LoD_20

1905 Words
Sudah satu minggu sejak kemarin Mas Dimas ke rumahku. Sekarang, hampir setiap hari dia meneleponku, bahkan sekedar menanyakan aku ada di mana. Entah ada apa dengan Mas Dimas, kemarin, iseng aku bertanya padanya, “Kamu neleponin aku tiap hari tuh kenapa, Mas? Tumben amat. Bukannya lebih sering nelepon pacarmu, sanah.” Dia tertawa, “Minimal aku tau kabarmu, kamu masih idup dan bernapas.” Aku marah sama dia, “Kamu ngarepin aku mati ato ngedoain aku kenapa-kenapa, ya?” lalu dia hanya tertawa seperti biasa dan mematikan telepon. Program like yang aku buat untuk Kakak sepertinya berjalan lancar, karena Kakak bilang sudah masuk lagi lima brand yang mau ikutan sponsor program tersebut, “Padahal aku ini apa, ya, Dek. Tapi ternyata banyak juga orang yang mau makan siang bareng aku.” Aku setuju dengan ucapan Kakak tadi, padahal Kakak termasuk influencer yang belum lama terjun di dunia endorsement ini, tapi rupanya dia sudah memiliki viewer dan penggemar yang cukup banyak. Aku sedang menarik data dari form yang ada dari link yang disebarkan Kakak, ketika pintu kamarku diketuk, “Dek, di dalem, gak, aku masuk, ya.” suara Kakak dari luar terdengar, “Masuk aja, Kak. Pintunya gak dikunci.” Setelah masuk, Kakak langsung duduk di ujung ranjangku, “Itu data dari link yang disebar itu, ya, Dek?” aku menganggukkan kepala, “Dek, liat sini dulu. Kakak mau ngomong sama kamu.” Panggil Kakak karena sejak dia masuk mataku masih di depan laptop, “Ada apaan, ih. Ngomong tinggal ngomong.” Lalu dia meneruskan ucapannya, “Kakak mau beli mobil, Dek. Menurut Adek, gimana? Selama ini kan kita kemana-mana hanya pake motor. Uang tabungan Kakak udah cukup beli mobil. Ya, bukan mobil yang mahal, sih. Mobil biasa aja, asal kalo kita bertiga pergi, kita gak perlu keujanan atau kepanasan lagi. Kakak pengen bilang ke Tante, agar dia berhenti kerja, umurnya udah gak muda lagi. Kakak pengen Tante istirahat aja di rumah, dia udah cukup lama kerja keras banting tulang untuk kita, sekarang Kakak udah lumayan ada tabungan dikit-dikit, cukup untuk makan kita sehari-hari.” Aku menangguk ragu atas rencana Kakak, “Aku sih, setuju aja. Hanya, Tante tuh, kadang suka gak mau dengerin kita. Kayak kemaren, kita ngajak Tante jalan, baru sebentar, dia udah minta pulang, katanya, makan di rumah aja, uangnya sayang, mending ditabung.” Aku melihat Kakak, yang kemudian menganggukkan kepala, “Iya. Tante gak pernah mau disuruh istirahat barang sehari aja.” Lalu kami terdiam, Kakak merebahkan tubuhnya di ranjangku, dan aku kembali menatap laptop. “Tante bukan gak mau kalian ajak jalan, makan, seneng-seneng di luar, Kak, Dek. Hanya saja, umur kalian masih muda, nanti kalian akan nikah, punya keluarga, lebih baik uang yang kalian hasilkan sekarang ini kalian tabung, buat masa depan. Tante ini, gak perlu kalian beliin apa-apa. Melihat kalian tumbuh sehat seperti sekarang ini, masing-masing udah punya kerjaan, itu udah cukup membahagiakan buat Tante, karena dengan begini, janji Tante ke orang tua kalian lunas Tante jalankan.” Tiba-tiba Tante muncul di depan pintu, masuk ke kamarku, dan ikut duduk di ranjangku. Obrolan kami siang itu membuahkan hasil bahwa Tante tetap akan bekerja, Kakak akan membeli mobil yang tadi dia rencanakan, dan aku, besok akan mulai survey rumah yang jauh dari kota. “Buat kita kalo liburan atau kabur dari penatnya kota aja, sih.” Begitu alasanku, ketika ditanya sama Tante dan Kakak kenapa harus beli rumah di daerah pedesaan yang jauh dari kota. Padahal alasan sebenarnya adalah untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang tidak diinginkan, apalagi proyek Pak Danar yang aku kerjakan ini, entah kenapa kok jadi membuatku semakin curiga. *** “Ri, kamu bisa ke toko, gak, sekarang? Aku butuh bantuanmu untuk proyek Pak Danar.” Aku yang heran dengan Mas Dimas yang tiba-tiba menelepon minta aku ke tokonya, padahal data-data dan barcode item produk Pak Danar belum semuanya selesai aku input ke data base, “Harus hari ini banget, Mas? Aku belum selesai input item ke data base, mungkin besok atau paling lambat lusa, baru aku bisa nyelesain ini.” Tapi Mas Dimas keukeuh dengan keinginannya, “Gak apa-apa, itu mah gampang. Yang penting kamu ke sini dulu, ya. Aku tunggu sekarang, atau mau dijemput aja sama Viko?” aku menolak, “Gak usah, Mas. Biar aku ke sana aja sendiri, aku mandi dulu.” Mas Dimas seperti tidak sabar, “Duh, jangan lama-lama. Berapa lama kamu mandi? Gak usah pake dandan segala, Ri.” Aku ketawa, “Gak pake dandan, Mas. Mandi doank, ya, siap-siap. Masa iya aku ke sana pake baju tidur?” dan telepon ditutup dengan permintaan Mas Dimas yang bilang, “Jangan lama-lama.” Aku simpan hasil pekerjaanku, lalu mem-back up-nya, untuk berjaga-jaga saja, khawatir ada virus atau tiba-tiba data hilang, dan bergegas mandi. Satu jam kemudian aku sudah sampai di depan toko Mas Dimas, “Siang. Mas Dimasnya ada?” aku bertanya ke penjaga yang ada di sana, sepertinya orang baru, soalnya waktu aku terakhir di toko ini, dia belum ada. “Eh … kamu. Mau balik lagi, ya, ke toko ini? Sorry, udah penuh semua posisi penjaga toko, lowongannya juga udah gak berlaku buat kamu.” Leli yang menyambutku. Aku merasa tidak perlu meladeninya, toh aku ke sini ada urusannya dengan Mas Dimas, “Mas, aku udah di depan, nih. Kamu di mana?” lalu Mas Dimas menyuruhku untuk langsung masuk ke ruangannya, “Ke ruanganku, Ri.” Aku sampaikan ke Leli kalo aku sudah ditunggu Mas Dimas di ruangannya, “Aku disuruh Mas Dimas ke ruangannya.” Berharap Leli langsung mengantarkanku, tapi tentu saja dia tidak semudah itu bisa diajak bekerja sama, “Ngapain kamu ketemu sama Mas Dimas, perempuan gatal, inget, ya, Mas Dimas itu udah punya pacar, bentar lagi sih, nikah kayaknya.” Karena gak sabar aku telepon lagi Mas Dimas, “Aku gak dikasih masuk, Leli gak mau nganterin aku ke ruanganmu.” Dan Mas Dimas menyuruhku menghidupkan loud speaker handphone, “Idupin loud speakernya, biar aku yang ngomong.” Aku memencet tombol on, “LELI, JANGAN BANYAK TINGKAH. ANTARKAN RI KE RUANGANKU SEKARANG, BERHENTI MAIN-MAIN ATAU KAMU MAU SAYA PECAT?” Leli yang mendengar Mas Dimas berteriak di speaket terkesiap, bukan hanya Leli, sih, tapi hampir semua orang di toko itu yang bisa mendengar suara Mas Dimas, langsung pada menunduk, melihat ke arah lain. “Iya, Mas.” Dan telepon langsung dimatikan, “Awas aja, kamu. Aku bilangin sama Delisa, kamu bakal habis.” Aku yang tadinya gak berniat untuk menjawab perkataannya, lama-lama gregetan juga, “Jangan sombong. Bisa jadi, Delisa-mu itu sekarang udah bukan kesayangan bos lagi.” Dia berhenti melihat ke arahku, “Kamu yang jangan macam-macam.” Aku hanya tertawa, “Udah, deh. Gak usah dianter, tunjukin aja ruangannya, biar aku langsung ke sana sendiri.” Tapi dia bersikeras mau nganterin aku. Sampai di depan ruangan Mas Dimas, Leli mengetuk pintu, “Mas, ini ada Mariana, mau dipersilahkan masuk atau …” Mas Dimas berdecak, tidak sabar, “Udah masuk aja, Ri. Kamu kelamaan banget Leli.” Aku menerobos masuk, mengabaikan Leli yang masih mematung di depan pintu, “Ri, lama banget, sih, mandi aja berjam-jam.” Mas Dimas bicara santai ke aku, “Gak lama, lah. Mas nelepon aku itu jam sepuluh tadi, ya. Ini baru jam sebelas, dan aku sudah ada di sini. Gak sampe setengah jam aku udah sampe, dih.” Ucapku sambil duduk. Lalu kemudian kami menyadari Leli masih ada di depan pintu, “Makasih, Leli. Besok-besok, kalo ada Ri, gak usah banyak basa-basi, langsung kasih dia masuk ke ruanganku, gak perlu kamu antar. Kamu bisa balik ke depan, jaga toko yang benar.” Aku memalingkan wajahku ke arah Leli dan tersenyum penuh kemenangan. Setelah Leli keluar, Mas Dimas berjalan menuju ke tempat duduknya, lalu dia menunduk sedikit, dan tiba-tiba, pintu masuk tadi tertutup dengan lapisan yang seperti dinding. Mungkin Mas Dimas tau kalo aku keheranan, “Tenang. Itu hanya dinding pelapis kedap suara, biar ketika kita ngomong gak ada yang bisa denger suara kita dari luar.” Aku mengangguk mengerti, “Kirain aku mau diculik.” Bukan Mas Dimas menjawab, tapi Mas Viko yang menyahuti, “Ke-GR-an banget kamu.” Aku tidak mau banyak omong, langsung aku tanyakan, ada urusan apa mereka memanggilku ke sini, “Jadi, ada kepentingngan apa, sehingga aku diburu-buru harus ke sini?” Mas Dimas melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat ke arah komputer yang sedang dipelototin sama Mas Viko, “Aku berhasil menaruh pelacak dan kamera pengintai di rumah Delisa. Benar ucapanmu kemarin, kalo Delisa memang memiliki hubungan dengan Pak Danar. Bukan hanya sebagai sekertaris, mereka adalah pasangan kekasih.” Aku gak heran mendengarnya, toh itu memang dugaanku sejak awal, “Dan benar juga kekhawatiranku yang aku omongin ke kamu kemarin, bahwa dia diutus oleh Pak Danar untuk memata-matai kita, dan mau menyabotase semua proyek yang sedang aku kerjakan.” Aku mengernyitkan dahi, “Kita? Kita di sini tuh, maksudnya Mas Viko sama Mas Dimas atau …” terlihat Mas Viko menggeleng, “Kita, aku, Mas Dimas, dan kamu.” Aku menutup wajahku, ini kesalahanku. “Harusnya aku ngikutin feelingku dari awal, kalo aku gak perlu gabung dalam proyek ini.” Mas Dimas mengerti kekhawatiranku, “Tenang dulu. Sampai saat ini, Delisa belum melakukan apa pun. Baru sebatas mengetahui kode akses ke ruanganku dan juga …” aku heran, kenapa Mas Dimas terdengar berat untuk ngomongin kelanjutan dari ucapannya, “Juga apa, Mas?” dia menghembuskan napas panjang, “Juga rumahmu. Delisa udah tau rumahmu, dia membuntuti semua pergerakanmu dan juga gerak gerik Tante juga kakakmu.” Aku menggeleng kesal, “Ini tuh gara-gara kalian, kan? Delisa jadi bawa-bawa keluargaku. Kalian sih enak, orang kaya, kalo mau pergi atau menghilangkan jejak, enak aja, tinggal pergi ke luar negeri. Aku? Duh, gimana ini?” aku jadi beneran gelisah. “Tenang dulu, Ri. Delisa belum melakukan apa-apa.” Aku semakin kesal, “Terus, aku harus nunggu Delisa melakukan sesuatu dulu ke keluargaku? Aku harus menunggu terjadi apa-apa dulu sama Kakak atau tanteku baru bertindak, gitu?” Mas Dimas mencoba menengkanku, “Kamu gak usah bingung gitu. Aku ada ide, kemarin aku sama Viko ketemu tempat yang jauh dari kota. Di desa yang cukup terpencil, kebetulan hanya ada beberapa ratus kepala keluarga di sana. aku dan Viko sudah membeli sebuah rumah. Dan juga membeli satu rumah yang tidak jauh dari situ untuk kamu. Jadi, kalo terjadi apa-apa, kita bisa ke sana. Tanpa ada yang tau.” Ini rencanaku, sebelumnya. Membeli sebuah rumah untuk tempat bersembunyi. “Malam ini, aku ada janji ketemuan sama Delisa. Nanti rencananya aku akan mencoba mengorek semua informasi yang bisa aku dapat. Minimal informasi mengenai tujuan Pak Danar mengirim Delisa ke kita, selain memang mau mengacak-acak proyek yang aku dan Viko sedang kerjakan. Saranku, sebaiknya, kegiatan Kakak dan tantemu dibatasi, Ri. Hanya untuk antisipasi.” Aku mengacak rambutku, kesal, frustrasi, “Tante itu kerja di pabrik, Kakak sering keluar ketemu sama klien dan orang-orang yang mengajak kerja sama dia. Gimana cara membatasi pergerakan mereka? Coba, kasih tau aku caranya.” Mas Dimas dan Mas Viko saling berpandangan. "Nanti kita pikirin lagi gimana caranya, ya. Yang penting sekarang kamu harus tenang, masalah ini gak akan bisa selesai kalo kamu grasak grusuk." aku meradang, "Aku grasak grusuk begini itu imbas dari ulah kalian yang menyeretku untuk ikut dalam proyek Pak Danar ini. Kalian sadar, gak, sih?" Mereka berdua terdiam, "Maafkan kami, Ri." hanya kata-kata itu yang terlontar dari mulut Mas Dimas. Kami semua diam karena sibuk dengan isi dan suara di kepala kami yang berisik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD