1. Jatuh Cinta?

2054 Words
"Elya! Gimana? Sepertinya kamu nggak tertarik sama uang jajan yang kemarin Mama iming-imingi.." cibir seorang wanita yang baru saja mendudukkan dirinya di depan seorang gadis yang tengah makan dengan lahapnya. Di siang yang panas dan terik ini. Bosnya menyuruh Elya pulang ke rumah untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal. Tanpa menerima alasan A-Z! Elya pun hanya pasrah. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan pulang ke rumah siang ini, gadis berusia 21 tahun itu mencoba memanfaatkannya. Setidaknya menikmati makan siang masakan sang mama, sudah cukup sebagai upahnya mengambil berkas ke rumah. Sekaligus pereda kekesalannya pada sang bos yang tak lain dan bukan adalah kakak sepupunya sendiri. "Tertariklah, Ma! Budhe Denada pasti kasih bonus buat Elya lagi. Ya 'kan, Ma?" "Tahu aja kamu kalau soal barang branded." "Jelas! Oh, iya, Ma? Ada tas keluaran terbaru nih! Elya udah pasang status terkhusus hanya ditujukan untuk Budhe Denada. Siapa tahu beliau peka! Mama juga bantu kasih ‘pelumas’, ya.." "......." Mama menatap tak percaya pada anak gadisnya yang sungguh matre dan gilaa dunia itu. Tanpa mempedulikan ekspresi sang mama. Elya meneguk habis minuman berupa orange juice itu. Lalu setelahnya ia bangkit dari duduk. Tak lupa, sebelum kembali berangkat ke kantor ia selalu mencium tangan mamanya. Meski matre, tata kramanya tetap high! Orang bilang, 'Nggak apa-apa uang receh, asal attitude dollar!' Elya selalu menanamkan hal tersebut. Dalam bidang pekerjaan pun juga. Maka dari itu, setelah lulus SMA, kakak sepupunya—Danadyaksa Dwipa berani menyekolahkan Elya mahal-mahal. Buktinya dua tahun ini Elya bisa membantu Dana di kantornya. Padahal, paket kuliah yang dijalani Elya sangat sebentar. Memang otak kalau sudah dari lahir pintar, cuman perlu diasah sedikit sudah tajam! "MAS DANA!" Seketika lelaki yang dipanggilnya itu menoleh. Mengulas senyum tidak enaknya pada beberapa klien yang baru saja hendak ia antarkan untuk masuk ke ruang meeting. Dengan tidak berdosanya, Elya mendekat.. "Nih!" Tangan Elya menyerahkan apa yang dibawanya--berkas. "Kamu bosan bekerja di sini?" "Tentu saja tidak! Mas—upss! Pak." Elya lupa bahwa ia telah melanggar aturan yang diberlakukan oleh Dana yakni, ketika di kantor atau sedang bekerja dilarang memanggil ‘Mas’. Karena bagi Dana, selama bekerja ia selalu bersikap professional. Meskipun Elya merupakan anak dari tantenya, hal tersebut tak lantas membuat Dana memperlakukan Elya spesial. Elya tetap diperlakukan seperti pegawai lain di kantornya ini. Dalam hatinya Elya mendumel, 'Bagaimana bosan, Mas? Kalau bosnya sangat royal bonus tampan, sedikit minus..ekhm, lama membujang!' "Kata siapa aku bosan?" Elya tersenyum menunjukkan sederetan gigi-gigi putihnya yang terawat itu. Kulitnya? Jangan ditanya.. putih, licin, gowing! 50 juta perbulan, Sist! Beda-lah yaaa sama yang sejuta perbulan.. PLAK! "Awwwsshh.. kok aku dipukul pakai berkas sih Mas!? Udah syukur-syukur nih ya panas-panas kayak gini aku mau pulang. Mau ambil berkas, itu berjuang lohhh Mas! Nanti uang jajan aku ditambah ya—ummbbhhhh..” Kesal dengan celotehan adik sepupunya yang biadab dan selalu membuatnya kesal itu, Dana membungkam bibir mungil Elya dengan tangan besarnya. Bibirnya kemudian berbisik, "Habis makan jengkol, ya, kamu? Lancar banget minta rupiah terus. Sekali lagi panggil saya ‘Mas’ di kantor, siap-siap kamu bakal jarang ketemu sama Ghibran-mu itu." Dana kerap mengancam dengan membawa-bawa nama sahabatnya—Ghibran. Karena Elya hanya akan bisa menurut jika berhubungan dengan Ghibran. Setelah itu, dengan tidak berdosanya Dana melepaskan Elya yang sudah tidak berdaya. Gadis itu menggeram karena kini penampilannya tak layak untuk dilihat. Acak-acakan! "Kamar mandi-kamar mandi.." Elya berjalan gontai. Kini yang ia perlukan adalah kaca besar kamar mandi sebelum memasuki ruang meeting tersebut. Di dalam kamar mandi pun Elya masih mendumel. Ia kesal setengah mati dengan kakak sepupunya yang selalu menjaga image itu! Padahal jika di dalam perkumpulan keluarga, ia tidak pernah bersikap semenyebalkan ini. Apalagi sampai membawa-bawa Ghibran. “Awas saja kamu, Mas! Nggak ada yang bisa memisahkan Mas Ghibran dari aku. Soalnya aku yakin kalau di buku jodoh, namaku sama nama Mas Ghibran itu bersebelahan!” Teringat akan pria dewasa yang berhasil membuat Elya gila berkali-kali itu. Elya pun memutuskan untuk menghubungi Ghibran. Lamanya hanya terdengar suara nada sambung. Ketika Elya hampir menyerah menelepon Ghibran siang ini. Suara bariton di ujung sana pun terdengar juga. “Halo? Ada apa, Elya? Maaf, saya sedang sibuk.” “Oh Mas Ghibran lagi sibuk ya? Pasti nggak sempat makan siang deh..kasihan banget. Aku bawain makan siang ke kantor Mas Ghibran, ya?” “Eh nggak usah Elya! Saya sudah pesan makan siang.” “Ahh yang benar, Mas? Pokoknya, Mas Ghibran harus makan yang teratur. Nggak boleh telat, ya! Tapi Mas Ghibran tenang saja, nanti kalau Mas sakit. Ada Elya yang siap merawat—“ “Elya? Maaf, saya sibuk. Ada apa menelepon?” “Nggak ada apa-apa sih, Mas. Tapi nanti kalau pulang kerja dibarengin sama Mas Ghibran juga boleh kok..nggak nolak sama sekali!” Terdengar helaan napas di ujung sana. Ghibran pun berkata, “Boleh, Elya. Nanti sore saya jemput. Sekalian saya juga ada perlu dengan Dana.” “Oke! Makasih ya, Mas Ghibran.” Tuttt…tuttt.. “Love you!! Yaaah..keburu dimatiin. Kebiasaan deh,” ucap Elya dengan raut wajah sedihnya. Ghibran memang sepertinya belum bisa diluluhkannya. Meski sudah hampir satu tahun ini Elya berusaha mengejar, menciptakan kemistri, hingga selalu menyusun berbagai cara untuk mendekatkan dirinya pada pria seumuran kakak sepupunya itu. Tak peduli dengan usianya yang terpaut tujuh tahun dengan Ghibran yang seumuran dengan kakak sepupunya, Elya nyatanya tetap nekad mencintai Ghibran! Toh juga selama ini Elya berhasil mendekatkan dirinya pada keluarga besar Ghibran. Semua orang di keluarga Ghibran suka dengan keramahan Elya. Selain ramah, ceria dan selalu menebarkan aura positif, Elya nyatanya juga sangat pandai. Jadi, tak hanya cantik paras dan sedikit matre saja..Elya juga gadis yang pandai. Tetapi, mengenai isi hati seseorang tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri. Meskipun Elya hampir menempati posisi sempurna tanpa celah. Ghibran ternyata sulit membuka hatinya untuk Elya yang gelagatnya selalu menunjukkan pada dunia bahwa mereka menjalin hubungan. “Mas Ghibran!” seru Elya tanpa bisa dikomando. Padahal posisi mereka masih di kantor Dana. Terlebih kini..Elya tengah berdiri di belakang bos di kantornya tersebut. “Selamat sore, Pak Dana.” “Selamat sore juga, Pak Ghibran. Kita langsung saja berbincang di ruang kerja saya,” ajak Dana yang langsung membuat senyum ceria Elya luntur seketika. Ketika Ghibran sudah masuk terlebih dahulu dan hanya menyapa singkat Elya. Elya pun menarik pelan jas hitam yang saat ini melekat pada tubuh kekar Dana. “Iisssshh…ada apa?” “Mas—eh Pak, saya boleh ikut masuk?” “Nggak boleh! Kamu tunggu di luar. Ayo, Namira. Masuk!” Elya yang kesal hanya bisa mempout bibirnya hingga maju beberapa senti. Ia kesal karena posisinya di kantor kakak sepupunya ini tidak sekuat Namira yang menjabat sebagai sekretaris pribadi Dana. Karena hal tersebut membatasi ruang Elya untuk bisa mendekatkan diri pada Ghibran. Ah..bukan hanya perihal mendekatkan diri! Memandang saja seperti dipersulit! Hanya menjadi seorang assisten manager sudah merupakan pencapaian luar biasa di dalam hidup Elya. Di usianya yang masih muda ini, ia sudah bisa menduduki jabatan itu. Jabatan tersebut didapatnya dari hasil kerja kerasnya sendiri dan bantuan Dana—kakak sepupunya. Tetapi, meskipun kenyataannya Elya juga dibantu oleh orang dalam, tidak dapat dipungkiri bahwa alasan utamanya menjabat sebagai assisten manager adalah karena si cantik itu pintar dan ulet. Sehingga Dana tidak pernah salah mengambil keputusan untuk menyekolahkan Elya hingga jenjang pendidikan tinggi. Dan, yang lebih menguntungkan Dana adalah pendidikan yang ditempuh oleh Elya begitu singkat. Saking ambisiusnya si cantik yang tak lain dan bukan adalah adik sepupu Dana tersebut! Dengan sabar Elya menunggu ketiga orang yang tengah berbincang di dalam ruangan kakak sepupunya itu. Sesekali ia melakukan peregangan ototnya. Lelah juga meskipun bekerja seharian di ruangan ber-AC. Bibirnya sesekali juga menghembuskan udara dengan sengaja yang berhasil menerpa poni yang ditatanya secantik mungkin. Menunggu ternyata tidak enak! Tapi tidak apa-apa, karena setelah ini Ghibranlah yang akan mengantar Elya pulang. Bisa berkesempatan untuk pulang bersama Ghibran sudah merupakan upah segala rasa lelahnya hari ini. Maka dari itu, Elya bersedia menunggu hingga satu jam lamanya. Di dalam ruangan, perbincangan tentang proyek bersama itu telah usai. Namira membantu Dana membereskan berkas-berkas yang ada di meja. Sedangkan Ghibran, mulai mengajak Dana berbincang santai. Mereka berdua merupakan kawan sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga sama-sama mendirikan perusahaan dibidang yang berbeda pun mereka tetap kawan. Bahkan, kini mereka bisa saling melengkapi di dunia pekerjaan. “Kamu nggak langsung pulang, Ghib? Adik sepupu saya pasti sudah bosan menunggu di luar.” “Biarkan saja, Dan. Sesekali wanita yang dibuat menunggu. Pria sudah sering soalnya..” Kedua lelaki itu terkekeh pelan. “Ngomong-ngomong, kapan meresmikan hubungan kalian? Minimal ke jenjang pertunanganlah, Ghib. Kasihan kalau kamu terus-terusan menggantungkan adik saya.” Ghibran terdiam sejenak. Kemudian ia menggeleng, “nggaklah, Dan. Saya sudah memiliki calon sendiri—“ “Apa!?” Dana terkejut bukan main. Pasalnya selama ini, Elya yang selalu ada untuk Ghibran. Tak jarang, Elya rela dimarahi olehnya demi bisa membersamai Ghibran disela-sela bekerja. Meskipun pada kenyataannya Elya sudah selesai melaksanakan tanggung jawab kerjanya. Tapi tetap saja! Sebelum jam pulang kantor, Elya kerap membangkang dan memilih ngacir terlebih dahulu demi bisa menemui Ghibran—pujaan hatinya. “Ceritanya panjang, kapan-kapan saja saya ceritakan, Dan. Maaf kalau saya sempat memberikan harapan pada Elya. Mungkin dia menyalahartikan sikap baik saya selama ini.” “Salah kok sampai satu tahun, Ghib. Ini kamu yang keterlaluan, apa adik sepupu saya yang bodohnya kebangetan!?" Entah mengapa, meskipun Elya hanya adik sepupunya. Dana merasa kesal pada sahabatnya—Ghibran. Selama ini keduanya baik-baik saja. Dana pikir, keduanya memang tengah menjalin hubungan diam-diam. Dari sikap Elya, Dana menyimpulkan bahwa keduanya mempunyai hubungan. Sedangkan, dari tingkah laku Ghibran pun, Dana juga sudah bisa membaca keadaan bahwasannya Ghibran memang tidak pernah berubah. Selalu misterius dan tidak suka mengumbar kedekatan dengan wanita mana pun. Seperti sekarang ini.. “Lalu, bagaimana nasib Elya, Ghib?” “Ya mau tidak mau, saya harus segera menjelaskan yang sejujur-jujurnya pada Elya. Saya yakin, dia akan mengerti. Dibalik sikapnya yang kekanakan, Elya merupakan gadis yang pandai. Mungkin selama ini dia sudah peka bahwa saya tidak memiliki perasaan yang lebih padanya.” “Semudah itu, Ghib..” “Cinta tidak bisa dipaksakan, Dan. Saya meminta maaf.” “Jangan meminta maaf pada saya. Karena yang paling tersakiti setelah ini adalah Elya,” kata Dana dengan meregangkan dasi yang melilit lehernya. Ia sungguh gerah dan merasa emosi dengan keputusan Ghibran. Tetapi ada benarnya juga apa kata Ghibran, bahwasannya cinta memang tidak bisa dipaksakan. Mau secantik atau semenarik apapun seorang wanita, bila memang si pria tidak pernah mempunyai rasa padanya. Maka segala kelebihan yang ada padanya tidak akan memberikan mantra cinta! Namira pun telah usai merapihkan berkas-berkas milik Dana. Meskipun sedari tadi ia memasang telinganya baik-baik untuk menguping perbincangan dua pria seumuran tersebut, Namira tetap saja bungkam dan tidak akan ikut campur dalam masalah orang lain. Ia cukup bekerja dengan baik di kantor ini demi menghidupi seorang anaknya yang sudah ditinggal selamanya oleh ayah kandungnya. Ya, Namira seorang janda beranak satu. “Mbak—eh Bu Namira, sudah selesai?” Keluar dari ruang Dana dan langsung ditanya oleh Elya membuat senyum Namira terlihat dan ia mengangguk. “Tunggu saja, Elya. Sebentar lagi pasti Pak Ghibran keluar kok..saya permisi ya?” Selama ini, di luar kantor memang Namira dekat dengan Elya. Karena putra kecilnya yang bernama Agra juga dekat dengan Elya. Mereka bertiga kerap pergi bersama ketika libur bekerja. Kata Namira, harus sering mengajak Agra jalan-jalan agar ia merasa bahagia meski saat ini hanya hidup berdua saja dengan mamanya. “Iya, Bu. Hati-hati pulangnya! Titip salam sama si ganteng!” Namira hanya membalas ucapan Elya dengan tangan terangkat membentuk tanda ‘OKE’. Sebelum keluar dari ruang kerja rekannya. Ghibran sempat menyeletuk, “Dan-Dan..kamu itu memang sangat polos, ya?” “Maksudmu?” “Sepertinya kamu sayang sekali dengan adik sepupumu itu—“ “Ya sayanglah, Ghib! Adikku..” “Bukan sayang sebagai kakak-beradik, tapi sebagai pria yang menyayangi seorang wanita. Aku permisi, mau antar pulang Elya. Kamu hati-hati menyetirnya! Jangan kepikiran omonganku barusan.” “…..….” Sayang sebagai pria yang menyayangi seorang wanita? Dana masih diam tak berkutik. Pikirannya berkelana. Suatu hal yang selama ini tidak pernah disadari oleh Dana. Namun ternyata dirasakannya selama ini. Hal tersebut adalah rasa cinta. “Masa iya saya jatuh cinta dengan adik sepupu saya sendiri? Itu tidak mungkin, Dana! Elya bukan tipe kamu. Apa jadinya jika saya menikahi Elya? Bisa-bisa, bangkrut perusahaan saya ini!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD