Bab 4

1045 Words
"Kok, anda mau melakukan hal ini?" Seorang teman suamiku itu mendekat dan bertanya dengan wajah heran. Ah, seandainya dia tahu kalau aku begitu tulus mencintai suamiku, mungkin dia tidak akan bertanya seperti ini. "Apa anda mempunyai telinga yang tidak bisa mendengar dengan baik?" tanyanya lagi setengah berteriak. "Baik, ternyata kau bukan hanya tidak punya hati dan perasaan, tapi sepetinya tubuhmu juga tidak ada di sini," lanjutnya. Aku terdiam sejenak, lalu mendongakkan kepala menatapnya. Ya, kini aku sedang berada di bawah kakinya. Tepatnya, aku diminta Mas Bagaskara untuk membersihkan kakinya dengan air hangat. Mata gadis itu menatapku nanar, bahkan mungkin buliran bening itu akan segera jatuh. Hanya tinggal menunggu waktu saja. Aku tersenyum lebar. "Aku tidak apa-apa. Cinta yang membuatku kuat dan mampu untuk melakukan banyak hal," lirihku. Terlihat dari sudut mata suamiku melemparkan tatapan tajam. Entah karena dia tidak mau aku jadi pembangkang atau mungkin dia sudah jenuh dengan sikapku. Namun, aku memilih untuk pamit undur diri, dan berlanjut membersihkan dapur. Setiap hari aku habiskan hanya untuk melakukan perintah yang keluar dari bibirnya. Ingin aku menyerah, tapi ... rasa cinta yang ada di dalam d**a tidak mengizinkan. Terlebih ke mana aku akan pergi kalau meninggalkan tempat ini. "Aku akan memberikan kau dua pilihan. Pertama tinggalkan aku dan rumah ini dan kedua pun sama!" titahnya lagi membuat air mata tiba-tiba menetes. *** Pagi-pagi sekali aku pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Meski makanannya akan dimuntahkan tepat di depan wajahku, ya sudahlah, yang penting aku sudah membuat. "Kapan kau akan pergi dari rumah ini?" Mas Bagaskara berjalan ke arahku yang sedang membersihkan halaman rumah. Sebenarnya mama mertua sudah meminta tukang kebunnya untuk ke sini, tapi aku bilang kalau aku mau mengerjakannya sendiri. "Apa kau sungguh sudah tidak punya rasa malu?" Aku tersenyum tipis, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Memotong, menyiram, dan menyapu rumput yang berserakan sampai bersih. Kata-katanya memang menyakitkan, tapi apa yang dikatakannya tidak salah, jadi aku juga tidak punya hak untuk membantah. "Kau tuli atau kah memang sudah tidak menginginkan telingamu itu terpasang sempurna?" bentaknya lagi. "Aku cinta padamu, Mas, jadi mana mungkin aku pergi meninggalkan kamu?" jawabku sambil melemparkan maut ke arahnya. Jika mengatakan hal itu mungkin wanita lain akan mendapatkan balasan yang indah dan sangat romantis, tapi tidak dengan aku, si wanita yang tidak beruntung ini. Aku mencintai lelaki yang hanya punya rasa benci untukku. "Mimpi! Ingat, ya, Papa dan Mama sedang berada di luar negeri. Kapan pulangnya masih tidak bisa dipastikan, jadi di antara kita memang sebaiknya diakhiri sekarang juga!" teriaknya membuatku sadar bahwa selama lima tahun pernikahan ini dia hanya pura-pura baik di depan orang tuanya. Kenyataan yang baru aku tahu beberapa hari ini membuat hatiku hancur. Rasanya tidak ingin lagi aku menatap dunia. Namun, tidak ada yang bisa aku lakukan selain bersyukur karena dia tidak benar-benar menyeret tubuhku untuk keluar dari rumah ini. "Terlebih, aku mencintai wanita lain," lanjutnya membuatku terpaku. "Iya, Sayang. Ini aku sedang berusaha mengusirnya pergi, tapi sayangnya dia begitu tidak tahu malu," ucapnya di telpon. "Iya, secepatnya dia akan pergi dari kehidupan kita, lalu menikah," lanjutnya dengan wajah yang berbinar. Wajah yang bahkan tidak pernah ia tunjukkan padaku meski sesaat. Apa dia bilang, menikah? Semudah itu dia membuka hati dan kembali menyuburkan cinta padahal ada hati yang sedang terluka dan tersiksa? Tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja, lalu jatuh ke pipi. Sakit, sakit sekali. Selama ini aku memang tidak peduli dengan apapun yang dia katakan di telpon, meski dia bilang mencintai wanita lain. Sebelumnya aku berpikir hal itu tidak mungkin, tapi sekarang aku yakin dia memang tidak sedang main-main. "Kenapa? Kau mendengar apa yang aku bicarakan pada wanita yang kucintai, kan?" tanyanya sambil melipat tangan di d**a. "Bukankah kau sudah pernah bilang akan memaafkan apapun yang kulakukan kecuali perselingkuhan?" Tubuhku ambruk menimpa sebuah kursi, untung saja tidak kena ujungnya. Aku memilih diam. Rasanya terlalu malas untuk menanggapi pembicaraan tentang kesalahan kita yang selalu diungkit-ungkit. Sementara dia sendiri tidak pernah ingat dengan kesalahannya. "Kau!" teriaknya lagi, tapi aku masih diam. Biarlah apa yang dia katakan, yang jelas saat ini aku sedang tidak ingin bicara. *** Hari ini aku membersihkan rumah tanpa mengatakan apapun padanya, tapi dia tetap tidak bisa berhenti untuk memberikan perintah. "Lap sepatuku!" "Cuci baju baru yang ada di lemari itu dengan tanganmu sendiri!" "Lap semua sudut rumah tanpa ada yang tertinggal!" Dari tadi yang tidak bisa istirahat bukan hanya tangan dan kakiku, tapi juga telinga karena tidak berhenti mendengarkan perintah yang kesannya tidak masuk akal. Dia sepertinya hanya menginginkan aku lelah dan tidak berdaya. Untung saja cinta, kalau tidak mungkin aku akan menyiramkan air panas padanya. Siang ini aku tidak masak karena Mas Bagaskara sudah keluar rumah. Jadi, aku hanya memilih berbaring di tempat tidur dan makan dengan tenang. Sejak kepergian mertua ke luar negeri, hidupku berubah drastis. Bahkan, kamar besar yang dulu menjadi tempat aku tidur, kini berubah menjadi gudang. Kamar itu diambil alih Mas Bagas. "Ayo, makan yang banyak." Suara Mas Bagas tiba-tiba terdengar. Aneh, perasaan dari tadi enggak ada mobil yang masuk. "Sudahlah, wanita itu memang selalu memasak untukku. Jadi sekarang kamu cukup nikmatin saja," ucapnya lagi. Sepertinya dia tidak datang sendiri dan yang dibawanya adalah seorang wanita. Pasti akan dia gunakan untuk memanas-manasi aku lagi. Enggak akan mempan. "Iya, aku sudah tahu bagaimana sikapnya. Pokoknya dia itu memang kebal dari rasa malu. Jadi, jangan sampai kita mengalah padanya," ucap Mas Bagas lagi. Daripada mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut pedasnya itu, aku memilih untuk makan makanan ringan lagi. "Kamu enggak usah nyuci pakaian, bawa saja semuanya ke sini, dan biarkan dia yang mengerjakannya. Tanganmu terlalu berharga untuk menyentuh sesuatu yang kotor." Lagi, dia mengatakan hal yang sungguh tidak enak didengar. Emang dia pikir aku pegawai londry apa, bisa-bisanya dia memberikan saran yang begitu buruk. Keadaan hening seketika. Tidak lagi terdengar perkataan yang pedas dari mulutnya dan hal ini membuatku semakin tertarik untuk melihat siapa wanita yang dibawanya kali ini dan ada profesinya. "Iya, gapapa. Mumpung ada dia dan gratis lagi. Jadi, kita enggak usah mengeluarkan uang dan kamu juga jadi gak capek," ucapnya lagi dengan suara yang lembut. Berbeda jauh dengan caranya berbicara padaku. Aku berjalan beberapa langkah menuju ke tempat di mana mereka berada. Benda yang berada di tanganku jatuh ke lantai karena tubuh yang terasa tidak ada lagi tenaga ketika melihat siapa yang duduk di samping suamiku itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD