Chapter 3

1396 Words
"Bukan cuma cewek aja yang bisa bocor, ternyata mulut situ juga."   Brukk!   Qilla membanting tas ransel miliknya dan Syasa ke dalam mobil Adit. Hari ini hari minggu dan sesuai rencana kemarin, Qilla dan Syasa akan pergi jalan-jalan, tapi entah kenapa Adit juga ingin ikut. Jadi Syasa dengan baik hatinya menjadikan Adit sebagai supir. Qilla tidak masalah dengan itu dan tentang larangan Dewa untuk tidak berdekatan dengan Adit, Qilla tidak terlalu ambil pusing, toh Dewa juga tidak ada di sini dan pria itu tidak akan mengetahuinya. "Udah siap?" tanya Adit. Qilla mengangguk dan menepuk-nepuk tangannya pelan setelah selesai meletakkan barang-barang yang akan mereka bawa ke pantai nanti. "Berapa jam sampe pantai?" tanya Syasa. "Sekitar 2 jam," jawab Adit sambil menutup bagasi mobil. "Yah, kok lama sih. Capek di jalan nanti. Adit melirik Syasa kesal, "Capek apanya? Orang gue yang nyetir." "Iya Sya.. udah mobil gratis, bensin gratis. Jangan banyak protes kalo nggak mau Adit nurunin lo di jalan." Qilla pun masuk ke dalam mobil tepat di samping kemudi. Disusul Adit dan Syasa yang duduk di belakang sendiri. "Nanti kalian di pantai jangan pacaran ya, awas aja!" Tunjuk Syasa pada Qilla dan Adit bergantian. "Makanya lo cari pacar!" Ledek Qilla. "Emang kita udah pacaran Qil?" Pertanyaan Adit membuat Qilla terdiam. Bener juga, emang mereka udah pacaran? Qilla menoleh ke arah Adit sambil meringis, "Belum Dit, sorry ya digantungin." "Nggak papa, tapi jangan lama-lama," ucap Adit pelan. Sedetik kemudian Qilla merasakan kepalanya terhempas ke depan karena Syasa yang mendorong kepalanya, “Denger tuh! Jangan lama-lama." "Diem lo monyet!" Adit mulai menjalankan mobilnya. Tangan Syasa bergerak untuk memutar musik agar tidak terjadi keheningan selama perjalanan. "Yang romantis Sya." Minta Adit. Syasa mendelik tidak suka, "Ogah ya, situ mesra-mesraan nanti. Jangan nyiksa jones napa?"   ***   Dewa memasuki kafenya yang terlihat ramai hari ini. Akhir pekan memang merupakan hari yang sibuk untuk kafenya karena memang banyak anak muda yang datang entah hanya sekedar makan atau bermain bersama teman-teman. "Gimana hari ini?" tanya Dewa pada Leni, karyawan yang bekerja di balik kasir. "Rame bos kayak biasanya. Oh ya, tadi Mas Dewa dicariin sama Mas Ferdi." "Di mana dia sekarang?" "Lagi di dapur Mas, mau aku panggilin?" Dewa menggeleng dan berjalan masuk ke area dapur. Di sana terlihat Ferdi sedang membuat adonan kue untuk para pelanggan. "Fer?" Panggil Dewa membuat gerakan tangan Ferdi terhenti. "Mas Dewa udah dateng." Ferdi pun membersihkan tangannya sebelum menghampiri Dewa dengan lembaran kertas di tangannya. "Ini daftar para pemasok Mas, tapi ada sedikit masalah sama makanan laut," ucap Ferdi. Dewa menerima kertas itu dan melihat-lihat semua nama yang ada di sana. "Sedikit masalah sama harga, kalau Mas Dewa mau ketemu orangnya bisa kok, sekalian liat ikannya pada seger apa nggak." "Jauh tapi ini," gumam Dewa setelah melihat alamat yang ada di kertas. "Namanya juga nelayan Mas, ya hidupnya di pinggir pantai." "Ya udah, sekarang kamu hubungi dia kalau saya mau ketemu. Saya berangkat sekarang." "Iya Mas, hati-hati." Setelah itu Dewa pun berlalu untuk bersiap. Dia akan pulang ke rumah terlebih dahulu untuk mengganti motornya dengan mobil. Tidak mungkin jika dia menempuh perjalanan jauh dengan menggunakan motor mengingat hari ini cuaca terasa begitu panas.   ***   "Jangan keras-keras napa Dit?" ringis Qilla sambil mengelus pahanya yang terasa panas karena tendangan bola dari Adit. Adit dengan segera berlari ke arah Qilla dan meminta maaf, "Sorry Qil, namanya juga calon pemain timnas." "Timnas apaan? Timnas bola bekel? Udah lah, dari pada kalian pacaran terus, mending lo fotoin gue sama Qilla, Dit." Syasa memberikan kamera yang dibawanya tadi ke pada Adit. Adit mendengus dan menerima kamera itu, "Tau gini kita jalan berdua tadi Qill," gumam Adit sambil berjalan menjauh untuk mulai mengambil gambar Qilla dan Syasa yang sudah tersenyum sedari tadi. Sudah banyak gambar yang diambil oleh Adit. Meskipun kesal, pria itu juga tetap tersenyum melihat kekonyolan dua sahabat itu.   Cocok ya, kalo sama-sama gesrek begini.   "Karena hasilnya bagus, sekarang gantian gue yang fotoin kalian berdua. Baik ‘kan gue," ucap Syasa sambil melihat-lihat foto yang telah diambil oleh Adit. "Emang terbaik lo Sya." Adit pun menarik Qilla untuk berdiri di sampingnya. Belum sempat Qilla protes, Adit sudah melingkarkan lengannya di bahu Qilla. Qilla bingung harus melakukan apa, bukannya gimana, tapi entah kenapa dia malah teringat dengan janjinya pada Dewa.   "Ya udah, sampai seterusnya nggak usah foto bareng."   Kata-kata itu kembali terngiang di kepala Qilla. "Senyum dong Qil," ucap Adit membuyarkan lamunannya. Dengan segera Qilla tersenyum, masa bodoh dengan Dewa. Selama pria itu tidak tahu, Qilla akan tetap aman. Biarkan foto ini dia simpan dengan rapi nanti. "Kaku banget sih Qil, senyum dong!" Teriakan Syasa membuat Qilla merilekskan badannya dan tersenyum ke arah kamera. Setelah beberapa gambar telah diambil, akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk kembali ke tempat duduk yang telah mereka sewa. Ketika berjalan, tangan Adit tak pernah lepas dari tangan Qilla. Gadis itu pun terlihat tidak masalah dengan itu. Mereka berbincang-bincang sampai akhirnya terdengar pekikan Syasa yang membuat Qilla segera melepaskan genggaman tangan Adit pada tangannya. "Om Dewa?!" pekik Syasa terkejut mendapati Dewa yang duduk dengan santai di tempat yang telah mereka sewa. Pria itu memang terlihat santai, tapi Qilla tahu kalau Dewa sedang menatapnya tajam saat ini. "Om Dewa ngapain di sini?" tanya Syasa sambil meletakkan kameranya di atas tempat duduk. "Ada urusan kerjaan tadi. Kalian di sini ngapain?" tanya Dewa sambil menatap Qilla yang masih terdiam. "Liburan lah Om! Itu tuh Qilla sama Adit malah pacaran." Qilla memejamkan matanya begitu mendengar ucapan Syasa. Segala jenis u*****n telah dia ucapkan dalam hati untuk Syasa. "Pacaran?" tanya Dewa sambil melirik ke arah Adit dan Qilla bergantian. "Nggak kok, nggak pacaran. Jangan ngawur kamu Sya!" Qilla melotot ke arah Syasa, tapi sepertinya sahabatnya itu masih belum sadar dengan apa yang terjadi. "Udah dapet berapa foto tadi?" tanya Dewa dengan nada yang membuat Qilla menciut. Dia tahu jika Dewa sedang menyindirnya sekarang. "Banyak Om, tapi banyakan foto Aku sama Qilla sih." "Ya udah kalau gitu kalian lanjutin, aku mau pulang dulu." Dewa pun bangkit berdiri dan meninggalkan mereka bertiga. Setelah Dewa benar-benar pergi, Qilla pun memukul kepala Syasa keras. "Apaan sih!" teriak Syasa kesal. "Mati gue Sya! Beneran mati gue!"  rutuk Qilla sambil ikut duduk di sebelah Syasa. "Kenapa sih Qill?" tanya Adit bingung. "Kalo Om Dewa ngomong ke ayah gimana?" Qilla berucap dengan menggigit kuku-kukunya. "Lah bener juga, mati lo Qil! Beneran mati lo!" Syasa berucap setelah sadar dengan apa yang terjadi. "Ini kenapa sih?!" tanya Adit bingung. "Dit kayanya lo harus siap-siap deh mulai dari sekarang." Ucapan Syasa membuat Qilla memukul bahu sahabatnya itu. "Jangan gitu! Jangan nakut-nakutin gue." "Ini kenapa?! Nggak ada yang mau cerita sama gue?" teriak Adit kesal. "Diem lo ah!" ucap Syasa dan Qilla bersamaan.   ***   "Udah berhenti di sini aja," ucap Qilla ketika menyadari jika mobil Adit akan masuk ke dalam perumahannya. "Kenapa? Udah malem ini, kamu nggak capek apa jalan ke dalem." Qilla menggeleng dengan cepat, "Nggak usah Dit, beneran deh. Daripada kita nggak bisa jalan lagi nanti, cari aman aja." Adit menghela nafas kasar dan mulai menepikan mobilnya, "Kenapa sih Qill?" "Apanya?" tanya Qilla bodoh. "Kenapa kita mesti ngumpet-ngumpet kayak gini?" tanya Adit sedikit kesal. "Ayah aku galak Dit, kamu tau sendiri aku belum boleh pacaran." Adit terdiam dan masih menatap ke depan dengan lurus. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan sekarang. "Dit?" Panggil Qilla pelan. Dia tahu kalau Adit sedang marah, "Jangan marah." Lanjut Qilla lagi dengan nada yang sedikit merengek. "Ya udah, kamu pulang sana. Jangan tidur malem-malem." Adit tersenyum dan mengacak poni Qilla pelan. "Tapi jangan marah ya?" tanya Qilla sekali lagi. "Nggak, maaf kalo aku tadi marah." Qilla tersenyum dan mengambil tas ranselnya dari kursi belakang. Sebelum pergi, Qilla menyempatkan diri untuk mengetuk jendela mobil Adit. "Ada apa?" tanya Adit. "Makasih ya, sampai ketemu di kampus." Qilla tersenyum dan berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya ke arah Adit. Dalam perjalanan, mulut Qilla tak henti-hentinya membaca doa untuk keselamatannya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Qilla hanya bisa berdoa agar Dewa tidak mengatakan semuanya pada ayahnya tentang Adit.   Kalo iya bisa mati gue!   Qilla membuka pagar rumahnya pelan, langkahnya juga memelan begitu telah sampai di pekarangan rumah. Entah kenapa dia menjadi malas pulang, apalagi setelah mendengar suara tawa ayahnya dari dalam rumah. Setelah melepas sepatu, Qilla mulai membuka pintu rumah dengan ragu. Sedetik kemudian suara tawa yang didengarnya tadi mendadak hilang dan tergantikan dengan suasana yang hening. "Dari mana?" Suara tegas dari ayahnya membuat kaki Qilla melemas.   Mampus lo Qil! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD