Primadona Kampus

1049 Words
Elvina baru saja keluar dari ruangan William setelah sebelumnya menyerahkan tugas yang sudah ia kerjakan. Ia lalu melihat sekumpulan wanita yang sangat angkuh dan berkuasa di kampus itu. Natalia, seorang primadona sebelum kedatangan Elvina. Ia adalah ketua dari geng wanita-wanita rese, sering mengganggu mahasiswi lain seperti mengejek, menghina, merendahkan bahkan tak ayal mereka dikenal geng rasis karena tak segan menggunakan kekerasan fisik. Siapa Natalia? Menurut kabarnya, ayah Natalia adalah orang dibalik Rektor di universitas tersebut, tapi tentu Elvina masa bodoh dengan semua itu. Saat itu, Natalia dan teman-temannya sedang berjalan ke arahnya. Elvina mencoba untuk tidak memperdulikan mereka, sampai salah satu dari mereka sedikit menabraknya ketika berpapasan. Wanita yang menabrak Elvina secara sengaja langsung berkacak pinggang dengan melotot sambil berkata, “Kalo jalan liat-liat dong! Lo gak buta, 'kan?” Wanita itu mencaci dengan nada penuh angkuh. “Perasaan lo deh yang nabrak gue,” sindir Elvina dengan tenangnya sambil melipat tangan di d**a. Elvina tidak takut dengan siapapun, apalagi dengan orang-orang yang ingin membuatnya bertekuk lutut. Mendengar Elvina mengatakan itu tanpa sungkan, membuat sekumpulan wanita yang persis macan-macan kelaparan itu mempersiapkan diri untuk memberi pelajaran kepada Elvina. “Lo mulai berani sama gue?” tukas wanita tadi yang menabraknya. Sedangkan teman-temannya yang berjumlah 7 orang yang berada di belakangnya, hanya diam dengan tatapan sinis seolah menunggu sebuah perintah untuk melakukan sesuatu terhadap Elvina. “Sama-sama makan nasi, ngapain gue takut?” jawab Elvina yang lagi-lagi dengan nada tenang menatap satu per satu wanita yang berada di hadapannya. Sejujurnya, ada rasa takut di dalam hatinya, tetapi ia mencoba tetap tenang. 1 lawan 8? Yang benar saja! Bahkan 1 preman pasar saja bisa babak belur jika melawan 8 wanita yang sangat bringas seperti mereka. “Udah, udah, lo ngapain ke ruangan Pak Willi? Jangan-jangan lo cari muka sama Pak Willi gue! Satu lagi, lo gak usah kecantikan kayak gitu, bisa?” Kini Natalia yang memajukan badannya untuk menghadap Elvina dengan wajah sombongnya. “Siapa yang kecan—” Elvina sudah menarik napas untuk bicara, tetapi Melia yang baru saja datang langsung menarik tangannya untuk menjauh dari Natalia. Elvina hanya bingung, mengapa hampir semua mahasiswa menakutinya? Apanya yang harus ditakuti dari seorang Natalia? Wanita itu hanya berani menindas sesama wanita. Namun, jika sudah berhadapan dengan geng pria yang sama-sama berkuasa di sana, Natalia dan teman-temannya tak pernah berkutik. Melia terus menarik tangan Elvina meski Elvina sudah meminta melepaskan tangannya karena ia pun sudah berada sangat jauh dari Natalia. Namun, Melia khawatir Natalia akan mengikutinya hingga ia terus membawa Elvina menuju koridor, arah ke luar gedung kampus. “Lo apa-apaan sih, hah? Udah deh, gak usah cari masalah.” Melia tampak gemas kepada Elvina yang terlihat santai. Bagaimana temannya itu bisa membahayakan dirinya sendiri, ingin berhadapan dengan Natalia dan teman-temannya. “Masalahnya yang cari gue! Bukan gue yang cari masalah! Gue lagi pengen baku hantam sama tu orang, malah lo bawa ke sini!” ketus Elvina dengan kesalnya. Ia ingin sekali memberi pelajaran kepada para wanita tidak jelas itu, ia tidak ingin diperlakukan seperti yang lainnya. Tanpa melawan Natalia dan teman-temannya, sebenarnya Elvina sudah berbeda dengan mahasiswi lain bahkan mahasiswa dengan kegiatannya yang sering berurusan dengan dosennya sendiri, William. “Udah deh, lo anteng aja gak usah digubris. Lo mau ke cafe dulu gak? Ryan udah nunggu di sana,” ajak Melia yang akan menemui tunangannya, Ryan. Ya, walaupun penampilannya urakan tapi Melia sudah mempunyai tunangan dan penampilan tunangannya pun tak beda jauh seperti preman pasar. “Gak deh. Gue mau ke supermarket. Besok 'kan gue jadi babu, kampretnya udah segala abis. Makanya mau ke supermarket dulu sebelum pulang.” Elvina menjawab dengan malas. Bagaimana ia mau menjadi makhluk tak kasat mata saat dua sejoli akan bertemu? Yang pastinya, ia akan diasingkan bagai anak tiri. Dengan langkah malas Elvina berjalan keluar dari gedung kampus menuju parkiran untuk membawa mobil matic-nya. Sementara Melia, berjalan kaki ke arah cafe yang berada di sebrang kampus untuk menemui tunangannya di sana. “Vin?” panggil seorang pria dari kejauhan yang berhasil membuat Elvina menghentikan langkahnya dan memutar badannya untuk mengetahui siapa yang memanggilnya. “Mau pulang?” tanya pria itu setelah mendekat dan Elvina hanya menganggukkan kepalanya satu kali dengan malas. Pria itu bernama Aditya, salah satu deretan pria populer di kampus. “Santai dulu lah. Ikut gabung, yuk?” ajak Aditya lalu mengarahkan pandangan ke arah teman-temannya yang tak jauh dari sana. Teman-temannya menoleh ke arah Elvina, tampak mereka berbisik ria seolah sedang membicarakan Elvina. “Gue sibuk, Kak,” jawab Elvina tak enak, tetapi ia juga malas jika bergabung dengan mereka, sekumpulan pria yang suka mengganggunya. “Ck! Sok sibuk lo!” ketus Aditya lalu mendengus sebal, tak lupa dengan matanya yang mendelik kesal. “Seriusan. Gue mau nyuci baju, nyuci piring, sapu-sapu, ngepel, jemur bantal ama gulingnya. Wah, masih banyak lagi pokoknya. Kecuali lo mau bantu gue jemur kasur, gak keangkat soalnya,” jawab Elvina panjang lebar, mengabsen agendanya hari ini tanpa sungkan. Dirinya memang senang membuat pria-pria yang mendekatinya merasa ilfeel. “Apa nih ribut-ribut?” sahut pria lain bernama Bram. Bram dan Aditya adalah saudara sepupu. Mereka mengambil studi yang sama tapi berbeda dengan Elvina. Mereka juga satu angkatan sejak S1 dan sekarang mereka melanjutkan S2 di kampus yang sama. “Kak Bram? Sumpah gue males diamuk mulu bebeb lo dan gue gak bakal bosen saranin lo buat gak deket-deket gue!” pesan Elvina penuh penegasan. Rasanya ia sudah muak oleh tingkah laku kekasih Bram yang kebetulan teman Natalia si gadis angkuh. Mereka sering kali mengganggap Elvina gadis yang senang mencari perhatian kepada para pria. Padahal, sudah jelas mereka yang kurang pekerjaan dan memilih menganggu Elvina. “Gue cuma sapa, gak usah sok!” jawab Bram dengan ketus tak terima, lalu memutar bola matanya kearah lain. “Sapa juga gak usah. Masalahnya, bebeb lo 'kan cemburu tingkat tinggi. Dah lah gue cabut, bye Kak Bram, Kak Adit.” Elvina tak ingin melanjutkan perbincangan dan memilih masuk ke dalam mobil matic-nya yang berwarna putih. Sampainya di supermarket, Elvina langsung berkeliling dan mengambil beberapa produk dari etalasenya untuk ia simpan di keranjang belanjaan. Beberapa kali ia mendapati seorang anak kecil yang mengikutinya, lalu menghilang, lalu ada lagi di belakangnya. Elvina penasaran, ia lalu mendekati anak kecil itu yang terlihat sangat cantik juga menggemaskan dengan pakaian dress berwarna kuning pias.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD