelah mereka menghina dan membuang Mama?" Raito mengembuskan napas. Mengulurkan tangan untuk mengusap rambut panjang keponakannya. Kehidupan pernikahannya dengan Ame tidak dikaruniai anak yang utuh. Ame keguguran sepanjang pernikahan mereka. Tapi Raito tidak pernah mempersalahkannya. Asalkan sang istri tetap hidup untuknya, itu adalah berkah dan segalanya. "Itu masa lalu. Sepuluh tahun lalu, kau mendapat penghinaan yang sama. Kali ini Valerie akan bangun dengan sifat berbeda. Kau mengerti maksudku?" Bola mata hijau itu berpendar dari bawah temaram lampu kuning di atas plafon. Saat Ame tersenyum, kembali merajut dan Valerie menarik napas. Memukul lengan besar sang paman dengan senyum. "Aku mengerti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD