Jadi Mama Dadakan 2

1043 Words
“Hari ini, saya ikut antar ke sekolah Clara. Mobil kamu masih sama Melia, ‘kan?” tanya Rafael yang diangguki Elvina. Rafael memasuki mobilnya di kursi pengemudi, diikuti Elvina yang memasuki kursi penumpang di samping kursi pengemudi. Rafael terbiasa mengendarai mobilnya tanpa seorang sopir. Tetapi tak dapat dipungkiri, ia juga sering meminta sopirnya untuk mengemudi jika ia sedang malas mengemudi atau jika dirinya akan menghadiri acara penting. Saat itu, Clara terlihat riang dan bersemangat pagi ini, terlebih Rafael ikut mengantarnya. Tapi entah mengapa, Elvina malah merasa miris melihatnya. Elvina mengingat masa kecilnya yang tak jauh berbeda. Tidak, sangat berbeda karena Rafael yang menjadi ayahnya, sangat mencintai Clara dan selalu ada di sisinya. Sedangkan Elvina, tidak pernah mendapat perhatian dari ayahnya. Bukan tak sayang, tapi ayahnya sangat sibuk hingga jarang sekali ada di rumah dan bertatap muka. Sampainya di sekolah Clara Dari kejauhan, sudah terlihat jelas banyak ibu-ibu yang juga mengantarkan anaknya sekolah sedang berkumpul. Clara berlari ke arah teman-temannya yang sedang berkumpul di depan sekolah. Sedangkan Rafael tetap berada di dalam mobil, memperhatikan Clara dan Elvina di balik jendela mobil yang tertutup. “Hey, lihat, ini Mama aku. Mama aku cantik, ‘kan?” seru Clara kepada teman-temannya dan seketika Elvina menjadi pusat perhatian dari para orangtua murid lainnya. Elvina bingung harus bersikap seperti apa, ia tak mungkin mengatakan bahwa ia hanya seorang pengasuh. Kejadian itu jauh dari ekspetasi Elvina. Ia tak pernah menyangka Clara akan heboh memperkenalkannya sebagai Ibunya. Lagipula, apa mereka akan percaya? “Oh … ini Mamanya Clara? Kok baru keliatan, ya? Biasanya sama pengasuhnya,” cibir salah satu wanita yang juga sedang mengantar anaknya sekolah. Elvina berhenti melangkah, menatap wanita yang sedang bergurau lalu memaksakan senyumnya yang canggung dan berkata, “Saya baru sempat antar Clara karna saya sibuk.” Elvina mencoba bersikap baik-baik saja, padahal hatinya kikuk harus berbuat apa. Tanpa menunggu wanita tadi atau yang lainnya bicara lagi, Elvina melanjutkan langkahnya mendekati Clara. “Sayang, Mama pergi dulu, ya? Kamu jangan nakal. Nanti dijemput Bi Ambar,” ucap Elvina lembut, lalu mencium pipi Clara. “Dah Mama.” Clara melambaikan tangannya sambil tersenyum, Elvina membalas senyuman dan melambaikan tangannya seolah ia benar-benar adalah ibunya. “Saya pesan taksi aja, Pak,” ucap Elvina saat menghampiri mobil Rafael. “Tidak perlu. Masuk saja.” Rafael mengangguk kecil, isyarat agar Elvina masuk ke dalam mobilnya. Berhubung Elvina si gadis tak tahu malu, ia kembali masuk ke dalam mobil Rafael. Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan apapun. Elvina hanya ikut sampai jalan raya dan dilanjutkan menggunakan ojek pangkalan. Elvina tak habis pikir, seorang anak kecil harus berbohong karena malu diejek teman-temannya karena tidak mempunyai ibu. Hatinya tak henti mendumal, mengapa ibu Clara tidak ingin mengantarkannya sekolah? Jika Rafael dan istrinya sudah bercerai, tidak bisakah mengantarkan Clara sekolah walau sesekali? Sungguh, hatinya merasa teriris melihat senyum Clara yang sudah jelas berpura-pura. Tak terasa matanya berkaca-kaca dan meneteskan air sedikit demi sedikit. Untung saja, ia menangis saat sudah sampai kampus dan tentu Rafael tidak mengetahui itu. “Mel, lo tau ibunya Clara siapa dan di mana? Kok bisa-bisanya gak mau anter Clara sekolah,” tanya Elvina setelah cukup lama berbincang dengan Melia dan Tania saat berada di kantin kampus. “Dia udah meninggal karna kecelakaan. Lo tau dari mana kalo ibunya Clara gak pernah antar Clara ke sekolah?” tanya Melia bingung, jelas saja orang yang sudah meninggal tidak bisa mengantarkan Clara sekolah. Elvina termenung mengetahui ibu Clara sudah meninggal. Ia pikir, Rafael dan ibu Clara hanya bercerai, sehingga ia menghakiminya karena tidak mau mengantarkan Clara ke sekolahnya. “Jelas, gue tadi anter Clara dulu ke sekolah baru ke sini. Untung gak kesiangan,” jawab Elvina jujur tapi ia tak memberi tahu Melia bahwa Clara memintanya untuk berpura-pura menjadi Ibunya. Akan seperti casting sinetron jika ia memberitahu kedua temannya. Tania si pemilik suara melengking nan aduhai, akan mendramatisir peran Elvina yang menjadi seorang ibu secara mendadak. Hanya membayangkannya saja, sudah membuat Elvina malas duluan. “Oh ya, gue belum cerita sama lo kalo muka lempeng lo itu mirip banget sama ibunya Clara,” ungkap Melia sembari menguncir rambut sebahunya. Elvina menyipitkan matanya, kemudian menatap Melia tak percaya. “Maksud lo?” tanyanya meminta penjelasan. Sepertinya ia harus periksa pendengarannya itu. “Iye … muka lo itu mirip banget ibunya Clara. Lo coba liat-liat foto yang dipajang di rumahnya Pak Rafa, mirip banget njir. Malah waktu gue pertama liat lo, gue pikir ibunya si Clara idup lagi. Eh, tapi tuaan ibunya Clara sih,” ungkap Melia dengan acuh. Elvina mengingat-ngingat kejadian minggu lalu saat bertemu Clara di supermarket. Dan ya, gadis kecil itu memanggilnya dengan sebutan ‘mama’ dan di pertemuan kedua pun, Clara masih menganggap dirinya adalah ibunya. “Pantes aja manggil gue Mama kalo emang mirip.” Tapi semirip itukah? Apakah ayahnya ada jejak perselingkuhan di masa lalunya? Monolog Elvina penuh kecurigaan. Otaknya yang kadang bekerja kadang tidak, mendadak ingin menjadi otak seorang detektif. Tetapi ternyata, Elvina malas memikirkan itu. Sedang asyik melamun, tangan Tania dengan kasar menyeret tangan Elvina saat jam pelajaran akan dibuka. Awalnya Elvina bersemangat, tetapi saat di tengah perjalanan di lorong koridor, ia mengingat pelajaran hari ini diisi dosen mulianya yaitu William. Baru mengingat namanya saja, wajah Elvina langsung muram penuh dosa. “Tolong rangkum halaman 110. Saat saya kembali, semua tugas harus sudah selesai dan tertata rapi di atas meja.” Perintah William setelah panjang lebar memberi penjelasan dan materi untuk murid-muridnya kerjakan. Tidak ada suara apapun selama ia mengisi kelas, kecuali suara kertas buku yang dibuka saling bersahutan hingga semua serentak untuk menjawab ‘BAIK PAK’. Merasa puas dengan kekompakan murid-muridnya, William hendak keluar dari kelas. Namun, langkahnya terhenti saat sesuatu menarik perhatian mata elangnya, yaitu seorang wanita yang sepertinya sedang melamun. Dengan langkah lebar penuh wibawa, William menghampiri muridnya yang sepertinya sudah bosan hidup itu. “Elvina Ayunindya?” panggil William yang suaranya menggema di dalam kelas. Elvina memejamkan matanya setelah hampir meloncat dari bangku saking kagetnya. Ia sangat kenal dengan suara itu, suara orang yang paling menjengkelkan di kampusnya. “I—iya Pak?” Elvina mulai gugup melihat tatapan dosennya yang menghunus ke arahnya. “Saya tunggu di ruangan setelah pelajaran selesai,” ucap William kemudian setelah cukup membuat semua murid-muridnya pusing mendengar pidato yang amat sangat menggema di kelas tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD