Teman Baru

1010 Words
“Iya, Pak. Tapi maaf, saya gak bisa full time kerja karna harus kuliah,” tutur Elvina merasa tak enak. Ia harus jujur sendiri, khawatir Rafael belum mengetahui waktunya yang terbagi. “Saya sudah dengar itu dari Kakaknya Melia saat di telepon tadi. Sebenarnya, ada Bi Ambar yang menjadi baby sitter anak saya. Tapi Bi Ambar saja tidak cukup, karena anak saya sangat aktif dan membuat Bi Ambar kewalahan. Jadi nanti kamu bisa atur sendiri, kapan kamu bisa kerja. Kamu bisa gantian sama Bi Ambar,” kata Rafael panjang lebar. Mendengar itu Elvina senang bukan main. Akhirnya, ia mendapat pekerjaan yang bisa ia atur sendiri jam kerjanya. Ia tersenyum sumringah kepada Melia. Melia ikut senang dengan tersenyum menyemangatinya. Elvina memang ingin mencoba bekerja yang dilakukan di sebuah rumah, ia tak menyangka akan secepat ini menemukan pekerjaan yang ia mau. Membayangkan hari-hari yang akan datang, sepertinya akan menyenangkan jika bersama gadis kecil. “Iya, Pak. Terima kasih banyak,” ucap Elvina mengangguk dengan senyum manisnya yang mampu memabukkan siapapun. “Mulai besok, kamu sudah bisa bekerja. Tapi sekarang, saya mau kenalkan kamu sama anak saya.” Rafael meminta Elvina untuk ikut dengannya, sedangkan Melia menunggunya di ruang keluarga. Rafael berjalan menaiki anak tangga dan Elvina mengikutinya dari belakang. Matanya menyusuri setiap ruangan yang ia lewati menuju kamar putri semata wayang Rafael. “Sayang? Papa boleh masuk?” ucap Rafael yang sudah memegang gagang pintu untuk membukanya. Tidak mendapat jawaban, akhirnya Rafael membuka paksa. “Sayang, kok gak jawab? Papa bawa teman baru kamu.” Rafael menggendong putrinya dan mencium pipinya. Gadis kecil itu sedang asik dengan bonekanya. Gadis kecil itu bernama Clara, usianya baru 5 tahun. Ia masih sekolah TK yang sebentar lagi memasuki sekolah dasar. Wajahnya sangat cantik dengan pipi chubby, poni yang rata di keningnya membuat siapapun yang melihatnya gemas. Clara melihat Elvina di belakang tubuh ayahnya, ia lalu memiringkan kepalanya, berusaha melihat Elvina dengan jelas. “Mama? Mama aku?” tanyanya tersenyum kepada Rafael dengan wajah berbinar. Tentu saja, Clara mengira bahwa Elvina adalah ibunya atau kekasih ayahnya karena penampilan Elvina yang tidak seperti pengasuh lainnya. Clara selalu berharap seorang ibu yang tak pernah ia ketahui sosoknya. Ia tak pernah bertemu dengan ibunya sehingga wanita manapun yang dibawa Ayahnya, selalu dikira ibunya. Belum lagi Elvina sangat muda jika dibandingkan dengan pengasuh yang pernah bekerja di rumahnya. “Tidak, Sayang. Papa sudah berulang kali bilang, jangan pernah tanya soal Mama kamu.” Rafael tampak kesal dengan pertanyaan putrinya. “Kok mirip, ya?” gumam Elvina, menggaruk kepalanya yang memang gatal karena belum keramas. Elvina bingung sendiri karena gadis kecil itu sepintas mirip dengannya. Walaupun bukan pertama kalinya bertemu, tapi kali ini ia dapat melihat lebih jelas wajah gadis kecil itu. “Ini Tante Elvina, teman baru Kamu,” sambung Rafael memperkenalkan Elvina. Clara tampak kecewa jika Elvina bukan ibunya. Terlihat dari senyumnya yang kian menghilang dari wajah manisnya. Ia terus menatap Elvina dan memperhatikannya. Elvina merasa kikuk, tapi ia segera menyapa gadis kecil yang akan ia temani di hari-hari yang akan datang. “Sayang? Besok Tante yang jagain kamu.” Elvina membungkukkan badannya untuk membelai rambut Clara. Gadis kecil itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Kalo sekarang, gimana?” tanyanya memiringkan kepalanya yang dapat mengundang tangan siapapun untuk mencubit pipinya yang menggemaskan. “Sekarang sudah Sore. Tante Elvina harus pulang.” Rafael yang menjawabnya. “Tapi aku mau sekarang, Pah!” bentak Clara kepada sang ayah. Sepertinya Clara menyukai Elvina dan Rafael sudah mengetahui itu. Jika Clara merasakan hal biasa, ia tidak akan menjawab apapun saat ayahnya memperkenalkan pengasuh barunya. “Hm … sebenarnya bisa sih, Pak. Tapi Bapak minta saya mulai kerja besok?” sela Elvina tak tega melihat Clara yang ingin bersamanya. “Kamu yakin? Kamu ‘kan baru pulang kuliah.” Rafael merasa tak enak. “Gak apa-apa, Pak. Sekalian perkenalan sama—” tutur Elvina meyakinkan, tapi ia belum tahu nama gadis kecil itu. “Clara, namanya Clara.” Rafael memberitahu. “Baik, kalau begitu biar Melia pulang lebih dulu. Nanti kamu diantar sopir untuk pulang,” pungkas Rafael hendak melangkah pergi. “Tapi saya bawa mobil kok,” sahut Elvina menghentikan langkah Rafael. “Kalau begitu, biar mobil kamu dibawa Melia, kamu nanti diantar sopir.” Keputusan terakhir Rafael. Ia lalu pergi ke lantai satu tanpa menunggu jawaban Elvina. Rafael menemui Melia dan memintanya untuk pulang lebih dulu membawa mobil Elvina. Sedangkan di lantai atas, Elvina langsung berbincang dengan gadis kecil yang masih memandanginya sejak tadi. “Tante bukan Mama aku?” tanya Clara alibi. Bagaimana gadis kecil itu tetap mempertanyakan ‘mama’ sejak Elvina datang bahkan saat pertama kali bertemu di sebuah supermarket? “Bukan, Sayang. Tante teman baru kamu,” jawab Elvina lemah lembut. Elvina sedikit bingung karena tidak ada siapapun yang menemani Clara. Di mana pengasuh lainnya yang dikatakan Rafael tadi? Ia hanya melihat Clara sedang bermain dengan boneka Barbie-nya seorang diri. “Tapi, Tante mau ‘kan jadi Mama aku? Bohong juga nggak apa-apa Tante,” tanya Clara membuat Elvina terkejut atas permintaan gadis kecil itu. Untuk apa ia memintanya untuk berpura-pura menjadi Ibunya? Lalu, di mana ibu Clara? “Tante jawab! Aku mau Tante anterin aku sekolah, biar aku bisa bilang kalo Mama aku yang anterin aku sekolah,” pinta Clara dengan nada cadelnya, menarik-narik tangan Elvina, memohon. “Tapi Tante gak janji, ya? Soalnya Tante takut kesiangan anter kamu sekolah.” Elvina merasa tidak enak, tapi itu benar adanya. Ia takut kesiangan datang ke rumah Rafael jika ada kuliah pagi. Yang benar saja! Dirinya bahkan sering telat datang ke kampusnya jika kuliah pagi, malah gadis kecil ini menuntutnya untuk mengantarkannya ke sekolah yang artinya Elvina harus bangun lebih pagi lagi. Clara menunjuk kasur dengan ibu jarinya sambil berkata, “Tante tidur di sana sama aku.” Elvina menggelengkan kepalanya sambil tertawa melihat tingkah lucu Clara. Bagaimana bisa ia tidur di kasur Clara yang berukuran pas untuk badan mungilnya? “Itu gak muat, Sayang. Kamu mau Tante tidur di lantai?” jawab Elvina sembari menyubit pipi chubby Clara. Gadis kecil itupun ikut tertawa, menyadari kasurnya yang kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD