2. Perjuangan yang Sia-sia

1486 Words
Seperti biasanya, jika pulang bersama Ghibran. Artinya di dalam mobil pribadi yang dikendarai langsung oleh Ghibran itu hanya tercipta suasana hening. Elya tak pernah bosan mencari topik perbincangan, akan tetapi lama-lama juga kesal karena Ghibran jarang menyahuti ucapannya. Mungkin karena Ghibran fokus menyetir, Elya paham! Hingga Ghibran mengajak Elya berhenti di sebuah restoran yang cukup mewah. Elya hampir tidak percaya, karena biasanya ia harus memaksa hingga memelas pada Ghibran baru bisa mengajak pria itu untuk mampir ke rumah makan atau restoran sekali pun. Tapi mengapa sore ini berbeda? “Mas Ghibran, k-kita mau makan bareng di sini?” Saking tidak percayanya Elya sampai bertanya, padahal sudah pasti jawaban dari pergi ke restoran adalah untuk makan! “Ya kamu pikir kita kemari untuk cuci piring? Ayo turun..di dalam saya sudah ditunggu, Elya.” Elya pun segera turun dari mobil tanpa berakting minta dibukakan pintu seperti biasanya! “Mas Ghibran harusnya kita makan di sininya nanti malam. Biar kayak dinner yang dilakukan pasangan kekasih pada umumnya gitu—“ “Elya?” “Y-ya, Mas Ghibran?” “Kita tidak pernah menjalin hubungan selain rekan atau kakak kelas dan adik kelasnya.” “Oh ya lupa! Udahlah! Nggak usah dibahas.” Elya berakting menepuk jidatnya sendiri. Jujur saja, hatinya sangat sakit karena fakta yang sebenarnya memang begitu adanya. Terlebih fakta tersebut tak sungkan-sungkan diutarakan langsung oleh Ghibran. Sakit, Mas! Elya berpikir, Ghibran hendak mengajaknya duduk di sepasang kursi kosong yang letaknya di belakang seorang wanita cantik yang tengah memainkan ponselnya itu. Akan tetapi, faktanya justru.. “Hai, kamu sudah lama menunggu Say—Ghina?” “Hai, enggak kok. Ini..” Gadis cantik itu menggantungkan kalimatnya tatkala mengetahui Ghibran datang tidak sendirian. “Saya Elya—“ “Ini adik kelasku sewaktu SMA, sampai bekerja di perusahaan yang berbeda pun..kami masih menjalin hubungan pertemanan yang baik Ghina,” jelas Ghibran memotong ucapan Elya. Sudah pasti jika Elya dibiarkan menyerocos akan menciptakan suasana runyam dan tidak sesuai dengan rencana yang sudah Ghibran siapkan sore ini. Ya, Ghibran tak ingin menunda untuk segera memberitahukan hal besar yang akan dilaksanakannya tahun ini bersama Ghina. Toh, saat ini juga dirasa sudah tepat. Ghibran tidak perlu lagi bersikap baik seolah memberikan harapan pada Elya. Sebagai pria, ia haruslah tegas untuk memutuskan yang selama ini tidak seharusnya dibiarkan mengalir. Ghibran mengira, lama-kelamaan Elya akan sadar dan memutuskan untuk mundur. Tapi, benar kata Dana. Gadis cantik itu sangat ambisius. Tidak peduli apa kata orang dan segala tingkah laku Ghibran selama ini. Ia terus saja berjuang mendapatkan hati Ghibran, meski berkali-kali juga Ghibran menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa membalas cinta Elya. Makanan datang, ternyata gadis cantik yang duduk di hadapan Ghibran itu sudah lebih dulu memesan makanan tiga porsi karena memang Ghibran sempat mengabarinya akan mengajak seorang teman. Alhasil, Ghina memesan satu porsi lagi. “Mari makan..” kata Ghina dengan mengulas senyum manisnya. Elya pun juga bersemangat untuk memakan makanan enak di hadapannya ini. Disela-sela makan satu meja bertiga itu, Elya kerap mencuri-curi pandang pada Ghina. Benar-benar titisan bidadari dari surga! Tanpa celah, Ghina tampak berniar cantik dengan polesan riasan sederhana dan natural itu. Elya harus waspada, ia takut Ghibran nantinya terpikat pada Ghina-Ghina itu! Ghina membuka suara disela-sela makan mereka. “Gimana Mas Ghibran? Apa Mas sudah memilih beberapa undangan yang sudah aku kirim kemarin?” Ghibran mengangguk. “Sudah. Satu yang menurut saya bagus. Kamu harus lihat..ini..” Ghibran pun memberikan ponselnya pada Ghina. Elya yang penasaran dengan obrolan keduanya pun ikut menyahut, “Undangan apa sih, Mas? Kok nggak minta pendapatku? Biasanya ‘kan kamu minta pendapatku, seperti kemarin saat memberi kado ulang tahun untuk mama kamu, Mas.” Gadis itu masih berpikir positif bahwa wanita yang saat ini duduk semeja dengannya dan juga Ghibran hanyalah teman Ghibran semata. Sehingga wajar bukan bila Elya berusaha menunjukkan kedekatannya dengan Ghibran di hadapan wanita itu. Tidak ada respon apapun yang keluar dari bibir Ghina maupun Ghibran. Hingga Ghibran berdehem. “Elya?” “Iya, Mas?” “Perkenalkan, Ghina ini calon istri saya. Dua bulan lagi..kami akan menikah.” “Uhuukk! uhukkk!” Elya tersedak bukan main. Sakitnya di tenggorokan tapi lebih sakit lagi di bagian hatinya. Bak tersambar petir di senja yang bagi sebagian orang indah ini. Elya masih enggan menoleh pada Ghibran dan Ghina. Ia mengontrol air matanya agar tidak keluar saat ini juga dengan mengalihkan pandangannya pada senja yang menjadi suguhan pemandangan di lantai dua restoran mewah ini. Sejak saat itu juga, sepertinya Elya akan membenci senja! “Elya..” panggil Ghina yang sadar dengan keterdiaman Elya untuk beberapa saat itu. Sedangkan Ghibran yang sudah lebih tahu yang sebenarnya pun hanya diam dan terus meneruskan makannya. Ia berusaha untuk bersikap senormal mungkin. Bagi Ghibran sendiri, ini merupakan keputusan yang tepat. Meskipun tepatnya keputusan yang diambil oleh Ghibran berdampak pada rasa sakit yang berhasil tergores pada hati Elya. Pria itu merasa cukup lega karena telah memberitahukan kenyataan yang sebenarnya pada Elya. Hari ini, pupus sudah perjuangan panjang yang Elya lalui. Lebih tepatnya dipupuskan langsung oleh pria yang dianggapnya juga membalas perasannya selama ini. Elya tak pernah protes dengan segala alasan sibuk Ghibran, meskipun ia tahu bahwa pria itu kerap menghindarinya. Ia juga tak pernah mengomentari sikap cuek Ghibran, karena mungkin itulah karakter Ghibran yang dicintainya selama ini. Tapi, itu semua ternyata hanya Ghibran berikan pada Elya. Pada Ghina? Ghibran begitu peduli dan menatap Ghina penuh tatapan damba dan cinta. Mengantarkan Elya hingga pintu gerbang rumahnya. Elya yang biasanya selalu berbicara sepanjang jalan, sejak tadi berubah menjadi Elya yang pendiam. Ada sedikit rasa sesal pada diri Ghibran. Tapi, mau dikatakan apalagi? Bila memang bukan jodoh, tidak akan pernah bisa bersatu. Ghina merupakan wanita terbaik yang dipilihnya untuk melaju pada jenjang yang lebih serius—mengarungi bahtera rumah tangga. Dengan menunjukkan senyum palsu dan air mata yang sudah menghiasi pelupuk matanya itu. Elya kemudian berkata, “Terima kasih, Mas..” “Ekhm..sama-sama.” “..untuk satu tahun kemarin, ternyata se-sia-sia itu perjuanganku, Mas.” “Elya, saya tidak pernah meminta kamu untuk memperjuangkan saya. Satu lagi, selama ini..saya pikir kamu sudah pandai membaca sikap saya terhadap kamu. Saya harap, kamu tidak menganggap saya memberikan harapan palsu pada kamu selama ini,” ungkap Ghibran dengan ketegasannya, tanpa bersalah dan dosa sama sekali. Padahal pria itu begitu dalam mengukir lara di hati Elya. “Wanita sepertinya tidak akan pernah benar di mata kamu, Mas. Jadi, tidak perlu lagi diungkit-ungkit. Saya ikhlas..” “Ikhlas tetapi menangis tersedu-sedu seperti ini? Saya bisa digantung Dana, Elya!” “Apa urusannya dengan Mas Dana!? Nggak penting!” “Karena..” “Karena apa!?” 'Kakak sepupumu—Dana, sangat mencintai kamu. Tetapi sialnya, dia tidak pernah menyadarinya. Kamu pun juga, Elya! Kalian berdua sama-sama bodoh!' Ghibran membatin, dan membuncahkan segala bentuk kekesalannya terhadap dua makhluk unik itu. “Karena selama ini kamu hanya fokus pada saya. Coba setelah ini buka mata kamu, Elya. Di luaran sana pasti banyak pria yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hati kamu.” Ghibran menyadari kebodohannya yang hampir saja keceplosan menyebutkan apa yang dirasakannya selama ini. Ini tentang Dana. “Tapi saya maunya Mas Ghibran. Mas Ghibran ngerti nggak, sih?!” “Tolong hargai keputusan saya, Elya. Saya hanya mencintai Ghina—“ “Sejak kapan!?” potong Elya. Gadis itu merasa selama ini hanya dirinya yang begitu dekat dengan Ghibran. Nyaris semua orang mengira mereka berdua memang terlibat hubungan spesial. “Beberapa bulan yang lalu..” jawab Ghibran dengan jujurnya. Ia tak peduli jika setelah ini Elya akan meremehkan hubungannya dengan Ghina. Karena bagi Ghibran, ketika ia sudah yakin dengan keputusannya untuk menjadikan Ghina sebagai masa depannya. Maka tak ada seorang pun yang bisa menghalanginya, termasuk Elya yang selama ini begitu berambisi untuk mendapatkan hatinya. Elya menunjukkan senyum sinisnya. “Sangat tidak masuk akal jatuh cinta sekejap itu. Mas Ghibran nggak cinta benaran ‘kan sama Ghina-Ghina itu?” tanya Elya dengan bodohnya. Hingga titik akhir ini pun, Elya masih berusaha berjuang. “Elya, bagi saya..tidak butuh waktu yang lama untuk menjatuhkan hati. Sejak awal bertemu dengan Ghina, saya sudah mencintainya. Ghina yang terbaik untuk masa depan saya. Saya mohon, jangan hancurkan rencana indah saya tahun ini.” Ghibran sampai menyatukan tangannya di depan dadaa. Ya, ia bahkan memohon pada Elya yang sudah menangis tersedu-sedu itu. “Mas!” “Jika cinta yang kamu miliki selama ini merupakan cinta yang tulus. Maka kamu akan membiarkan saya bahagia dengan pilihan saya ini, Elya..” Tangan Elya bergerak membuka pintu mobil Ghibran. Sebelum Elya benar-benar meninggalkan pria yang sudah sangat menyakitinya itu. Elya sempat mengusap air matanya dengan kasar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar. “Aku merasa sudah sangat tulus mencintai dan memperjuangkan kamu selama ini, Mas. Jika memang Ghina pilihanmu, semoga Mas Ghibran bahagia. Aku permisi..” Dengan derai air mata dan bahu bergetar hebat, Elya melangkah pasti tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Ghibrannya telah pergi. Yang ada hanya Ghibran Eri Baskara—kakak kelasnya semasa SMA sekaligus rekan bisnis Dana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD