Chapter 2

1909 Words
“Kamu itu kayak gincu yang aku butuhin setiap saat."   "Pa ayo bangun Pa! Kita harus ke rumah sakit." Dewa menangis dan berteriak dengan keras berharap ada seseorang yang mau menolongnya. "Kamu sudah meninggal Dewa, pergilah! Mereka akan menemukan Papa dan kamu akan hilang selamanya," ucap Andra kembali terbatuk. "Apa maksud Papa!" Dewa terbangun dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah. Mimpi buruk itu kembali datang. Keringat yang bercucuran membuat pakaiannya basah dan benar saja, dia juga lupa untuk menyalakan AC kamarnya. Tangan Dewa meraih gelas yang ada di atas meja dan meminumnya. Pria itu duduk bersandar di kepala ranjang dan memijat keningnya yang terasa pening. Jika sudah seperti ini mau tidak mau dia harus meminum obat pusing dan Dewa sangat membenci itu. Menurutnya obat hanyalah untuk orang yang lemah dan sekarang dia masuk ke dalam golongan itu. Setelah selesai meminum obat, Dewa kembali ke kasur dan berbaring menatap langit-langit kamarnya. Otaknya kembali memikirkan mimpi itu. Mimpi yang berisikan memori lama yang sangat sulit untuk dilupakan dan lagi-lagi Dewa harus pasrah untuk terjaga lagi malam ini.   ***   Di pagi hari yang cerah itu, terlihat seorang gadis tengah kesulitan membuka pagar rumah tetangganya. Kedua tangannya terlihat kerepotan membawa mangkuk bakso dengan hati-hati agar tidak tumpah. Qilla mendengus begitu melihat gembok masih terpasang dengan rapat di pagar. "Kenapa masih digembok sih? Lagian dia nggak kerja apa?" gumam Qilla kesal. Tangannya sudah lelah untuk membawa mangkok bakso itu. Qilla terlihat berpikir sebentar dan sedetik kemudian dia sudah mengeluarkan teriakan mautnya, "Om Dewa buka pagernya napa?!" teriak Qilla tidak tahu aturan. Untung saja para tetangganya sudah paham dengan tingkah Qilla. "Om!" teriak Qilla lagi sambil menendang pagar dengan kakinya. "Iya, nggak usah kayak preman juga ‘kan?" ucap Dewa muncul dengan membawa kunci pagar. "Lagian pake dikunci ... " Qilla berlalu masuk ke dalam rumah Dewa terlebih dahulu, meninggalkan si pemilik rumah yang mengikuti dari belakang. Qilla meletakkan mangkok bakso di meja makan dengan cepat. Setelah itu dia mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa kebas karena rasa panas. Dewa hanya melihat sekilas dan mengambil sendok untuk memakan sarapannya. Seperti biasa, dia hanya akan sarapan kalau ibu Qilla yang memberinya makanan. "Kenapa ibuk pagi-pagi udah bikin bakso?" tanya Dewa sambil memakan baksonya. "Buatnya udah kemarin sore, ini diangetin lagi." Qilla ikut duduk dan membuka mulutnya lebar. Dewa yang paham langsung memasukkan daging bulat itu ke mulut Qilla, "Lagian kenapa pulang malem kemarin?" tanya Qilla. "Ketiduran di kafe." Qilla hanya mengangguk dan kembali membuka mulutnya. "Kalau gini namanya kamu yang makan, cuma makannya aja yang numpang di sini.” Dengus Dewa saat menyadari jika dia hanya makan tidak sampai setengah dari bakso yang dibawa Qilla tadi. Qilla hanya menyengir sambil mengunyah makanannya, "Laper Om, habis ini juga berangkat kuliah jadi nggak sempet sarapan." "Makanya bangun pagi biar bisa sarapan." "Lah situ sendiri juga baru bangun," ucap Qilla sambil menunjuk wajah Dewa yang masih terlihat kusam karena memang belum mandi. "Kesiangan tadi." "Makanya jangan lembur terus, ngapain juga di kafe liatin orang makan doang." Qilla bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur sambil membawa mangkok sisa sarapannya tadi. Memang sarapannya ‘kan? Dewa hanya makan sedikit tadi. "Om Dewa tau Sulis nggak?" tanya Qilla sambil mencuci mangkok. "Sulis siapa?" tanya Dewa sambil membuka kulkas untuk mengambil air putih. "Itu loh, Tante Sulis yang rumahnya di gang belakang." "Nggak tau, kenapa?" Tangan Dewa mengambil mangkok yang telah di cuci itu dan dengan cekatan mengelapnya dengan kain bersih. "Aku tadi ketemu di pasar pas belanja sama ibuk. Dia tanya-tanya Om Dewa loh." "Terus kenapa?" Dengan acuh Dewa keluar dari dapur dan berjalan ke arah kamarnya. Qilla mengikuti dari belakang. "Ya berarti Om Dewa nggak bakal jomblo lagi dong, kan udah ada yang naksir. Ciyeee!" Qilla menggoda Dewa sambil duduk di kasur pria itu. "Apa hubungannya? Orang nggak kenal Sulis juga." Dewa berlalu masuk ke dalam kamar mandi dan meninggalkan Qilla yang sibuk dengan ponselnya. Qilla melirik ke arah jam tangannya sebentar, masih ada waktu sebelum kelas dimulai. Gadis itu beranjak mencari charger milik Dewa ketika sadar jika baterai ponselnya akan  habis. Saat masih mencari kabel itu di meja, Qilla tidak sengaja menemukan obat pusing. Begitu kamar mandi terbuka, Qilla langsung bertanya pada Dewa. "Om sakit?" tanya Qilla sambil menunjuk obat itu. "Cuma pusing semalem, udah mendingan." Tentu Qilla tidak percaya, dia tahu jika Dewa adalah orang yang tidak suka minum obat. Jika dia sudah meminum obat, berarti sakit yang dialaminya benar-benar parah yang membuatnya tidak bisa beraktivitas sedikitpun. "Beneran?" tanya Qilla khawatir sambil mengecek suhu tubuh Dewa. "Iya." "Kalau masih sakit, aku panggilin ibuk." "Nggak papa Qill. Kamu nggak ngampus apa? Udah jam berapa ini?" "Masih ada sejam, habis ini berangkat." "Berangkat sama siapa?" tanya Dewa sambil membuka lemari. "Dijemput Syasa. Ya udah aku pulang dulu, mau siap-siap." Qilla pun berlalu meninggalkan Dewa yang juga bersiap-siap untuk bekerja.   ***   Qilla melirik ke arah jam dinding untuk yang kesekian kalinya. Suara helaan nafas keluar dari mulutnya begitu menyadari dosen masih saja sibuk mengoceh di depan kelas. Qilla melirik ke arah teman-temannya yang juga memasang ekspresi yang sama sepertinya. "Pak Harun garing banget sih!" Qilla bergumam dan menenggelamkan wajahnya di meja. "Qill cabut yuk!" Qilla mengangkat wajahnya kembali begitu mendengar bisikan setan di telinganya. "Ke mana?" "Kafe Om Dewa." Jawaban Syasa membuat Qilla mendengus dan menjatuhkan kepalanya lagi. Sebenarnya Syasa itu pintar, hanya bodohnya saja yang lebih sering keluar. Bagaimana bisa dia mengajaknya pergi ke kafe om Dewa? Mau bunuh diri? Dewa itu mengetahui segalanya, bahkan sampai ke jam kuliahnya pun dia juga tahu. "Ih sumpah ya Pak Harun dari tadi ngomong terus kayak Dora, nggak haus apa?" celetuk Syasa membuat Qilla kembali merilik jam dinding. "Bentar lagi habis, santai." Benar saja, tidak butuh waktu lama, Pak Harun mulai beranjak keluar kelas dengan diikuti mahasiswa yang sudah mulai kelaparan sejak 2 jam yang lalu. Qilla keluar dari kelas terlebih dahulu untuk pergi ke toilet. Rutinitasnya setiap hari setelah kelas adalah dia harus merapikan tampilannya terlebih dahulu di toilet sebelum benar-benar meninggalkan gedung fakultasnya. Qilla sadar jika dia adalah jomblo akut. Oleh karena itu, dia harus tetap tampil good looking setiap hari. Meskipun tetap saja riasannya masih kalah dengan kakak-kakak senior yang rambutnya di-roll bagian bawah  seperti risoles. "Qill, sorry banget ya kita nggak jadi jalan, mak gue suruh pulang terus dari tadi," ucap Syasa yang memang baru saja ditelepon oleh ibunya tadi. "Ya udah nggak papa, anter pulang aja kalo gitu." "Haduh, nggak bisa juga. Gue harus pulang sekarang." "La terus gue pulang gimana? Kan nggak bawa motor." "Minta Om Dewa jemput deh yaa.. sorry banget Qill, ntar weekend kita jalan deh ya." "Ya udah sih santai aja, gue ‘kan punya bodyguard yang siap siaga." "Ya udah gue pulang duluan ya." Syasa berlalu sambil melambaikan tangannya. Qilla pun ikut keluar dan mengirimkan singkat pada Dewa.   To : Dewa Jomblo! S.O.S Om jemput Qilla dikampus ya cepetan ;)   Sent!   Setelah mengirim pesan itu, Qilla pun memutuskan untuk menunggu di lobi fakultas. Dia mulai mengeluarkan headseat dan memasangnya di telinga. Tangannya dengan lincah membuka aplikasi youtube dan mengetikkan hal yang paling sering dicarinya akhir-akhir ini di mesin pencari.   "Tutorial dapet pacar"   Qilla memiringkan ponselnya dan mulai tekun dengan video yang dilihatnya. Sudah banyak cara yang dia lakukan agar segera mendapatkan pacar, tapi semua itu zonk. Tanpa Qilla sadari jika Adit menghampirinya dan duduk tepat di sebelahnya. Qilla masih tidak sadar sampai Adit menyentuh lengannya pelan. Qilla langsung tersadar dan menoleh untuk menatap Adit. Keningnya berkerut begitu melihat wajah Adit yang terlihat sangat lesu, “Wajahmu kenapa? Kucel banget kayak kaos kaki." Adit tertawa mendengar celetukan khas Qilla. "Habis dihukum sama Pak Supri. Itu dosen kalau ngasih tugas nggak tanggung-tanggung emang." "Emang bener, bisa tumpengan anak-anak kalau denger Pak Supri nggak ngasih tugas." Adit kembali tertawa, mood-nya benar-benar membaik setelah bertemu dengan Qilla. "Qill, jalan yuk?" Ajak Adit. Qilla terdiam, sebenarnya dia ingin tapi dia sudah terlebih dahulu menghubungi Dewa untuk menjemputnya tadi. "Nggak sekarang deh Dit." "Kenapa? Udah lama loh kita nggak jalan." Qilla menggaruk lehernya yang tidak gatal. Dia melirik ke arah jam tangannya dengan gelisah. Berdekatan dengan Adit untuk sekarang itu bahaya. Mata Dewa di mana-mana, apalagi dia juga sudah janji untuk tidak bertemu dengan Adit lagi. Tapi bagaimana? Namanya juga perasaan. Mana bisa ditahan? "Udah mau dijemput soalnya, kamu sih telat ngajaknya." "Dijemput siapa?" tanya Adit penasaran. "Aku yang jemput. Qilla ayo pulang." Tiba-tiba suara Dewa terdengar dan pria itu segera menarik Qilla untuk berdiri. Qilla bingung harus berkata apa, dia ingin menjelaskan sesuatu pada Adit tapi Dewa sudah menariknya  untuk pergi ke parkiran. Akhirnya, Qilla hanya bisa memberi isyarat pada Adit jika dia akan menghubunginya nanti. Qilla mengerucutkan bibirnya begitu sudah sampai di motor Dewa. Dengan cepat dia meraih helm pemberian Dewa dan memasangnya kesal. Qilla naik ke atas motor begitu motor sudah dinyalakan. Dia memundurkan duduknya hingga dia duduk di bagian ujung motor. Qilla sedang malas berdekatan dengan Dewa sekarang. Pria itu menyebalkan! "Kamu bisa jatuh nanti kalau duduknya kayak gitu," ucap Dewa sambil melirik ke belakang. "Nggak, udah ah jalan!" Dewa hanya diam dan mulai menjalankan motornya. Dengan mendadak dia mengegas motornya yang membuat Qilla terkejut dan secara reflek memeluk pinggang Dewa. "Ya gitu, pegangan yang bener." "Nyebelin tau nggak!" Kesal Qilla sambil menepuk punggung Dewa keras. Qilla terdiam selama di perjalanan, Dewa juga melakukan hal yang sama. Jika untuk Dewa, dia memang sudah terbiasa dengan hal itu, dia lebih sering diam jika di jalan. Berbeda dengan Qilla yang selalu bercerita panjang lebar seperti orang yang sedang mendongeng. Dewa berhenti tepat di depan penjual es cendol. Dia turun dan melepas helmnya. Qilla masih duduk di atas motor dengan cemberut, "Aku haus, mau beli es dulu." Dewa pun masuk ke dalam kedai dan memesan minumannya, "Pak pesen 1 ya, makan di sini." Qilla masih duduk di atas motor, dia melirik Dewa sebentar dan kemudian memukul jok motor dengan keras. Qilla turun dan ikut masuk ke dalam kedai, "Pak pesen 1 ya, yang bayar dia." Tunjuk Qilla pada Dewa. Dewa hanya mengulum senyum tipis dan menarik kursi untuk Qilla. Dengan wajah yang masih cemberut Qilla duduk di kursi itu. Dewa hanya duduk santai dan sesekali melirik Qilla dengan tatapan geli. Pesanan datang dan mereka mulai memakan es cendolnya. Lagi-lagi Dewa melirik Qilla geli. Dengan tak terduga Dewa memukul kepala Qilla yang masih berbalut helm dengan keras. Bahkan suara pukulan itu membuat orang-orang menatap mereka bingung. "Lepas helmnya, malu-maluin tau nggak." "Sakit Om!" ucap Qilla kesal dan melepaskan helmnya. "Masih marah?" Qilla hanya diam dan meminum esnya dalam diam. Anggap saja dia sedang menikmati rasa es cendol yang terasa sangat luar biasa di sore hari seperti ini. "Kayaknya martabak Pak Udin udah buka deh sore-sore gini. Beli nggak ya nanti?" gumam Dewa membuat kunyahan Qilla terhenti, "Ah nggak usah deh, siapa yang ngabisin nanti," ucap Dewa lagi sambil melirik kearah Qilla. "Ntar aku yang habisin, Om Dewa nggak usah bingung," celetuk Qilla tiba-tiba. "Loh udah mau ngomong kamu Qil?" Qilla menatap Dewa dengan datar. Dia menjauhkan gelasnya yang sudah kosong dan berdiri, "Ayo, aku mau martabak manis yang 12 rasa dan ukuran jumbo." Dewa hanya terkekeh kecil dan mengikuti Qilla yang sudah duduk di atas motornya. "Besok kamu mampir ya ke kafe, ada kue baru soalnya," ucap Dewa mulai menjalankan motornya. "Oke Om!" teriak Qilla dengan semangat. Terlihat gadis itu sudah melupakan kekesalannya karena sogokan yang Dewa berikan. Qilla juga kembali berbicara panjang lebar ketika di jalan. Entah apa yang dibicarakannya, yang pasti Dewa hanya berusaha untuk menjadi pendengar yang baik. Intinya, hanya Dewa yang sabar dengan sikap  Qilla.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD