Mulai Mengatur

1476 Words
"Hay!" Sapanya  dengan senyuman. Hanya semyuman dan itu membuat jantungku seperti maraton. Ya tuhan! Belum lagi wajahnya yang selalu membuat aku terngiang-ngiang. "Kok diem sih?" Tanyanya, aku baru tersadar ternyata aku belum menjawab sapaannya.   "Hay juga." Jawabku dengan senyuman. "Nggak papa, cuman lagi banyak pikiran doang."  Sambungku lagi sekenanya. "Punya mama baru kok, muka lecek gitu sih yang?"       Ahhhh! Jangan lupakan aku sangat suka panggilan itu. "Iya sih tapi aku lagi kesel." Aduku. Aku sok manja padanya, dia hanya terkekeh. "Kesel kenapa?" Tanyanya kembali. Mataku tak bisa bekerja sekarang, melihat dia yang kini sedang mengeringkan rambut dengan wajah yang masih basah, jangan lupa d**a bidang itu.  Ahhhhh! Perut sixpax  itu menggoda imanku kawan. "Sayang kok bengong lagi sih?" Suara merdu itu membangunkan khayalan terindahku yang bisa suatu saat nanti bisa berada di kungkungannya.    "Astaga!!" Seruku, ku ketok kepalaku berulang kali berharap bakteri serta kuman jahat yang bersemayam di kepala segera musnah. "Yang kok kepala kamu, kamu pukul sih? Nanti sakit loh!" Ujarnya kembali. "Lagi mikiran apa sih? Kembali ia bertanya. "Nggak papa kok yang, aku cuman lagi gabut di rumah." Jujurku, niat ingin tidur kembali, menguap entah kemana.     "Mau jalan nggak?" Tawarnya. "Kita ke Mall mau?" Lanjutnya lagi. Setelah ku pikir-pikir  tak ada salahnya bukan. "Boleh deh." Jawablu akhirnya. "Tapi jangan pulang malem aja." Imbuhku lagi. "Iya sayang kita jalan-jalan doang nanti sore sebelum jam enam kita balik." Jelasnya. "Aku jemput ya." Ucapnya sebelum panggilan video itu terputus. Aku pun hanya mengangguk sekali sebagai jawaban tak lupa ciuman jauh ia berika  sebagai salam.    Sepertinya di perlakukan seperti in saja rasanya ada banyak bunga bermekaran di hatiku.   *****        Ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku, kurang lima belas menit lagi Rendra sampai. Aku pun menuruni anak tangga, dengan kaos navy dan celana jen's yang membentuk setiap lekuk tubuh bagian bawahku, rambut ku kepang ke samping membentuk bando, jepit kecil warna senada dengan baju yang aku kenakan. Saat sampai di ruang tamu, mama Nova menelisik penampilanku dari bawah ke atas kembali lagi dari atas ke bawah sebelum ia buka suara. "Mau kemana Vin?" Tanyanya ia mulai berdiri menghampiriku. "Mau jalan ma temen." Jawabku.  "Laki-laki apa perempuan?" Aku merasa wanita ini seolah sedang mengintrogasi tersangka  pidana saja banyak bertanya. "Laki-laki." Kembali aku menjawab singkat.     "Kemana?"    "Ke Mall."     "Dengan pakaian seperti ini?" Jari telunjuk mama baruku ini menunjuk tubuhku dari atas ke bawah.     "Terus maunya mama aku pake daster gitu pergi ke Mall? Ya kali! Bebek lagi bertelur aja bakalan ketawa liat aku." Jawabku judes.  "Perginya cuman berdua?" Aku mulai jengah dengan pertanyaannya.  "Yaelah Ma! Nggak usah sok ngatur deh, ini hidup aku, terserah aku mau ngapain, bukan urusan mama." Ujarku sarkas. "Kamu boleh pergi tapi..." ucapnya menggantung, aku yang sedari tadi berdiri menyamping menoleh. Mataku mentap netra hitam indah itu. "Kamu harus ganti bajumu nggak boleh pake yang ketat apalagi sampe ngeliatin lekuk tubuh kamu." Ujarnya seenak jidat. "Ini Jakarta Ma!" Jawabku menantang. "Aku nggak suka diatur dan nggak suka di batasi, uku dah biasa kayak gini, dan jangan ikut campur tentang aku lagi." Ucapku kembali.       Aku tau mama Nova ingin menjawab ucapanku, tapi mobil Rendra mengurungkan niatnya.     "Siang tante." Sapa Rendra ramah. Saat ia sudah turun dari mobil dan menghampiri kami yang sedang berdebat di depan pintu, mama Nova hanya membalas senyuman. "Saya teman Vina, mau ngajak Vina jalan bentar boleh tante?" Izinnya. "Masuk dulu aja, kita ngomong di dalem, nanti kamu bisa bilang sama om Damar langsung." Jawabnya. Aku lihat mama Nova sudah membalikan badannya. Aku segera menarik Rendra dari sana. Melihat itu mama Nova diam. Entah apa yang ia pikirkan aku tak perduli, biasanya juga papa nggak pernah perduli jadi buat apa wanita baru itu harus ikut campur urusanku.     "Buka pintu." Perintahku pada Rendra. Tanpa banyak bertanya laki-laki  yang sudah mengisi hariku selama setahun ini nurut.    Jalan kali ini cukup ramai, mungkin karrna hari minggu pikirku. "Muka kamu kok lecek gitu sih sayang?" Tanya Rendra yang sedang mengemudi. "Lagi betek." Jawabku kesal. "Yah kan ini kita lagi mau nyegerin pikiran kamu Yang." Hiburnya. "Kamu jangan pasang muka gitu jelek loh." Ejeknya, aku manyun, bukannya bikin mood baik malah bikin kacau. ANCUR. Dasar pacar nggak ada akhlak.  "Kamu loh Yang!" Ujarku pasang muka sedih. "Niat apa nggak sih?" Tanyaku, ia hanya melirik sekilas dan tetsenyum.  "Kamu itu kalo ada masalah cerita, jangan pendem sendiri."   "Aku cuman nggak suka di atur." "Iya udah sekarang, mendingan kita nonton dulu baru main ke ancol. Mau?" Tawaranya. Aku mengangguk sekali dan aku yakin Rendra pasti melihat itu. Memang benar kata orang kalau bersama orang yang kita sayang, waktu seolah cepat berputar. Seperti sekarang, perasaan baru saja  aku keluar rumah, tapi kini mobil Rendra sudah kembali terparkir di depan rumah. Menikmati menonton bersama dan bermain di wahana ancol lumayan bisa membuatku melupakan rasa kesal ku. Berharap saat aku kembali hidupku normal lagi, tak ada aturan dan larangan untuk ku pergi.    "Mau mampir dulu" Tawarku, saat ia sudah mematikan mesin mobilnya. "Mama kamu nggak marah?" Ada sedikit keraguan ku lihat dalam ucapannya.      "Ini rumah papa aku, dan almarhum mama, dan dia! Nggak punya gak buat larang aku ngajak siapa aja ke rumah." Tegasku. Rendra hanya mengusap kepalaku dengan sayang. "Iya udah sekarang kita turun,  aku juga mau numpang minum bentar." Ujarnya cengengesan. Aku memanyunkan bibirku. "Modus." Sanggahku. Ia terkekeh. "Yang nawarin mampir siapa?" Tanyanya. Aku diam tak menjawab ucapannya, tanganku mulai membuka pintu mobil hal yang sama juga Rendra lakukan.     "Assamulaikum." Ucap Rendra, sementara aku hanya diam berjalan lebih dulu mataku bertemu dengan mata wanita yang mengajak aku berdebat tadi siang.     "Waalaikumussalam." Jawabnya. Rendra yang berniat mampir sepertinya mengurung niatnya. "Mungkin lain kali aku mampir Yang." Ujar Rendra saat kami sudah sejajar. "Tante saya pulang dulu ya, maaf saya bawa Vina pulang telat."           Mama Nova bangun dari duduknya sementara Rendra sudah keluar dari pintu. "Apa begitu cara laki-laki meminta maaf? Yang mengantarkan anak gadis orang pulang terlambat?" Tanyanya saat dia sudah di depanku. Aku tak menyambut, berkata ataupun meninpali ucapan itu. Aku melangkah menuju tangga. "Mama nggak mau kamu pergi lagi sama dia, apalagi cuman berdua." Ujarnya. Aku berhenti melangkah setelah mendapaykan beberapa anak tangga yang berhasil aku naiki. "Mama nggak punya hak buat larang aku." Jawabku tegas. "Mama punya hak Vina." Jawabnya. "Mama ini mama kamu." Kembali ia berucap. Aku tersenyum meremehkan. Aku menuruni anak tangga yang sudah aku naiki, berjalan mendekatinya. "Ya! Mama memang mamaku." Ujarku menekankan setiap kata yang terlontar dari mulutku. "Tapi mama jangan lupa, kalau kau hanya mama tiri, jika perlu ku ingatkan bahwa dalam tubuhku tak ada setetes darahmu yang mengalir." Ujarku, aku dengan berani menatap manik mata itu. "Jadi jangan pernah larang aku melakukan apa yang aku suka karena aku tak suka di atur jika kau mau tau. Ratu Nova Putri Anggraini." Ucapku. Setelah ucapan itu aku melangkah kembali menaiki anak tangga. Tak ada suara lagi yang ku dengar setelah perdebatan itu. *****      Suara adzan menggema di penjuru kamarku, bahkan ketukan pintu juga mulai terdengar entah sejak kapan "Vina." Suara panggilan dari balik pintu. "Vina." Kembali suara itu terdengar. Aku menarik kembali selimut dan menutup telinga dengan bantal guling.  "Vina bangun sholat isya dulu." Aku tau siapa pemilik suara itu. Aku tak menjawab sedikitpun. Suara pintu terbuka, aku tebak pasti papa yang kasih kunci cadangan kamarku. Dia menarik selimut yang aku pakai, menyingkirkan bantal guling yang menutup telinga. "Vina bangun sholat baru makan." Perintahnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. "Anak gadis nggak baik tidur jam segini, kamu tadi pasti nggak sholat magrib kan?" Tanyanya. "Ayo bangun papamu udah nunggu di bawah." Dia menarik tubuhku ke kamar mandi dan meninggalkan aku sendiri. Aku mengumpat kesal setengah mati, belum pernah aku di atur oleh siapapun dan dia! Wanita yang baru seminggu berstatus jadi mama tiri sudah berani mengurus dan melaeang aku ini itu.        Setelah mempersihkan diri aku tak keluar kamar. Lebih memilih ber chat ria dengan para teman-temanku yang di beri nama power Six di grup hijau. Rendra juga ada di dalamnya. Neni: Gue denger mama baru lo cantik Vin? Lola: Pengen liat jadinya (pasang emoji cengir). Neni: Galak nggak? Bagas: Kalo galak serahin ke kita ( emoji kepalan tangan). Rendra: Alim. Restu:  Nggak bisa ciuman dong kalo dah taubat (emoji  tertawa mengejek). Lola: Serius? Bagas: Kayaknya lo harus taubat Vin! ( emoji ketawa jahat). Rendra: Nggak bakalan bisa kalau masih temenan ma kita. Neni: Yahhhh, kalo lo insaf,  nggak bisa clabing dong? ( emoji sedih). Bagas: Wow, Vina mana sih? Vina: Gie nyimak. Bagas: Gimana? Lo jadu insaf?  Vina: Ogahhhh Lola: Hhhhhh Neni: Kalo lo insaf kiamat sudah dekat (ketawa jahat). Bagas: Lho insaf jangan ngajak-ngajak ya! Vina: Sialan lo pada. Restu: @Rendra bantyin ceweek lho Ndra (emoji tertawa) Rendra: @Vina Imuetz jangan khawatir sayang ada aku (emoji love) Bagas: Lho bakalan apes kalo beneran Vina insaf (emoji tertawa) Lola: Bakalan pensiun ciuman. Restu: Hhhhhh      Dan beberapa chat beruntun lainnya yang menertawakan nasibku. Sialnya aku tak berpikir dari awal kalau wanita yang papa nikahi akan berani mengaturku.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD