Setelah aroma minyak goreng dan rempah mulai mereda, malam di pendopo utama terasa lebih tenang. Udara dari halaman membawa semilir angin, menggoyangkan tirai putih di ruang makan yang temaram. Di tengah meja panjang berukir jati, sudah tersaji aneka masakan Jawa — lodeh kluwih, tempe mendoan, sambal terasi, sayur asem, dan dadar jagung hangat — hasil tangan Raden Ayu dan Mbok Darmi. Raden Arya sudah berganti pakaian, kemeja putih longgar dan celana batik gelap. Rambutnya masih sedikit basah, aroma sabunnya samar terbawa angin. Ia berjalan tenang ke ruang makan, lalu duduk di sebelah istrinya. Sementara Eyang Adiguna sudah lebih dulu duduk di kursi utama, bertumpu pada tongkat kayu yang tak pernah lepas dari tangannya. “Nah, akhirnya rampung juga,” suara berat Eyang memecah keheningan.

