6

2091 Words
Sang Pangeran hanya diam. Lantas yang membuat Valerie bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Dia belum menghapus riasan. Masih cantik. Masih bersinar sampai-sampai matanya sendiri hampir buta karena tidak bisa membedakan mana Valerie si pemerah s**u sapi, atau mana Valerie si bangsawan yang hilang. "Ganti pakaianmu." "Kita hanya makan malam, bukan kencan buta." Sepertinya pertengkaran mereka akan sengit. Valerie takut jika dirinya dengan spontan menampar Liam dan membuat pria itu digotong seluruh staf hotel. Membuat Valerie dipenjara adalah tujuan utama. "Ganti." "Kita hanya makan—," "Ganti atau tidak ada makan malam sama sekali." "Lantas? Aku harus berpuasa?" Valerie membalas tidak terima. Jengkel karena pria itu suka mempermainkan suasana hati seseorang. Valerie sudah lapar. Andelia bercerita tentang makanan lezat yang ada di Andera cukup membuatnya mati kelaparan karena membayangkan. "Untuk sekali saja, bisa mematuhiku? Aturanku yang berlaku di sini," Liam masih tidak terima. Dia tampil dengan sempurna, mengapa calon istrinya harus pergi dengan piyama tidur? "Kau beruntung. Piyama ini bukan bergambar kartun Doraemon dan Nobita. Ini polos," kata Valerie ketus, menutup pintu kamarnya dan berlalu untuk masuk ke dalam lift. Saat ia hendak masuk, tangan Liam menarik tangannya untuk mundur. Lift masih membuka, menunggu pengunjung untuk masuk dan turun. "Lima menit." "Tidak." "Empat menit." Valerie belum sempat memaki saat dia menepis tangan itu dari pergelangan tangannya. Membiarkan Liam mundur dan dirinya terburu-buru menekan tombol agar pintu lift tertutup. Selain bayangan dari iris kelam yang perlahan menajam dan dirinya yang menjulurkan lidah. Apanya yang satu sama? Dua-satu. Itu baru benar. *** Bobby dan Andelia ada di sana. Di restauran dengan gaya kasual mereka dan tampak kaku saat berbincang. Meski Valerie berani bertaruh, bahwa pria robot yang mendeklarasikan diri sebagai b***k Sang Pangeran sulit diajak bicara konyol. Andelia melambai kecil. Valerie beruntung, ia tidak menemukan sinar kecewa karena dirinya menyimpan gaun pastel dengan piyama cokelat tua. Yang lebih nyaman dan santai. "Kenapa kau—," "Biar aku jelaskan," Valerie menarik kursi untuk duduk dan Bobby bangun, membiarkan mereka berbicara empat mata. "Kau merombak penampilanku untuk Sang Pangeran, kan? Oke. Kau sudah melakukannya. Aku pun sudah pamer. Dan rasanya aneh ketika kita makan malam, aku memakai gaun. Ini bukan pertemuan penting antar negara atau kencan buta. Ini perkara soal mengisi perut. Aku benar, kan?" Andelia tersekat. Saat mata kelabunya memandang Valerie dan bibirnya berkedut menahan geli. "Kau luar biasa. Bagaimana bisa Ardissia kehilangan perempuan hebat sepertimu?" Valerie berdecak. Menyebut nama Ardissia membuat selera makannya menguap sampai Antartika. "Mereka sedang mengutukku. Sejujurnya, aku lebih suka tidur bersama Loki atau memastikan dombaku utuh dan tertidur setelahnya. Aku suka menghitung domba dan kelelahan. Kemudian tertidur di atas bangku panjang." "Kepala dan punggungmu tidak sakit?" Valerie mendengus. "Tidak. Aku terbiasa. Aku sering tertidur dimana pun yang aku mau. Mungkin satu kebiasaan yang harus kurubah saat aku tinggal di Andera. Calon ratu tidak mungkin tiba-tiba tertidur di kandang kuda, kan? Mereka akan menyebutku orang gila." Pelayan restauran mulai menyusun meja dengan sangat apik. Valerie terkesan, terpana untuk beberapa menit berlangsung saat pelayan menyajikan banyak hidangan untuk mengikis lapar di perut mereka. "Anggur, Yang Mulia?" "Tidak." Andelia mengangguk kecil. "Kau tidak terbiasa meminum anggur?" Valerie meringis malu dengan netra teduhnya mencuri pandang pada pemandangan cairan keunguan pekat di gelas Andelia. "Tidak. Aku terbiasa minum susu." Andelia hanya tersenyum maklum. Valerie merasa luar biasa setelah menemukan teman bicara yang cocok. Ia selalu tarik urat dan merasa kesal setiap saat kala bertemu calon raja. Mungkin kalau Sang Pangeran bersifat ramah dan terbuka seperti Clarius, dia akan mudah terpikat. "Oh, Yang Mulia." Andelia tidak sempat menelan potongan salad sayur di mulutnya saat dia bangun, dan Valerie tersentak ketika Liam muncul dari belakang punggung. Memberikan mantel panjang berwarna cokelat dengan bahan yang lembut. Melingkari bahunya dengan kesan hangat yang absolut. "Nikmati makan malam kalian." Liam berucap tanpa melirik ke arahnya. Sesaat setelah memberikan mantel itu untuknya, pria itu lekas pergi. Valerie mendesah dalam diam. Memandang Andelia yang tampak cemas. "Aku rasa ada yang salah." "Entahlah." Andelia kembali duduk. Mencicipi makanan saat Valerie bisa menggunakan sumpit dan bergantian memakai garpu. Sesekali memakai pisau untuk mengolesi saus ke daging. "Kau tampak mahir." "Kami terbiasa makan daging selepas akhir pekan. Itu seperti rutinitas wajib. Kehidupan kami bukan kehidupan mewah di peternakan. Tetapi Paman Raito berusaha memanjakan seisi rumah dengan penghasilannya," kata Valerie dengan senyum, mengenang kebaikan sang paman yang berusaha mencukupi semua kebutuhan rumah di usianya yang mulai renta. "Berapa usianya?" "Lima puluh dua dan istrinya empat puluh delapan. Mereka masih cekatan dan fit di usia senja. Aku begitu kagum," ucap Valerie, kembali berbinar bicara tentang keluarganya di peternakan. Mata Valerie menelusuri seisi restauran yang sepi. Ia berani bertaruh ini ruangan khusus yang hanya berhak dikunjungi oleh pemilik, tamu penting, atau jamuan yang bersifat formalitas. Sekat yang berdiri tinggi membuat Valerie terdiam. Ia tidak bisa melihat apa pun selain ornamen yang menghiasi sepanjang langit dan dinding restauran. "Apa karena Jepang dan Andera sama-sama bersifat monarki dan mereka menjalin kerja sama?" Andelia mengangkat alis. "Percakapan ini di luar kendaliku, Putri Valerie. Aku tidak tahu sama sekali tentang politik," balas Andelia geli, menahan senyum. Orang-orang dengan setelan santai khas pulang kerja memenuhi meja bundar. Mereka terlihat bebas dengan pelayan restauran yang berulang kali menghampiri. "Setelah kau sampai, semua akan berubah. Terutama dari cara kau berpakaian, bagaimana kau memakai hiasan rambut, dan tatanan cara berperilaku. Aku harap semua baik-baik saja." "Kau terlihat cemas?" "Kepribadianmu aktif. Di samping protokol kerajaan yang ketat, kau tidak akan bisa sebebas dulu." Valerie menghela napas. Alisnya bertaut bingung, kala kecemasan menghampiri matanya yang redup. "Kau punya pengalaman pahit dengan keluarga kerajaan?" "Aku sempat dekat dengan pangeran pertama sebelum tewas karena pertempuran. Sudah cukup lama. Aku pun sudah menemukan cintaku sendiri. Semua terasa sulit. Bahkan saat aku mencoba memasuki istana, aku seperti menemukan gerbang neraka baru yang belum pernah kusinggahi." Valerie mendesah, menurunkan garpunya dengan gelengan samar. "Semua orang bilang itu sangkar emas. Aku percaya itu penjara. Alih-alih mereka memuja bagaimana bentuk Palace yang sebenarnya." "Semua orang berpikir menjadi Princess yang ada di dongeng sangat menarik. Bagiku, tidak sama sekali," kata Andelia, matanya melirik Valerie yang terenung. "Aku tidak bermaksud menakutimu. Ini mengingatkanku pada sindiran pangeran pertama dulu kalau aku kalah sebelum berperang. Bahkan sebelum kami serius pun, menyentuh istana bukan kemauanku." Valerie hanya memberinya senyum separuh. Bukan senyum yang ingin dia perlihatkan pada Andelia. *** "Oh, Clarius?" "Salam, Yang Mulia." Valerie memilih untuk mengabaikan sapaan formal pria itu dan menepuk bahunya. Sesaat ia merasa Clarius gelisah, dan ketika ia melirik pria yang duduk dengan kaki menyilang, Valerie tahu penyebabnya. "Senang melihatmu lagi, Clarius. Aku harap semua baik-baik saja." Kembali mengulang sapaan dengan sikap yang sedikit formal, daripada memakai cara lama seakan mereka teman akrab. "Kau sudah menemukan solusi dan aku sudah memberikan suntikan dana. Kapan kau mulai bekerja?" "Besok. Jam sembilan, Yang Mulia. Pertama-tama saya harus memastikan teknologi terbaru ini mampu beradaptasi dengan tekstur tanah dan lingkungan sekitar. Yang kedua, mesin-mesin pembantu memerah s**u sapi dan memotong bulu domba tidak menyakiti mereka." "Itu bisa saja terjadi kalau kita lengah," kata Valerie muram, memikirkan dombanya terluka karena mesin pemotong bulu yang tajam. Clarius memberi tanggapan. Dan Valerie mendesah. Ini inovasi bagus karena seakan perkebunan mereka terbelakang mundur berabad silam dari perkebunan lain. Peternakan mereka berpotensial, dan lagi-lagi harus tersandung dana. "Saya akan memastikan semua berjalan semestinya, Yang Mulia." Setelah Clarius pergi, semua terasa senyap. Valerie tidak melihat siapa pun selain dirinya sendiri yang terjebak bersama Sang Pangeran. "Kau menikmati makan malammu?" "Ya, terima kasih," balasnya. Meremas mantel yang ia lipat dan genggam. Untuk sementara, ia tidak akan memakai mantel itu karena udara di dalam hotel tidak terlalu dingin. "Pergilah tidur. Kita akan berangkat pagi." Liam pergi, membiarkan dirinya sendiri dengan perasaan ingin meraung. Saat Valerie menatap punggung pria itu, yang perlahan menjauh, ia mendesah panjang. Menyisakan waktu dua jam sampai tengah malam tiba, dirinya masih memiliki waktu untuk bersenang-senang. Valerie menarik napas, memikirkan kemana dirinya harus mencari udara segar di malam hari? Memakai mantelnya terburu-buru, dia mencari lift yang kosong dan segera turun ke lantai lobi. Melihat Bobby di sana tengah berbincang bersama dua pria lain, Valerie pikir dia tidak akan bisa menghindari pria itu. Mata elang Bobby menangkapnya. Saat ia berdeham, pamit undur diri dan menghampiri Valerie yang berpura-pura melihat lukisan kuda dalam sabana liar yang terukir di dinding lobi. "Putri, Anda butuh bantuan?" Valerie menggeleng. "Tidak. Aku hanya ingin berjalan-jalan." "Ini jam untuk Anda beristirahat. Perlukah saya mengantar sampai ke kamar?" "Kau baik sekali. Tapi terima kasih, aku bisa melakukannya. Aku hanya ingin mencari udara segar. Siapa tahu udara di Tokyo dan di Andera berbeda." Bobby hanya diam. Keningnya berkerut dan Valerie tidak akan meminta kesempatan lain untuk membuat Bobby menyerah dan percaya. "Bobby, periksa—," Kalimat Liam terpotong di udara saat dia menatap pada asisten sekaligus calon istrinya bergantian. Saat Valerie merapatkan mantel, mendengus dalam diam dan berbalik untuk kembali melihat. Alih-alih menonton pria itu terus memasang wajah jengkel setiap waktu. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan," tangam pria itu bergerak untuk mengusirnya pergi. Liam berbalik, menatap sosok yang bertanya-tanya tentang wisata terdekat hotel. Valerie mau melarikan diri? "Ada sungai buatan? Bisakah aku pergi ke sana?" "Tentu, Putri." Valerie memutar badan setelah mengatakan terima kasih. Berlalu untuk mendorong pintu kaca hotel, dan melihat petugas keamanan memandangnya dengan sorot cemas. "Aku hanya berjalan di sekitar sungai buatan. Jangan membuntuti seperti aku tahanan penjara. Aku baik-baik saja," ucapnya, menuruni anak tangga dan membiarkan kedua tangannya bersembunyi di dalam saku. Mereka benar-benar berhasil membuat tiruan anak sungai yang bagus. Mengaliri sepanjang hektaran tanah kosong di belakang gedung, Valerie merasa dirinya menyatu dengan alam. Ia tidak terlalu suka pantai sebenarnya. Tapi memandangi air selama berjam-jam tidak pernah menjadi masalah. Rumah Raito dan Ame jauh dari sungai. Meski begitu, persediaan air mereka selalu tercukupi. Valerie sering membantu menimba air, mengisi guci-guci yang kosong dan memenuhi semua ember untuk domba dan sapinya minum. Loki termasuk anjing pintar. Valerie selalu rutin memberinya makan enak setiap pekan walau Loki tidak pernah mengeluh soal apa pun. Dan sekarang, setelah menjauh selama beberapa jam dia dihantam rasa rindu. Ibu dan ayahnya pergi di gubuk itu. Valerie masih ingat benar kenangan saat sang ibu sakit, ayahnya tidak pernah melepaskan mata dan tangannya untuk terus menemani. Kondisi ibunya memprihantikan, tetapi wanita itu masih mau tersenyum dan tampak hidup karena cinta suaminya. Valerie sempat berpikir akan mendapat cinta dan perlakuan yang sama saat dia menikah dan menua bersama pria pilihannya. Tapi dirasa, harapan itu tidak lagi ada. Dia menjadi istri calon raja dengan minim ekspresi. Valerie akan berpikir bahwa pernikahan mereka sama sekali tidak menarik. Semenjak penghinaan bangsawan Ardissia padanya sepuluh tahun lalu, Valerie tidak pernah berpikir akan menikahi seorang bangsawan kelas atas yang akan menduduki kursi nomor satu sebagai kepala pemerintahan. Dia benci kembali menyebut bahwa dirinya akan menjadi calon ratu di masa depan. Itu artinya, kebebasan yang selama ini memeluknya telah sirna. Membayangkan hamparan protokol istana yang ketat membuatnya kesulitan bernapas. Valerie hanya perlu belajar selagi dia mampu. Perkara mengurus sapi dan domba pun, dia bisa. Tapi mengurus negara? "Seharusnya aku mati suri. Dan membiarkan pangeran itu berpetualang mencari cintanya sendiri," katanya muram, memainkan rumput liar yang tumbuh di tepi sungai dan mendengus. "Dilihat dari segi mana pun, kami berdua tidak cocok. Aku tidak suka dengan pria dingin nan ketus. Tetapi menikahi pria berkepala plontos dan berperut buncit, sama saja minpi buruk." Masih basah dalam ingatannya saat juragan tanah di desa sebelah datang dan menawarkan kesepakatan konyol. Valerie pantas menyebutnya Perjanjian Pria Berkepala Gundul. Karena sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Dia bicara tentang melajang setelah istrinya meninggal. Yang tidak Valerie sangka adalah dirinya yang mempunyai empat istri dan berniat menjadikan Valerie istri kelima. Dia pikir dirinya piala bergilir? Pria itu beruntung karena Valerie tidak melempar meja kaca ke arahnya. Selain balasan penghinaan dari Paman Raito yang membuat nyali pria itu menciut. Gemerisik air sungai membuatnya tenang. Valerie mencintai tempat tenang saat dia butuh tempat untuk berpikir matang. Ketika matanya menelusuri permukaan air, lalu pada pantulan lampu taman yang tenang, dia berhasil menemukan dirinya kembali. Potret Valerie yang terkendali dan tidak mudah tersulut apa pun. Valerie bangun dari bebatuan buatan yang secara samar berhasil menyakiti bokongnya. Saat dia mendesis, berpijak pada kedua kakinya sendiri dan berbalik. Menemukan Sang Pangeran ada di sana. Memandanginya dalam diam. Valerie tidak melakukan atraksi lompat tali atau menceburkan diri di sungai dengan lompatan kodok. Jadi dia tidak sepatutnya memasang wajah bersalah. Kakinya dengan mantap melangkah, mengikis jarak di antara mereka saat Valerie mendengar Liam berbisik pelan. "Kau ingin berjalan-jalan sebentar?" "Tidak. Aku ingin tidur." Berhasil membuat Sang Pangeran bungkam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD