Gosip Baru Di Kampus

1035 Words
“Lagian lo gak usah sok gak tertarik sama Pak Willi. Jelas semua cewek bisa segila itu sama Pak Willi. Gue yakin, lo cuma ngincer mobil mahalnya, ‘kan? Ayolah, lo ga usah munafik,” cibir yang lainnya. “Baiknya tanya Pak Willi langsung. Kenapa gue ada di mobilnya tadi pagi,” ucap Elvina kemudian. Sungguh, ia tak ingin memperpanjang perdebatan. Namun, perkataannya itu malah membuat Natalia semakin menjadi. “Oh ... artinya, emang benar lo sama Pak Willi tadi pagi? Trus maksud lo apa, mau jadi pacar Kakak gue, hah?” Natalia sangat marah dan teman-temannya terus mengompori. Orang-orang sudah berkerumun untuk menyaksikan yang terjadi. Suasana ricuh dan tiba-tiba seseorang membelah kerumunan, menatap orang-orang yang sedang meributkan sesuatu. “Ada masalah apa? Apa kalian tidak punya tempat lain selain di dalam kampus?” Suara bariton William dan tatapan mematikan yang membuat semua orang diam. Aura ketegasan, sorot mata dan suara yang menggema seperti terompet iblis membuat orang-orang menjauh karena merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. “Bagus Bapak datang. Kasih tahu mereka, kenapa Vina ada di mobil Bapak tadi. Vina permisi.” Elvina segera mencari kesempatan untuk pergi. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang meminta penjelasan, tak peduli juga apa yang akan William katakan sebagai alasan. William mengdengus sebal atas apa yang dilakukannya pagi ini, yang membuat siswa-siswinya bergurau. Ia menatap satu per satu dan mengeraskan rahangnya. “Apa saya harus melapor kepada kalian, bahwa saya menabrak gadis itu lalu saya mengantarkan dia ke sini? Saya hanya ingin bertanggungjawab atas apa yang terjadi padanya,” ungkap William bohong tapi mampu membuat semua orang diam tak berkutik sedikitpun. William lalu pergi dengan wajah kesal. Pantas saja Elvina tidak ingin William mengantarkannya sampai kampus. Meskipun begitu, tetap saja menjadi masalah untuk sebagian siswi yang merasa iri. “Ya lord ... sabar ... sabar .... ” Elvina mengusap dadanya sambil berjalan mengusuri lorong kampus. Hingga saat ini, Elvina tidak tertarik dengan siapapun. Ia tetap pada prinsipnya, tak ingin berhubungan dengan seorang pria sebagai kekasih. Ia tetap ingin mengejar cita-citanya untuk bekerja di perkantoran besar hingga ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak menyusahkan keluarganya. Tapi kalau sudah begini, Elvina harus bagaimana? *** “ELVINA AYUNINDYA?” panggil William membuyarkan lamunan Elvina. Sebuah buku besar mendarat kasar di meja Elvina hingga hanya suara buku terlempar saja yang menggema di kelas itu. “Iya, Pak?” sahut Elvina sedikit gugup karena teman-temannya mentertawakan dengan nada yang sangat pelan. William segera berpidato, “Kalau mau melamun, silakan di luar. Waktu saya sangat berharga dan kamu tidak menghargai waktu saya. Sa—” “Maaf.” Elvina segera menyela dan William langsung menghentikan pidatonya. Sudah kebiasaan William jika sedang menasehati siswanya akan memakan waktu yang lama, seperti halnya seorang komandan militer yang sedang merencanakan strategi peperangan kepada tentaranya. Elvina tidak suka itu, karena ujung-ujungnya ya tetap saja harus minta maaf. Jadi, Elvina akan meminta maaf sebelum mulut dosennya mengeluarkan asap dan api. Dan itulah sebabnya ia memanggil dengan sebutan ‘HULK’, karena William senang sekali membanting apapun yang menurutnya bisa membuat muridnya takut. Selesai dengan pelajaran William, semua mahasiswa keluar dari kelas termasuk Elvina dan Tania. Tania sudah gatal untuk menanyakan tentang Elvina yang diantar William ke kampus pagi ini, akan tetapi Elvina tak ingin membahasnya tanpa Melia. Jika ia memberitahu Tania, maka ia harus mengulangi kata-katanya kepada Melia. Jadi, ia akan menceritakan kepada keduanya daripada harus bicara dua kali. Mereka berjalan ke arah kantin kampus, menyusul Melia yang sudah ada di sana. “Mel, demi apa lo gak bilang kalo Pak Rafa itu kakaknya si Nata? Anjir banget dah.” Elvina menggebrak meja dengan kesal sebelum ikut duduk di samping Melia. Bukannya membahas tentang gosip yang menyebar pagi ini, Elvina malah langsung naik pitam saat melihat Melia. Sementara Melia malah cengengesan mendengar ocehan Elvina. “Sorry, sorry, gue lupa anjir, seriusan. Lagian, Pak Rafa gak satu rumah ama si Nata. Jadi ya woles aja,” jawab Melia santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. “Woles gigi lo! Kemarin gue ketemu si Nata di mall, eh dia kira gue pacarnya Pak Rafa,” tutur Elvina menceritakan keterkejutannya saat bertemu Natalia di mall kemarin sore. Elvina masih dengan wajah cemberut sedangkan Melia tersedak sampai hampir memuntahkan minuman Tania yang ia serobot. “Uhuk, uhuk.” “Mampus lo! Main embat aja minuman orang,” ejek Tania sedangkan Elvina menggeleng pelan. “Terus, terus? Duda keren itu bilang apa? Abis dah lo diinjek-injek ama si Nata,” tanya Tania prihatin. Wajahnya sengaja ia condongkan mendekati Elvina, terlihat sangat penasaran dengan jawaban Elvina. “Pak Rafa gak bilang apa-apa, gak bilang kalo gue cuma baby sitter-nya Clara. Trus ya si Nata kayak tadi gue bilang, dia ngira gue pacarnya Pak Rafa. Sampe tadi ketemu gue ngancem-ngancem segala,” ungkap Elvina bernada sebal. “Ngancem gimana?” Melia penasaran. “Ya katanya gue jangan manfaatin Pak Rafa lah, jangan nyakitin Pak Rafa lah. Taek lah pokoknya!“ Elvina memonyongkan bibirnya kesal. “Lah, bagus dong b**o! Jadi dia gak berani sama calon kakak iparnya. Hahaha,” ejek Melia yang disahuti tawa Tania membuat semua mahasiswa yang ada di kantin tersebut menatapnya. “Eh, lo tadi ada ribut apa? Gosipnya lo dianterin ke sini sama Pak Willi?” Tania meminta penjelasan dengan tatapan intimidasi, yang ditanya hanya manggut-manggut dengan pasrah karena percuma saja jika mengelak. “Hah? Serius lo? Jangan bilang .... “ Tania menggantung kata-katanya dengan tatapan curiga yang mendalam. “Kagak! Gue udah bilang berulang kali, kalo otak gue gini-gini masih waras. Gak mungkin gue tertarik sama Pak Willi.” Elvina tak terima temannya berpikiran yang tidak-tidak. “Trus, ngapain lo dianter Pak Willi ke sini?” serobot Melia tak sabaran. Kali ini Elvina bingung, ia pun tak tahu alasan apa yang William berikan kepada mahasiswa lain tadi. Khawatir alasannya akan berbeda, Elvina tak dapat menjawabnya dan pura-pura tidak mendengar. “Vin, gue disuruh Pak Willi. Katanya lo sekarang ke ruangannya,” ucap salah satu teman kelas Elvina menyampaikan pesan. Elvina sedang memijat keningnya saat itu, ia tidak ingin menjawab apapun dan pura-pura tak peduli. “b***k lo? Tuh, disuruh ke kamar lo sekarang juga.” Melia menyikut tangan Elvina. Ia sampai menyebut ruangan William adalah kamar Elvina, saking sering temannya itu ke sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD