Pendopo Utama

1356 Words
Cengkeraman tangan Arya terasa perih di pergelangan tangannya. Bahkan rona merah di bawah genggaman Raden Arya, pria berdarah Jawa-Eropa yang kini berdiri di hadapannya dengan rahang mengeras dan mata biru tajam bagai bilah es. Wajah tampannya—yang dulu sering digambarkan orang sebagai anugerah—kini tak ubahnya seperti wajah seorang pria yang kehilangan kendali. Suara napasnya berat, seperti menahan amarah yang sudah mengendap di d**a. “Ada apa denganmu, Raden?” Ayu bertanya lirih, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski jemarinya mulai kesemutan. Tatapan itu menusuk. “Jangan belagak bodoh kamu, Ayu!” Nada suaranya meninggi, menggema di ruangan luas pendopo utama yang kini terasa sesak oleh hawa tegang. Ayu menatap balik, matanya teduh namun berkilat tajam. “Apa maksud panjenengan?” Arya mengembuskan napas kasarnya, “Apa saja yang kau adukan pada Eyang Kakung, hah? Kau pikir aku tidak tahu?!” Nada “hah”-nya memecah udara, membuat beberapa abdi di luar ruangan terhenti di tempat. Namun Ayu hanya diam. Dadanya berdesir getir, bukan karena takut—tapi karena lelah. Apa yang dimaksud pria ini? Sedangkan dari tadi dia hanya bicara tentang Eyang Wicaksono bersama Eyang Adiguna. Hingga ia ingat. Ia tahu siapa yang menyalakan bara ini. Sekar. Si wanita dengan wajah manis dan lidah berbisa, yang pandai meneteskan racun dalam balutan kelembutan. Dalam hati Ayu mendengus getir. “Ular berkepala dua itu pasti sudah beraksi lagi.” Raden Arya semakin mendekat. Suaranya kini lebih rendah. “Kenapa diam, Raden Ayu?” Ayu memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang. Ia tahu—membalas amarah dengan amarah hanya akan membuat semuanya semakin memanas. Tapi dia tidak akan diam. Dia akan membuat perhitungan pada Sekar. Nanti. Ketika ia membuka matanya kembali, tatapannya berubah dingin. “Saya tidak tahu maksud panjenengan, Raden Arya,” ucapnya pelan tapi tegas. “Dan apapun yang membuat Anda marah hari ini… mungkin lebih baik Anda tanyakan pada diri sendiri—atau mungkin pada wanita yang Anda rawat seperti permaisuri di pendopo Arga.” Senyum miring muncul di ujung bibir Ayu, seolah mencabik harga diri Arya lebih tajam dari pisau. “Saya tau posisi saya di pernikahan ini. Saya hanya istri di atas kertas dan hanya penjaga kehormatan panjenengan." Arya terdiam sejenak, tapi hanya sesaat sebelum kemarahannya kembali mendidih. “Ayu, jaga ucapanmu!” “Saya justru sedang menjaganya, Raden,” potong Ayu lembut. “Kalau tidak, mungkin sekarang saya sudah bicara tentang siapa yang sebenarnya mengadukan siapa.” Hening. Mata biru itu bergetar samar, entah karena marah atau karena terpukul oleh ketenangan Ayu yang tak bisa dijatuhkan begitu saja. Bahkan saat ini Arya sudah bisa melihat perangai Ayu yang tak mudah untuk diinjak begitu saja. Ayu menatapnya sekali lagi, kali ini dengan senyum samar yang anggun. “Sesuai perjanjian kita, Raden Arya,” ujarnya dengan nada datar dan halus. “tidak ada yang boleh mengusik hidup satu sama lain. Anda bebas dengan siapa pun yang Anda suka, dan saya pun bebas dengan tenang dalam diam saya.” Ia melangkah melewati Arya setelah menyentak tangan besar suaminya begitu saja, aroma melati samar tercium setiap kali langkahnya menyentuh lantai marmer. Namun sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Ayu berhenti sejenak di ambang pintu dan menoleh setengah badan. “Tenang saja, tinggal lima bulan lagi semua ini akan berakhir. Setelah itu, panjenengan bebas dari saya. Dan saya bebas dari… Raden Arya" Kalimat dengan penuh oenekanan di akhir dan bersamaan dengan langkah yang kembali menjauh. Setiap langkah terasa seperti cambuk bagi Arya yang berdiri membatu di tempatnya. Ia tak tahu kenapa dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ada sesuatu di balik kata “bebas” yang membuat d**a itu semakin perih. Suaranya sempat tercekat, tapi akhirnya hanya satu kata yang keluar dari bibirnya, nyaris seperti gumaman yang tertelan senja. “Ayu…” ---- Pendopo utama sore itu terasa tegang. Raden Arya duduk di hadapan Raden Adiguna, sang kakek yang duduk di kursi ukir, tempat favoritnya. Berwibawa, namun tatapan matanya menembus seperti bilah keris yang diasah tajam. Di sisi kanan, Raden Ayu Ratnadewi menunduk sopan. Tangan mungilnya terlipat di pangkuan. Menunggu dengan sedikit cemas, apa yang akan dibicarakan dengan Eyang Adiguna. Ayu memang memilih keluar setelah terjadi perdebatan dengan suaminya tadi. Hingga Eyang meminta mereka berkumpul. “Sudah Eyang putuskan,” Eyang Adiguna mulai berbicara. “Mulai besok, Ayu akan menggantikan posisi Sekar di perusahaan. Istrimu yang akan mendampingimu, Raden Arya.” Kata-kata itu jatuh seperti palu keputusan di ruang sidang—penuh wibawa, tanpa menerima penolakan. Arya spontan mengangkat kepala, wajahnya tegang, mata biru itu menyala antara terkejut dan tidak terima. “Eyang, tidak bisa seperti itu,” sergahnya cepat. “Perusahaan butuh stabilitas. Sekar sudah tahu alur kerja, sudah menangani klien luar negeri. Mengganti posisi—” “Cukup.” potong Adiguna dengan suara datarnya. “Apa kau lupa tata krama, Raden Arya?” tambahnya dengan nada lebih tinggi. Melihat cucunya yang cukup lancang. Hening kemudian. Arya menunduk, menahan amarahnya dengan tangan saling menggenggam. Di sampingnya, Ayu masih diam, wajahnya tunduk namun telinganya tajam menangkap ketegangan itu. “Ngapunten, Eyang,” ucap Arya akhirnya, menunduk hormat—meski tatapannya kemudian beralih pada sang istri, dingin, curiga jika yang di ucapkan Sekar benar adanya. Namun sebelum ia sempat membuka mulut lagi, suara tua itu kembali terdengar, lebih pelan tapi tak kalah menusuk. “Dengarkan dulu, Arya. Eyang belum selesai bicara.” Ada jeda. Raden Adiguna menghela napas panjang, matanya menatap lurus pada cucu laki-lakinya. “Eyang sudah menerima banyak keluhan, Arya. Dari pihak relasi bisnis di Surabaya, Jogja, bahkan satu klien besar dari Singapura minggu lalu.” “Mereka bilang, tim Maheswara Grup mulai tidak profesional. Dokumen bocor, proyek tertunda, dan yang paling memalukan—pertemuan bisnis dihadiri oleh sekretarismu yang lebih sibuk menggandeng tangan bosnya daripada mencatat hasil rapat.” Suara Adiguna serak tapi tegas. Kata-kata terakhirnya menggema keras di kepala Arya. Ayu menunduk makin dalam, dirinya tak ingin ikut menimpali. Dia memilih diam agar tak membuat Arya semakin salah paham padanya. “Aku—” “Tidak perlu menyangkal, Arya,” potong Adiguna cepat. “Eyang punya mata di mana-mana. Jangan lupakan pengaruh Eyang di pendopo Arga. Jangan kira Eyang tidak tahu siapa yang tidur di rumahmu, siapa yang keluar masuk tanpa izin.” Wajah Arya menegang. Rahangnya mengeras, giginya saling beradu tanpa suara. Tatapannya beralih cepat ke arah Ayu—tajam. Seketika, hatinya mengeras. Dalam benaknya, hanya satu nama yang muncul, Ayu. Ayu bisa menebak jika lelaki ini benar-benar menganggap dirinyalah yang membongkar aibnya di depan Eyang Adiguna. "Dia pasti yang membocorkan semua ini pada Eyang.” “Dia ingin mempermalukanku.” Namun sebelum pikirannya sempat memuntahkan tuduhan itu, suara Adiguna kembali terdengar, kali ini lebih berat. “Hilangkan salah sangkamu, Arya. Ini bukan laporan dari Raden Ayu Ratnadewimu.” “Kalau bukan dia, siapa lagi, Eyang?” potong Arya lirih, menahan bara dengan tatapan yang masih menatap Ayu yang juga menatapnya. Seakan tak ada yang perlu ditakuti. “Aku ini bukan orang sembarangan, Arya. Dunia ini kecil bagiku. Bahkan sebelum laporanmu sampai ke meja direksi, aku sudah tahu lebih dulu dari orang yang bekerja di bawahmu.” Mata tua itu menatap lurus ke cucunya. Tatapan yang dulu menenangkan kini terasa seperti vonis. “Kau boleh main api, tapi jangan mempermalukan nama keluarga Maheswara. Itu yang tak bisa Eyang maafkan.” Ayu mendongak sedikit, ingin menenangkan suasana, tapi urung. Ia tahu kata-katanya hanya akan memperburuk keadaan. Arya menarik napas dalam-dalam. Hatinya mendidih. Ia ingin membela diri, ingin berteriak bahwa semua ini bukan urusan siapa pun. Tapi lidahnya kelu di hadapan lelaki sepuh itu. Ia tahu, tak ada yang bisa membantah perintah Raden Adiguna Maheswara. “Ingat, mulai besok,” ulang Adiguna perlahan, penuh penekanan, “Ayu yang akan menggantikan Sekar. Dia akan mendampingimu setiap rapat, setiap pertemuan, setiap keputusan. Dan Sekar…” Beliau menatap Arya dengan mata tajam yang sedikit redup oleh kecewa. “Urus dia, Eyang tidak mau ada benalu di pernikahanmu.” Ayu menunduk makin dalam. Dari tatapan Arya padanya. Ayu benar-benar menyimpulkan bahwa suaminya, semakin membenci dirinya. Apalagi jika Sekar, wanita peliharaanya itu terusik. “Mulai malam ini, kamu tinggal di pendopo utama. Jika kamu memilih kembali ke pendopomu. Jangan harap bisa kembali" tekan Adiguna sekali lagi, kemudian berjalan dengan menggunakan tongkatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD