Suara pintu dengan berbahan kayu jati itu berderit pelan. Ayu yang berdiri di depan cermin besar dengan bingkai ukiran wayang perak tua tak langsung menoleh.
Pandangannya masih terpatri pada pantulan dirinya sendiri — perempuan berbalut kebaya ungu tua dengan rambut disanggul separuh. Anggun, tapi matanya letih.
Pelan, ia menurunkan tangannya, melepaskan kalung mutiara tipis yang melingkari leher, lalu anting, dan cincin dari jari manisnya.
Langkah itu terdengar jelas. Berat. Terukur. Suaminya, Raden Arya.
Seperti tirah Eyang Adiguna, malam ini Raden Arya beserta istri menginap di pendopo utama. Bukan hanya malam ini saja. Lebih tepatnya, mulai malam ini. Membuat Raden Arya yang enggan denfan terpaksa menurutinya. Untuk Sekar, nanti sajalah. Untuk saat ini dirinya akan mencoba bucara dengan Ayu, untuk membuat Eyang mengizinkan mereka kembali ke pendopo Arga.
Pria itu menutup pintu tanpa suara, lalu berjalan ke arah meja panjang di sisi ranjang besar yang berjubah putih. Beskap putihnya sedikit kusut, tapi tetap terpasang gagah di tubuh tegapnya. Ia membuka satu per satu kancing di d**a, pelan tapi penuh tekanan, seolah menumpahkan kekesalan lewat gerakan kecil.
Tak ada sapaan. Tak ada ucapan. Hanya suara jam antik di dinding dan desir lembut angin dari jendela ukiran jati.
Ayu menarik napas perlahan. Tangannya berusaha membuka resleting kebaya bagian belakang yang tersangkut di lilitan rambutnya. Berkali-kali. Namun entah kenapa bisa tersangkut seperti ini.
“...Astaga,” desisnya lirih, nada frustrasi yang tak bisa disembunyikan.
Arya, tanpa sadar, menoleh. Dan untuk pertama kalinya — matanya benar-benar memperhatikan istrinya. Lengkungan bahu ramping itu, garis punggung halus di balik kebaya yang belum sepenuhnya terbuka, dan sinar lampu temaram yang memantul di kulit kuning langsat yang mulus.
Sial. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya. Tapi ia cepat memalingkan wajah, berpura-pura sibuk membuka manset di pergelangan tangannya.
Namun Ayu tetap mencoba peruntungannya sendiri. Dan suara kecil gesekan resleting itu akhirnya memancing komentar dingin dari Arya.
“Kalau kau tidak bisa, panggil pelayan,” ucapnya tanpa menatap. Nada datar, tapi ujungnya terdengar seperti ejekan.
Ayu tersenyum tipis dalam pantulan cermin. Senyum getir. “Saya tidak biasa memanggil orang lain hanya untuk hal sepele, Raden,” ujarnya pelan. “Tidak seperti panjenengan yang selalu butuh bantuan... bahkan untuk mengurus diri sendiri.”
Arya menegakkan tubuh, menatapnya lewat pantulan kaca. “Mulutmu semakin tajam, Raden Ayu.”
“Saya hanya menyesuaikan diri dengan siapa saya berbicara,” balas Ayu tanpa menoleh. Tangan mungilnya masih berusaha menurunkan resleting, tapi nyangkut semakin parah.
Hening. Lalu, langkah kaki Arya mendekat. Perlahan tapi pasti. Sampai akhirnya jarak mereka hanya sejengkal. Nafas hangatnya terasa di tengkuk Ayu.
Seketika seluruh tubuh Ayu menegang.
“Diam,” bisik Arya datar, tapi suaranya berat dan dalam.
Ia mengangkat tangan besar itu ke belakang leher Ayu, menyibakkan sedikit rambut gelungannya, lalu menarik resleting yang tersangkut dengan satu tarikan lembut namun tegas.
Suara kecil srek terdengar jelas di antara mereka. Kebaya itu sedikit melonggar di bahu Ayu.
Ayu menelan ludah. Ia bisa melihat pantulan mata Arya di cermin — mata biru terang yang tak sepenuhnya marah, tapi juga tidak lembut. Ada api di sana. Api yang sama yang dulu mungkin membuat wanita mana pun bisa jatuh cinta padanya.
“Sudah selesai?” tanya Arya akhirnya, dingin tapi nadanya menukik ke arah tertentu yang hanya bisa dimengerti dua orang yang menahan diri.
Ayu mengangguk, menunduk. “Terima kasih, Raden Arya.” Kalimat itu keluar dengan terpaksa. Ia kemudian melangkah ke arah lemari untuk mengambil selendang.
Tapi sebelum sempat pergi, Arya bersuara lagi, dengan nada yang menusuk. “Eyang memaksaku tidur di sini malam ini. Jangan berpikir aku melakukannya karena keinginan sendiri.” Nada itu tajam, tapi ada sisa emosi yang aneh — antara marah dan tersakiti.
Ayu berhenti di tengah langkahnya. Ia menoleh sedikit, menatapnya dengan mata dingin namun bergetar samar. “Saya juga tidak pernah memohon Raden untuk tetap di sini. Percayalah, saya lebih nyaman sendiri.”
Ia mengatur nada suaranya lembut tapi menampar. “Dan sesuai perjanjian pernikahan kita… jangan pernah mencampuri hidup saya. Tenang saja, tinggal lima bulan lagi semuanya selesai.”
Hening. Kalimat itu jatuh seperti belati. Untuk kedua kalinya Arya tertampar oleh perjanjian yang dia buat. Lagi-lagi dirinya yang terbiasa menjawab untuk kali ini, malam ini, Arya tak bisa menjawab.
Ayu berjalan menuju ranjang besar itu, menyingkap kelambu putih, lalu berbaring membelakangi suaminya — seolah dinding tak terlihat memisahkan mereka.
Arya berdiri di sana cukup lama. Menatap punggung istrinya yang tampak rapuh sekaligus kuat dalam satu waktu. Entah kenapa dadanya terasa berat, sesak yang tak ia pahami. Mungkin karena ucapan “lima bulan lagi” itu menggema terlalu lama di kepalanya.
Ia menarik napas keras, memejamkan mata, lalu memutar tubuh menjauh. Sekedar untuk mematikan lampu kamar. Namun sebelum lampu padam, ia masih sempat berbisik pelan — terlalu lirih untuk Ayu dengar.
“Coba saja, Ayu… kalau kau benar-benar bisa meninggalkanku.”
Ayu sudah memejamkan mata ketika suara kasur di belakangnya berderit halus. Getaran halus di sprei, langkah perlahan di sisi ranjang, cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang. Ia tahu, tanpa perlu menoleh, Raden Arya ikut naik ke atas ranjang besar itu.
Satu tarikan napas panjang terdengar di belakangnya.
Lalu desisan rendah yang seolah ingin menguji kesabarannya. Ayu menahan diri, tapi detak jantungnya berlari tak karuan.
“Apa yang kamu lakukan, Raden?” tanyanya akhirnya, lirih namun tegas, tanpa menoleh.
“Tidur,” jawab Arya santai, seolah tak ada yang salah. “Ini kamarku, jika kamu lupa Ayu.”
Ayu berbalik cepat. “Jangan mendekat.” Tatapannya menusuk — tapi lelaki itu justru mencondongkan tubuh, sengaja memperkecil jarak di antara mereka.
“Kalau aku mendekat, kenapa?” suaranya berat, serak, dan berbahaya.
Ayu bangkit setengah duduk, mencoba menjaga jarak, namun tak sempat. Tubuh besar Arya bergerak cepat, menangkap lengannya, lalu dalam sekejap dunia seolah berhenti — ketika tubuh mungilnya sudah terkukung di bawah tubuh pria itu.
“Raden!” Ayu menahan napas, tangannya otomatis menahan d**a bidang Arya yang kini hanya berjarak satu tarikan napas darinya.
Kain satin putih yang membungkus tubuh Ayu melorot sedikit di bahu, memperlihatkan kulit langsat yang halus dan hangat, beraroma melati dan cendana.
Pandangan Arya merambat. Dari wajah, ke leher, lalu turun — cukup untuk membuat pria itu menelan ludah keras-keras. Untuk pertama kalinya, ia menatap istrinya sebagai wanita, bukan sekadar pasangan perjanjian. Tubuh sintal yang nyatanya jika dipandang bisa membuat dadanya berdetak tak karuan.
“Raden… mau apa panjenengan?” suara Ayu bergetar, tapi matanya masih menatap penuh tantangan.
“Tata kramamu pada suamimu, cah ayu,” bisik Arya rendah, senyumnya miring.
“Cih,” Ayu mendesis, memukul dadanya keras. “Kenapa memanggilku seperti itu?”
“Kenapa?” Arya membalas dengan nada menggoda, kepalanya menunduk sedikit.
“Karena hanya Eyang Guna dan Wicaksana yang boleh memanggilku seperti itu, Raden Arya,” ujar Ayu, matanya berkilat tajam.
Arya tersenyum kecil. “Cah ayu…” panggilan itu meluncur lagi dari bibirnya, pelan, nyaris seperti mantera. Kali ini ia tidak sekadar menggoda — ada sesuatu di nadanya, campuran antara rindu, kagum, dan ego.
“Heh!” Ayu menatapnya garang. “Aku bukan Sekar! Jadi tolong jaga perilakumu!”
Arya terdiam sejenak, lalu membalas dengan suara yang menurun setengah oktaf. “Memang kamu bukan Sekar, cah ayu…” matanya menatap tajam ke arah Ayu yang kini megap karena emosi. “Tapi kamu istriku.”
Kata itu menggantung di udara. Berat. Menyakitkan. Tapi juga… membuat d**a Ayu seolah ditikam dari dalam. Untuk apa suaminya mengatakan itu jika ada wanita lain di dalam pernikahannya?
Ia menatapnya tajam, namun pandangan itu bergetar. “Tapi aku tidak sudi denganmu, Raden Arya.”
Dan kali ini, sesuatu di wajah Arya berubah. Guratan angkuhnya retak — ia menatap Ayu beberapa detik tanpa suara, sebelum akhirnya menarik tubuhnya menjauh perlahan.
“Baik,” ucapnya pendek, nada berat itu kembali dingin. “Simpan kebencianmu itu baik-baik. Lima bulan lagi, kau bebas.”
Ayu tak menjawab. Ia bangkit dari ranjang, meraih selimut tipis, lalu melangkah menuju sofa panjang di sisi jendela. Langit di luar pekat, tapi bulan menyorot lembut lewat celah tirai.
Arya menatap punggung istrinya — punggung yang semakin lama, semakin menjauh dengan kemarahan, tapi diam-diam mulai ingin ia sentuh. Ia memejamkan mata, menahan napas panjang, lalu berbaring terlentang di sisi ranjang.
Dari sofa, Ayu menggenggam selimut erat. Tubuhnya kaku, tapi air matanya menetes tanpa suara. Ia benci dirinya yang masih bisa merasakan sesuatu — perih, getaran, entah apa namanya.
Dan malam itu, pendopo utama seolah menahan napas.
Dua insan yang sama-sama keras kepala, sama-sama terluka, tapi di antara mereka, ada bara kecil yang mulai menyala diam-diam.