Chapter 1

1415 Words
"Banyak yang bilang single itu pilihan, padahal yang bener itu nasib."   Terlihat seorang gadis tengah sibuk mengisi tasnya dengan keperluan kuliah. Gadis itu, Qilla mendesah kesal begitu lupa memasukkan lipstick nude-nya ke dalam tas. Dengan langkah tergesa dia kembali ke kamar dan mengambil lipstick secara asal dari meja riasnya. Setelah merasa sudah lengkap, Qilla pun menuruni tangga dengan cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 8 kurang 15 menit. Seharusnya dia sudah berada di kampus sekarang karena kelas akan dimulai tepat pukul 8. Salahkan drama korea yang dia tonton semalam, kenapa senang sekali di tonton Qilla sampai lupa waktu. Dengan langkah kaki seribu, Qilla berjalan ke ruang makan dan mengambil roti tawar sebanyak 4 lembar. Karena memegang teguh istilah 'the power of kepepet' dengan baik, akhirnya ia berhasil menyelesaikan olesan cokelat pada rotinya dalam waktu 10 detik. "Buk, Yah.. Anak gadismu mau belajar dulu," ucap Qilla sambil mencium tangan Ibu dan Ayahnya. "Nggak bawa bekal kamu Qill? Makannya roti aja?!" teriak Ibunya ketika Qilla sudah berlari ke luar rumah. "Nggak Buk, biar kayak bule!" Qilla memasang sepatunya dengan cepat. Jangan sampai dia telat lagi hari ini, karena sudah 2 kali dia telat dan diusir dari kelas. Jika Qilla sampai telat lagi, alamat say hello to cekal.   Derita mahasiswa ngaret.   Suara motor yang menyala membuat Qilla langsung berlari ke luar rumah. Jangan sampai Dewa meninggalkannya lagi. Jika iya, maka otomatis Qilla akan benar-benar tamat kali ini. "Om Dewa!" Panggil Qilla menghela nafas lega begitu melihat Dewa yang masih belum berangkat kerja. "Apa?" tanya Dewa masih fokus memanaskan motor maticnya. "Ini ... " Qilla tersenyum dan memberikan roti yang dibuatnya tadi pada Dewa. "Apa ini?" tanya Dewa penuh selidik. Sepertinya pria itu tahu jika tetangga rusuhnya ini sedang menginginkan sesuatu. "Nebeng ya Om, anterin aku ke kampus. Udah telat," ucap Qilla dengan cengiran khasnya. "Ya udah sana, ambil helm." Dewa meraih roti buatan Qilla dan memakannya. Bukan sesuatu yang mudah hidup seorang diri di rumah, apalagi untuk seorang lajang seperti Dewa. Soal urusan sarapan, dia hanya akan bisa makan jika keluarga Qilla yang memberinya makanan. Jika tidak, dia akan memutuskan untuk sarapan di kafe miliknya. Dewa memang mempunyai kafe sendiri tapi dia jarang sekali makan di sana. Pria itu lebih suka makan di luar dan mencari inspirasi untuk menu baru di kafenya. Bersyukur Dewa mengenal keluarga Qilla yang selalu memberinya makanan, meskipun dia harus ekstra sabar menghadapi tingkah Qilla. Bahkan gadis itu sudah menunjukkan tingkah absurd-nya itu sejak pertama kali mereka bertemu 2 tahun yang lalu. "Ayo Om!" Qilla menepuk punggung Dewa dan naik ke atas motor. Qilla sendiri heran dengan Dewa. Dengan jelas terlihat sekali jika pria itu mempunyai mobil di garasi rumahnya, tapi kenapa dia selalu menggunakan motor jika berpergian? Dasar aneh. Pernah sekali Qilla bertanya apa alasan Dewa lebih suka naik motor? Jawabannya singkat,  pria itu terlalu malas dengan macetnya kota Jakarta, tapi  tetap saja udara Jakarta sangatlah panas. Bahkan Qilla sendiri malas jika harus berpergian di siang hari. Qilla turun dari motor begitu sampai di depan gedung fakultasnya, "Makasih ya om," ucap Qilla sambil melepas helm dan memberikannya pada Dewa. Qilla meraih tangan kanan Dewa dan menciumnya. Kebiasaanya sejak dulu. Sebagai bentuk hormat kepada orang yang lebih tua katanya. "Nanti pulang gimana?" tanya Dewa pelan. Meskipun Dewa terkenal pendiam, tapi dia masih bisa cerewet di saat-saat tertentu. Apalagi jika berhadapan dengan Qilla. Selama 2 tahun mengenal Qilla, membuat Dewa telah terbiasa untuk terbuka di depan gadis itu "Nggak usah di jemput, aku mau main sama Syasa." "Udah ijin ibu?" tanya Dewa lagi memastikan. "Udah Om ganteng! Aku masuk dulu ya udah telat. Doain aku nggak diusir dari kelas lagi." Qilla pun berlalu masuk ke dalam gedung kampusnya. Sedangkan Dewa menunggu Qilla sampai benar-benar masuk ke dalam gedung. Begitu sudah menghilang dari pandangan matanya, Dewa pun menyalakan motor dan berlalu menuju kedai kafe miliknya.   ***   Qilla membuka pintu kelas dengan pelan. Mulutnya komat-kamit melafalkan mantra agar dia tidak mendapat nasib sial lagi hari ini. "Masuk aja kali Qil, nggak usah kayak maling gitu." Suara milik Syasa, sahabatnya membuat Qilla tersenyum bodoh. Qilla pun masuk begitu melihat bukan dosen yang berada di depan kelas, melainkan asisten dosen, "Lah Pak Supri ke mana?" tanya Qilla sambil mengambil duduk di samping Syasa. Syasa hanya mengedikkan bahunya acuh dan kembali mencatat materi yang di tampilkan di depan kelas. "Qill sini, absen dulu," ucap asisten dosen yang merupakan seniornya di kampus. "Pak Supri kemana Bang?" tanya Qilla penasaran, karena dosennya itu terkenal dangat disiplin dan jarang absen. "Nggak tau, sakit perut katanya tadi." "Tuh ‘kan! Kualat itu ngerjain mahasiswa." "Iya kayanya," balas seniornya.    Lihat, bahkan asistennya sendiri ikut sebel sama pak Supri.   Qilla kembali ke tempat duduk dan mulai mengeluarkan bukunya. Hanya dikeluarkan, karena dia juga mengeluarkan ponselnya untuk memotret semua materi yang ada di depan. Simpel dan lebih menonjolkan seni katanya. "Qill nanti ke kefe Om Dewa yuk?" Ajak Syasa. "Males ah, gue mau jalan sama Adit." "Yaelah Qill, bokek nih gue. Kalo sama lo kan gue makan gratis." "Besok aja." "Janji ya?" ucap Syasa yang hanya dibalas anggukan oleh Qilla.   ***   "Turun sini aja Dit." Minta Qilla ketika telah sampai di depan perumahan. "Kenapa nggak sampe depan rumah aja?" "Mau digetok koran sama ayah ya?" Adit hanya terkekeh dan menepikan mobilnya. "Besok aku jemput ya?" "Nggak usah, sadis banget ganteng-ganteng gini dijadiin supir," ucap Qilla kembali membuat Adit tertawa, "Yaudah aku pulang dulu ya, makasih tadi udah di traktir." Lanjut Qilla sambil tersenyum dan melambaikan tangannya sampai mobil Adit berlalu pergi. Qilla tersenyum dan berjalan masuk ke dalam perumahan. Bukan, Adit bukan pacarnya, tapi calon. Mereka telah melakukan masa pendekatan selama 2 bulan. Tentang alasan kenapa tidak mau diantar sampai depan rumah karena memang Qilla dilarang pacaran oleh orang tuanya. Ini pertama kalinya Qilla dekat dengan seorang pria, jadi dia harus hati-hati mulai dari sekarang. Qilla membuka pagar rumahnya dengan pelan. Dia melihat mobil ayahnya sudah terparkir di garasi yang berarti ayahnya sudah pulang dari kerja. Qilla melirik ke arah jam tangannya yang menunjukkan pukul lima sore, pantas saja jika ayahnya sudah pulang. "Qill!" Qilla menoleh ke arah suara dan menemukan Dewa yang bersandar di pagar rumahnya dari dalam. "Apa Om?" tanya Qilla. "Sini bentar kamu." Dengan mengerutkan keningnya, Qilla pun masuk ke rumah Dewa. Kenapa perasaannya tidak enak? Qilla duduk santai di kursi tamu. Tangannya meraih setoples camilan di atas meja dan memakannya, "Ada apa Om? Ada resep baru ya?" "Kamu dari mana tadi?" Kunyahan mulut Qilla terhenti. Dia melirik ke arah Dewa dengan gugup. "Abis main," jawab Qilla berusaha menetralkan raut wajahnya agar tidak mencurigakan. "Sama siapa?" "Kan tadi pagi udah bilang sama Syasa." "Jangan bohong, tadi temen kamu ke kafe sendirian." Qilla memejamkan matanya, merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa dia tidak memberi tahu Syasa jika jangan pergi ke kafe dulu? "Aku habis dari mall tadi," ucap Qilla akhirnya. "Sama siapa?" "Temen." "Temen yang mana?" "Ya temen Om, emang temenku Syasa aja." Qilla berucap dengan kesal. "Siapa?" tanya Dewa dengan tajam. "Sama Adit!" ucap Qilla kesal. "Siapa Adit?" "Temen aku, Om." Qilla menarik nafas dengan kasar karena Dewa yang terus bertanya. "Cuma berdua?" Qilla hanya mengangguk sebagai jawaban. "Adit jurusan apa? Angkatan berapa? Mana fotonya?" tanya Dewa sambil melipat tangannya di d**a. "Sama kayak aku kok dan kita belum foto bareng." "Ya udah, sampai seterusnya nggak usah foto bareng." "Om jangan bilang ayah ya, kepalaku nanti digetok pake telenan punya ibuk nanti." "Kalau cuma temen, kenapa jalan diem-diem gitu?" Qilla dengan cepat berpindah duduk di samping Dewa. "Bukan sekedar temen Om, calonku ini," bisik Qilla di telinga Dewa. Dengan tak terduga, Dewa bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar rumah. Qilla dengan cepat menarik lengan Dewa untuk kembali masuk ke dalam rumah. "Om Dewa mau ngapain?" "Bilang ke ayahmu." "Jangan!" rengek Qilla sambil menghentakkan kakinya kesal. "Kamu nggak dibolehin pacaran ‘kan? Kenapa deket sama cowok?" "Ya ‘kan Qilla penasaran, rasanya pacaran itu gimana? Lagian Adit juga ganteng." Dewa hanya menggelengkan kepalanya dan melepas tangan Qilla dari lengannya. Kakinya kembali melangkah ke luar rumah. "Iya iya aku nggak jalan lagi sama Adit! Jangan bilang ayah ... " rengek Qilla lagi. "Janji?" "Janji!" jawab Qilla kesal. "Ya udah mandi sana." Dewa mengacak-acak rambut Qilla dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dengan kesal Qilla berjalan menjauh dari rumah Dewa dan masuk ke rumahnya sendiri, "Udah semester 3 masih aja jomblo, masa kalah sama kucing kong kiyong yang umur setahun udah punya anak 8!" Qilla masih menggerutu, merutuki nasibnya yang masih sendiri dan dikelilingi oleh orang-orang yang kelewat over menjaganya.   Kapan dapet pacar coba kalo kaya gini terus?   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD