Bab 5

1036 Words
Kenapa bisa? Bagaimana mungkin teman yang aku anggap sejati ternyata bermesraan dengan suamiku? Kenapa mereka bisa sekejam ini? Aku menatap mereka dengan tangan yang disimpan di d**a karena sakitnya luar biasa. Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku? Jarak di antara kita semakin menipis dan mereka malah terlihat lebih mesra dari sebelumnya. "Tadinya aku ragu untuk bawa kamu ke sini karena takut perasaannya hancur, apalagi dia orangnya 'kan berperasaan. Cuman malah semakin tidak tahu malu, makanya aku ajak kamu ke sini," jelas Mas Bagas membuat hatiku semakin hancur. "Iya, Mas. Aku juga enggak habis pikir kenapa dia begitu tidak tahu malu. Memalukan!" teriak Kania, sahabatku. Aku menjatuhkan gelas kaca yang dari tadi dipegang. Bahkan, aku sendiri tidak sadar kalau dari tadi aku membawa ini dan suara gelas yang terjatuh itu membuat mereka berdua menatapku. "Oh, kau di sini rupanya. Syukurlah, jadi, aku tidak perlu repot-repot memberitahumu yang sebenarnya." Mas Bagas melemparkan tatapan kemenangan dengan tangan yang menggenggam tangan Kania. Aku meremas pergelangan tangan dan berjalan ke arah mereka dengan perasaan yang hancur. "Jadi, kamu orang yang dimaksud Mas Bagas selama ini?" Kania melirik sekilas ke arah Bagas, lalu menatapku. "Iya. Tadinya aku pikir kau akan langsung pergi, tenyata ... aku sungguh tidak habis pikir kalau kau adalah pengganggu kebahagiaan kami. Andai saja kau pergi dari dulu, mungkin kita sudah bersama, menikah, dan punya keluarga yang bahagia." Ia berbicara panjang lebar tanpa memedulikan perasanku sedikit pun. Kenapa sahabat yang selalu ada suka dan duka jadi seperti ini? Kenapa satu-satunya orang yang selama ini aku percaya malah menjadi orang yang mengkhianatiku juga? Aku terjatuh lemas di lantai, tapi mereka masih menunjukkan kemarahannya. Sungguh tidak berprikemanusiaan. Ingin rasanya aku marah, tapi apa siapa? Aku sendiri yang terlalu bodoh sudah mempertahankan perasaaan ini. Aku pikir Mas Bagas perlahan akan luluh dan mulai membuka hatinya, ternyata dia malah semakin membuatku tidak berdaya. Tidak sanggup melihat mereka yang saling tatap penuh cinta, aku kembali ke kamar, dan menangis dalam diam. Andai saja aku punya orang tua, apa aku akan tetap mengalami hal seperti ini? Kalau mertuaku yang baik hati itu tidak pergi ke luar negeri, apa mungkin kalau aku tetap mengalami hal ini? Isakan yang sudah aku tahan, akhirnya lolos juga. Aku tidak bisa lagi memendam perasaan yang sepertinya akan segera hilang. 'Bangun Vania, kamu cantik, kamu baik, kamu enggak pantas tinggal di rumah ini dalam kesengsaraan.' 'Pergilah, Vania. Tinggalkan Bagaskara dan biarkan dia menyesal karena sudah menyia-nyiakanmu.' Ternyata aku tertidur dalam tangis dan ada seseorang, lalu membisikkan kata demi kata yang membuatku tersadar kalau tinggal di sini akan membuatku semakin tersiksa. *** Malam ini aku bangun dari tidur dengan keadaan kepala yang sakit, semangat hilang. Entah kenapa rasanya lebih menyakitkan ketika membayangkan sahabatku adalah orang yang mencintai suamiku dan pengkhianat sebenarnya daripada sebaliknya. Aku tidak pernah merasakan sakit seperti ini ketika mendengar Mas Bagas mengatakan kalau dia mencintai wanita lain, bahkan membisikkan kata-kata mesra. Aku sama sekali tidak goyah. Akan tetapi, berbeda dengan sekarang. Hidupku seketika porak-poranda ketika membayangkan jika pada akhirnya mereka menikah tanpa memikirkan luka hatiku. "Sediakan makanan, kita mau makan malam!" Mas Bagas melipat tangannya di d**a dan menatapku tajam, tapi sayangnya hal itu sudah tidak mempan lagi bagiku. Aku berjalan ke arah dapur dan bersikap seolah tidak melihat mereka, lalu memasak makanan kesukaanku, dan membawanya ke kamar. Bahkan aku mencuci kamarnya dan mendorong beberapa benda berat agar tidak ada yang bisa membuka pintu. "Vania! Hei, orang yang tidak tahu diri!" teriaknya yang terdengar menendang pintu, tapi aku berpura-pura tidak mendengar apapun, dan makan dengan lahap. "Vania, bukan pintunya atau aku dobrak!" Silakan saja kalau kau bisa, Mas. "Dasar wanita tidak tahu malu, padahal tinggal di sini karena numpang, tapi gayanya sudah selangit!" ucapnya sombong. Benar, aku mau tinggal di mana kalau pergi dari sini? Setidaknya aku harus punya pekerjaan dan penghasilan. Jadi, semoga saja hidupku nanti tidak begitu menyedihkan. Tapi di mana aku bisa bekerja? Bahkan aku sudah tidak punya ponsel karena sudah dipakai untuk biaya ke dokter. Ah, iya, aku harus pergi ke rumah Mama mertua untuk meminta bantuan kepala maid di sana. Aku mengusap perut, sekarang terdapat buah hati di sini. Jadi, aku harus bertahan dan harus menjadi wanita yang kuat. "Awas kalau kau keluar, ya!" teriaknya lagi sambil menendang pintu kamar. *** Malam sudah semakin larut, tapi mata tidak kunjung bisa terpejam. Berulang kali aku memikirkan rencana agar bisa hidup di luar dengan baik, tapi semua itu rasanya tidak mungkin kalau aku tidak berani mengambil keputusan. Karena tenggorokan terasa kering, aku terpaksa harus keluar untuk mengambil air minum yang ada di dapur. Baru saja aku berjalan beberapa langkah dari pintu, Mas Bagas menatapku tajam, dan menarik tanganku sampai masuk ke kamarnya. "Apa yang kau lakukan tadi, hah? Bukankah kau sendiri yang bilang kau akan melakukan apapun yang aku perintahkan! Tapi tadi apa?" tanyanya sambil berteriak. Sebelumnya mungkin aku akan menangis kalau mendengar perkataan seperti ini dari orang yang aku cintai, tapi tidak untuk sekarang. Sejak tadi dia dekat dengan Kania, aku jadi sadar kalau cinta yang aku miliki itu bukan cinta, tapi kebodohan. Cinta itu tidak saling menyakiti, tapi menghargai. Cinta bukan tentang melukai, tapi menyayangi dengan sepenuh hati. Kalau memang cintaku hanya bertepuk sebelah tangan, bagiku itu bukanlah masalah. Namun, berbeda jika dia sudah membuat keputusan untuk menikahi sahabatku sendiri, tandanya aku harus mundur. Aku mengambil napas panjang, lalu menatapnya erat. "Aku sudah tidak peduli dengan apapun yang kau lakukan, Mas dan dengan siapapun. Sekarang aku sudah tahu kalau kamu sudah tidak ada lagi di hari ini," ucapku tegas, lalu mendorong tubuhnya. Baru saja aku hendak berlari, dia kembali menarikku, dan menahanku di dinding kamarnya. "Kenapa? Apa kau cemburu melihatku dengan Kania? Bukankah dari dulu aku sudah memintamu untuk pergi, tapi kau malah bersikap tidak tahu malu, dan bertahan di sini?" cecarnya. Aku terkekeh. "Sudahlah. Intinya sekarang aku sudah sadar kalau aku tidak lagi cinta padamu, Mas," ungkapku jujur, tapi tangannya malah mencekal tanganku erat. Mas Bagas mendekatkan wajahnya padaku. Saking dekatnya, orang akan mengira kami sedang melakukan adegan dewasa. Dengan berani, aku menatapnya nyalang. "Kenapa, Mas? Sebenarnya yang salah itu bukan aku, tapi kamu. Aku cemburu salah, aku enggak cemburu juga salah. Aku katakan cinta salah, dan sekarang ketika aku mengatakan sudah bisa melupakan kamu juga salah. Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Mas?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD