Pelet

1344 Words
6 bulan kemudian, setelah Aga menyelesaikan tugas dari kiyai Darhami dengan melakukan puasa selama satu minggu sebagai bentengan awal untuk dirinya. Setelah selesai satu minggu, kemudian ia melanjutkan level berikutnya, puasa selama 14 hari dan sampai di puasa yang ke 40 harilah ia ssdikit demi sedikit mulai mengalami peningkatan untuk meradar makhluk astral yang ada di sekitarnya. Tentu itu dengan pengawasan ketat Yusuf yang terus menerus mengingatkannya untuk tidak berlebihan. Terlepas dari pada niatnya, Yusuf memberi tahu Aga bahwa jangan berharap ingin bisa ini dan itu. Apalagi meminta lebih. Semuanya ini semata-mata untuk dorongan kita agar lebih giat lagi dalam beribadah. Adapun bisa, itulah lebihnya dari apa yang Allah berikan. Juga tak lupa bahwa ingin menjerumuskan diri untuk mempelajari dunia spiritual itu perlu menguatkan akidah dan diri kita. Agar tidak mudah goyah tertipu oleh jin jahat atau bahkan iblis sekalipun. Aku dan Aga masih setia menemani Yusuf kemanapun saat ia akan mengobati orang. Sedikit banyaknya kami sudah mengalami hal-hal yang biasa berbaur dengan dunia mistis. Hari demi hari pun telah kami lewati. Yusuf, sahabat baik kami, anak dari guru kami ini akhirnya melepas status lajangnya. Ia menikahi seorang wanita cantik nan solehah, murid dari bapaknya sendiri. Di hari-hari pengantin barunya, ia sangat terlihat lebih ceria. Kami pun ikut senang. Di satu sore kami mengobrol di area padepokan milik bapaknya Yusuf. Membicarakan masa depan, membahas ini dan itu. Tentu tak ketinggalan membicarakan tentang percintaan. Bagaimana nanti aku dan Aga selanjutnya menempuh jenjang pernikahan. Siapa yang duluan diantara kami. "Akhir-akhir ini ada yang berubah dari Fitria," kataku dengan spontan. "Berubah gimana?" tanya Aga sembari wajahnya menengadah ke atas. "Ada yang sedikit aneh aja. Setelah ketemu terakhir di sekolah sama dia. Dia kayak bete gitu ke ane. Gak ada hujan gak ada angin padahal. Pokoknya berubah banget," paparku. "Lah Di, namanya juga bobogohan. Pasti aya rasa bosen mah," celetuk Aga. "Eh tapi heueuh. Muka ente rada aneh. Aura karismanya kaya ada yang nutup," tambah Yusuf. "Ah yang bener ? coba dong bantu dicek!" pintaku pada Yusuf. Kemudian aku memejamkan mata, dan mencoba merasakan ada apa di dalam diriku sebenarnya. "Coba sekarang buka mata ente. Terus ente ke dalem tuh ngaca. Liat ente lagi sama siapa!" kata Yusuf yang langsung membuatku tidak ingin mendekat cermin. Dengan detak jantung yang sudah mulai tak normal, aku terpaksa menghampiri cermin besar itu. Mulanya kulihat diriku baik-baik saja. Setelah aku akan membalikan tubuhku, aku sangat terkejut sekali dan langsung tubuhku terasa panas dingin. Kulihat ada sosok makhluk halus yang sangat buruk rupa yang menempel di belakang tubuhku. Ia tepat berada di punggungku, seperti sedang kugendong. Aku hanya menghela nafas panjang berkali-kali. Dengan langkah yang sedikit agak berat, sambil hatiku terus membaca ayat-ayat amalan, aku kembali ke arah kedua temanku. Aga hanya terdiam melihatku penuh keanehan. Karena dia tidak bisa melihat makhluk halus itu secara dzahir. Dan tidak mengetahui apa sebenarnya yang ada di tubuhku. "Bawa dari mana ente makhluk ini?" tanya Yusuf. "Ane juga gak tau ini dari mana," jawabku dengan nafas yang sedikit terengos-engos. Yusuf kemudian memejamkan matanya sejenak. Lalu ia menarik makhluk yang ada di tubuhku itu. "Ini ada sangkutan nya sama pacar ente," kata Yusuf sambil mengusap kedua mataku, menutup kembali auraku. "Oh iya ane paham. Ada yang suka sama pacar ente, tapi ente ditutup sama orang itu," kata Aga melirik Yusuf. "Iya benar," kata Yusuf. Hari ini perasaanku sangat gelisah sekali. Yusuf menyuruhku agar aku bisa melawannya. Dan dia meyakinkanku bahwa makhluk yang tadi tidak akan kembali menempel di tubuhku. Malam harinya aku ngobrol dengan bapakku di rumah. Ditemani dua gelas kopi dan makanan ringan. Kami membicarakan sepupuku yang meninggal satu minggu yang lalu, yang meninggalnya memang tak sewajar. "Hati-hati kalau sudah berurusan di dunia spiritual Di!" kata bapakku yang sebenarnya bukan kali ini saja beliau bicara seperti itu. "Abah gak mau kamu ..." kata bapakku lagi yang langsung kupotong saja omongannya. "Bah, azal Allah yang udah ngatur. Adapun sebab musababnya seperti apa kita tidak akan pernah tau dan tidak akan bisa menghindar darinya. Kalau memang sudah saatnya Allah menginginkan seperti itu maka terjadilah," kataku dengan penuh hati-hati. "Abah sangat kehilangan sama sepupu kamu. Karena dia orang baik. Dan ia meninggal ..." kata bapakku yang kupotong lagi. "Bah, udah pamali." Kataku. Beliau hanya terdiam, dan aku meninggalkannya sendirian. Aku segera pergi ke kamar. Sebelum tidur, aku dikejutkan oleh sebuah chating dari Fitria. Yang isinya mengajak untuk mengakhiri hubungannya denganku. Sudah cukup lama kami pacaran, akhirnya kandas juga. Aku sangat yakin bahwa ini bukanlah keputusan Fitria yang murni. Ini bukan kemauannya. Aku terus berpikir bahwa dia memang benar terkena pelet. Tadinya mataku sudah lelah ingin tidur. Kini malah sebaliknya. Kubalas pesannya berkali-kali, namun dia tetap tidak membalasnya. Aku hanya ingin menanyakan alasannya dan siapa tahu itu memang keputusannya sendiri. Karena aku sangat tidak percaya dengan kejadian ini. Tapi setelah lama kutunggu balasannya, tak ada saja. Aku semakin yakin bahwa dia sudah dikuasai oleh makhluk halus kiriman seorang lelaki. Pikiranku mulai kemana-mana. Sakit hati, marah, dendam dan segalanya. Aku bahkan tidak tidur sampai pagi lagi. Setelah shalat subuh tadi, aku membaca amalan-amalanku dengan bercampur hawa emosi. Pikiran ini terus tertuju Fitria dan si lelaki yang mengganggunya. Beberapa saat aku tersadar, bahwa aku pun kalah oleh nafsu setan. Mulai sejak aku putus dengannya, aku tidak pernah menceritakan ini pada siapapun, termasuk dua sahabatku. Hari-hariku hanya dipenuhi oleh kebencian. Tapi tak ada solusi. Dua bulan sudah aku putus dengan Fitria. Semakin aku ingin membuangnya jauh-jauh dari hati dan pikiranku, malah semakin terganggu. Benar sekali, bahwa kecurigaanku pada si lelaki yang sedang mempermainkannya kini Fitria sudah menjadi miliknya. Mereka sudah pacaran mulai sejak aku putus dengan Fitria. Si lelaki itu sudah datang dua kali ke rumah Fitria. Dia juga mencoba menaruh perhatian kepada kedua orang tua Fitria. Dan yang ketiga kalinya ini si lelaki itu berniat untuk melamar Fitria. Dan dia sangat berharap bahwa lamarannya diterima oleh kedua orang tua Fitria. Tak semudah itu, kedua orang tua Fitria tak semena-mena mengiyakan siapapun yang ingin mendapatkan putrinya itu. Orang tua Fitria pun sebenarnya sudah merasakan keanehan dan curiga, dengan tingkah-tingkah aneh yang dialami Fitria. Sering menyebut-nyebut nama si lelaki itu, dan tidak pernah jelas kalau ditanya tentang hubungannya denganku. Bagaimana mau jelas, sedangkan ia memang bukan dirinya yang sebenarnya. Namun yang disayangkan, bapak Fitria saat menolak si lelaki itu dengan bahasa yang menyakitkan hati. Otomatis si lelaki itu tersinggung. Dan dia pun tentu sangat kecewa ketika melamar Fitria. Suatu hari, aku ditelpon oleh ibu Fitria agar aku bisa pergi ke rumahnya. Dengan berat hati aku memaksakan langkahku untuk ke sana. Sesampainya di sana hatiku bergetar, pilu sekali melihat keadaan Fitria saat ini. Aku sama sekali tidak kepikiran bahwa akan terjadi seperti ini padanya. Setelah si lelaki itu ditolak dengan tidak pantas, ia akhirnya membuat Fitria menjadi seperti sekarang. Dengan posisinya yang duduk bersandar di halaman rumahnya, bibirnya terus mengucap nama si lelaki itu. Tatapannya begitu kosong, dan kedua kakinya yang diayun-ayunkan. Di sana ada ibu bapaknya, dan juga ada seorang ustad yang kukenal. Karena beliau adalah seorang guru ngaji anak-anak di kampungku, juga seorang guru silat. "Eh ustad," sapaku padanya. "Di damang?" tanya ustad Nurdin padaku dengan ramahnya. "Alhamdulillah sehat ustad." Jawabku. Kami pun mengobrol, membahas tentang apa yang sedang terjadi dengan Fitria. Setelah cukup lama, ustad Nurdin menyuruh ibu Fitria untuk menyiapkan seember air. Beliau kemudian meneteskan misik ke dalam air itu. Dan setelah pula dibacakannya amalan-amalan oleh ustad Nurdin, beliau menyuruh ibu Fitria untuk memandikannya dengan air tersebut. Dengan perjuangan yang cukup lumayan, akhirnya Fitria dapat dimandikan. Dengan waktu yang tidak sebentar, Alhamdulillah Allah mengabulkan doa kami semua. Setelah dimandikan, dia langsung tersadar dan kembali normal. Namun yang membuat kami aneh seribu aneh adalah dia benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Bahkan dia sendiri bilang bahwa dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Kami semua sangat bersyukur. Selain kedua orang tua Fitria, aku pun tentu ikut bahagia sekali melihatnya telah pulih kembali. Selang beberapa hari, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Fitria. Termasuk tentang hubungan kami. Dia tidak pernah merasa kalau dia memberi keputusan saat mengakhiri hubungan kami. Ya, semuanya sudah terlewat, dan akan kami jadikan pelajaran dan mengambil hikmahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD