Hukuman

1025 Words
Tak perlu diragukan lagi, berbagai u*****n demi u*****n keluar dari mulut siswa-siswi lainnya terhadap Elvina. Pasalnya, yang tidak bersalah pun ikut mendengar suara yang aduhai sang dosen yang mampu membuat semua siswa-siswi malah mengantuk dan jam belajar juga ikut diperpanjangan mengimbangi waktu ceramah sang dosen. Seperti biasanya, Elvina akan memasang wajah tanpa merasa bersalah seolah tak terjadi apapun yang membuat teman satu kelas itu ingin mencaci makinya. Selesai mengerjakan tugas yang diberikan William, jam pelajaran pun usai. Melia sudah menunggu Elvina dan Tania di depan kelas, tetapi Elvina tidak bisa langsung ikut kedua temannya karena harus menghadap William di ruangannya. Akhirnya, kedua temannya memutuskan untuk menunggu Elvina yang akan berhadapan dengan ajalnya. Elvina memasuki ruangan William setelah dosennya itu memberi izin untuk masuk. Kali ini, Elvina melihat wajah William sangat kusut, menandakan pria itu benar-benar sedang kesal. “Kerjakan ini semua. Saya tidak mau tahu kamu mendapat referensi dari mana, 4 hari kedepan tugasnya harus sudah selesai.” William melemparkan catatan berisi tugas ke atas mejanya yang tergelincir ke sudut meja, tepat di depan Elvina. Elvina meraih catatan itu dan membukanya, mendadak kepalanya pusing mengetahui tugas yang amat membuat Elvina ingin pingsan saat itu juga. Sialnya, ia tak pingsan juga. “Pak ayolah. Bapak ‘kan ganteng juga baik. Jangan gini lah, gak asik tau,” rengek Elvina tak henti meremas tangannya yang saling bersahutan. Sebenarnya ia ingin meremas wajah William, tapi ia terus menenangkan dirinya. “Saya ganteng? Baik?” William mengangkat satu alisnya, menatap Elvina dengan lekat, memastikan pendengaran baik-baik saja. “Kadang-kadang,” jawab Elvina pelan. William mendengus kesal, menipiskan bibirnya lalu berkata, “Besok harus sudah selesai.” Kemudian, mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang ada digenggamannya. “Tapi Pak? Ya Allah .... ” Elvina panik. “Tidak ada tapi-tapian,” tangkas William tanpa menatap Elvina dengan wajah datarnya. Namun, ada senyum licik yang bersemayam di dalam hatinya mendengar kegetiran murid bobroknya itu. “Pak, dengerin dulu—” Elvina ingin berdiskusi sebagaimana sesama manusia, akan tetapi William menyela ucapannya. “Saya tidak mau dengar.” William acuh, tak berniat sedikitpun memaafkan murid kurang ajarnya itu. “Eh si Bapak. Denger dulu Pak, ini Vina kalo bergadang 2 malam juga belum tentu beres, Pak.” Elvina memelas, berharap dosennya itu dapat meringankan tugasnya. Jika 2 hari 2 malam saja tak dapat menyelesaikan tugas itu, bagaimana bisa dosennya itu memintanya untuk menyelesaikan dalam satu hari? Yang benar saja! “Sayangnya, saya tidak peduli.” William masa bodoh dengan nada sedatar mungkin. Setelah bersitegang cukup lama yang membuat Elvina lapar, akhirnya ia keluar dari ruangan William dengan wajah kusut. Jangan tanya kenapa, dosen yang lebih pantas disebut hakim itu memberikan hukuman karena Elvina melamun di kelas. “Sabar,” ucap Melia sambil mengusap punggung Elvina saat temannya itu mendekatinya. Sepertinya Melia mempunyai indera keenam, ia tahu pasti jika temannya itu mendapat hukuman. Selama William mengajar, tidak ada satu pun murid yang berani berbicara kecuali bertanya seputar pelajaran. Tidak ada yang berani berleha-leha, ongkang-ongkang, main ponsel, melamun apalagi tertidur. Akan sangat tidak sepadan dengan hukumannya nanti. Andai saja si dosen itu tidak membawa pengawal ke mana-mana, sepertinya ia sudah ada diliang kubur. Percayalah. “Gue heran aja, apa cuma gue yang masih waras di sini? Masa dosen kayak gitu diminati anjir cuih. Udah songong, belagu, semena-sema. Si Hulk harusnya dapat penghargaan, dosen terkejam dan termenyebalkan,” cerocos Elvina dengan napas terengah-engah karena nyerocos dengan sekali tarikan napas. “Iya, iya, cuma lo doang yang waras. Kami-kami ‘kan tergila-gila,” sindir Melia dengan nada malas. “Gue cuma aneh aja. Kenapa Pak Willi suka banget ngasi hukuman sama lo? Mana hukumannya itu … ehem …,” timpal Tania tak ingin melanjutkan kata-katanya. Semua orang sudah tahu jika Elvina adalah murid yang berbeda dari yang lain, lebih tepatnya jika masalah hukuman ataupun tugas yang pasti berbeda dengan murid lain. “Tapi lo yakin, gak ada sedikitpun rasa tertarik sama Pak Willi? Cewek yang super cupu dan autis aja kayak dia bisa tau cowok ganteng kayak Pak Willi. Apalagi mobil-mobil yang suka dipakenya bukan kaleng-kaleng loh.” Tania berbisik sambil mengarahkan pandangan ke arah wanita yang akan berpapasan. Wanita itu terkenal sangat cupu, tapi tak dapat dipungkiri ia juga sering mengejar William dan berteriak memanggil nama dosen killer seperti mahasiswi lainnya. Elvina menggeleng pelan, memasang wajah malas, menatap kedua temannya silih bergantian. “Ntar gue kalo pulang ke Bandung, gue mau ajak kalian berdua ketemu Kakak gue. Kakak gue gak jauh beda sama si Hulk. Sama-sama punya mobil milyaran, tampang jutek, judes, sombong, nyebelin, ngeselin persis Kakak gue. Malah Kakak gue tatapannya lebih serem cok. Kayak yang mau makan orang hidup-hidup.” Untuk yang pertama kalinya, Elvina sedikit menceritakan keluarganya dan itu benar. Itu juga sebabnya Elvina tak tertarik kepada William. Baginya, tidak ada yang harus ia istimewakan dari dosennya itu. Keistimewaan dan ketampanannya lenyap, tertutup dengan kesombongan serta tindakan semena-menanya yang malah membuat Elvina membencinya. Melia dan Tania menghentikan langkahnya. Rasa-rasanya mereka salah mendengar tapi Elvina terus berjalan, tak tahu kedua temannya yang terdiam tak percaya, hingga ia menyadari sendiri bahwa mereka tak ada di sampingnya. Elvina membalikkan badannya dan benar saja, kedua temannya malah saling tatap satu sama lain. Tentu saja, selama ini Elvina hidup pas-pasan, tinggal di kostan kumuh dan hari ini ia mengatakan bahwa kakaknya tak jauh berbeda dengan William. Lelucon macam apa yang Elvina bual? Keduanya tak ada yang percaya. “Kalian ngapa sue? Gue jalan sendiri k*****t!” bentak Elvina kembali ke tempat dimana kedua temannya masih mematung. “Demi apa? Kakak lo orang kaya dong? Punya mobil Lamborghini? BMW? Porsche dan yang lainnya kayak Pak Willi?” tanya Melia bertubi-tubi dan membelalakkan matanya tak percaya. Elvina manggut-manggut atas pertanyaannya. Melia kemudian mendorong tubuh Elvina kesal. “Halu lo anjir parah!” sewot Tania tak percaya, menggelengkan kepalanya. “Lah, halu? Hari Minggu kita ke sana kalo gak percaya. Abis itu panggil gue princess halu!” ketus Elvina. Namun, ia memang ingin membuktikannya agar tak menjadi ejekan teman-temannya. Mereka melihat mimik Elvina berkata serius sehingga keduanya berusaha untuk percaya. “Trus ngapain lo mau kerja? Mana jadi pengasuh anak kecil lagi!” tanya Melia bingung seraya melangkahkan kakinya mengikuti Elvina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD