Bukan KW-an Bunda

2368 Words
"Merah apa Biru ya?" Aku sedang memilih baju untuk kukenakan ke kampus. Kugeser satu-satu deretan kain berwarna-warni di dalam lemari. Baju sebegini banyaknya, bagiku ini masih sedikit. Mataku selalu lapar akan barang baru. Lihat saja ruangan ini, ruangan yang berfungsi sebagai pemberhentian terakhir dari barang-barang yang aku beli. Nggak hanya baju rancangan desainer ternama. Tas dan sepatu yang jumlahnya puluhan pun tak ingin kalah pamor. Dengan congkaknya mereka memamerkan keunikan masing-masing di bawah sorot lampu neon yang terpasang di langit-langit lemari. Setiap kali masuk ke dalam ruangan ini, mereka mesti berteriak "Pakai aku saja." Aku perempuan yang gila belanja. Mendengar nama new item, mataku langsung bersinar bak laser ultramen. Namun yang harus kalian garis bawahi. Aku bukanlah penikmat segala macam barang. Seleraku tinggi. Keluaran luar negeri. Nama-nama brand terkenal yang sebelumnya hanya kalian tahu dari mbah google, atau insta story para artis. Aku punya lebih dari satu produk mereka di rumah. Siapa sih yang nggak kenal Bilqis Adilah Hasan? Trend center fashion. Peraih nilai cumlaude tiap semester. Model terkenal di Surabaya. Kecantikan wajah nggak usah diragukan lagi. Apalagi bentuk tubuh ... Ariana Grande mah lewat. Cowok mana yang nggak mau ngantri jalan bareng. Cuma Dodot si kutu buku yang nggak tertarik. Ralat! Bukan dianya yang nggak tertarik, tapi akunya yang ogah. Masa' cantik-cantik begini harus jalan sama si casper itu. Bisa-bisa tempat ketemu kami nggak jauh-jauh dari perpustakaan atau toko buku. Gila, aja ... nggah mau ah, jadi hantu buku juga. Akhirnya, setelah lama menimbang dan memilih berbagai macam baju, pemenangnya adalah ... Jreng-jreng! baju merah dengan panjang sebatas lutut, leher berbentuk V dan berlengan pendek. Aku yakin seyakin yakinnya, baju ini akan membuat penampilanku seseksi Madonna. Kenapa nggak pakai Hijab? Padahal bunda berhijab? Banyak yang tanya begitu, sih. Nggak Cuma kalian. Ayah saja dengan bujuk rayunya berusaha membuatku berhijab. Walau bunda berhijab. Prinsipku tetap "No hijab”biarlah orang menilai seperti apa. Aku nggak pernah ambil pusing anggapan mereka. Sebelum berangkat tak lupa make up natural aku sapukan ke wajah. Parasku memang sudah cantik, make up ini hanya untuk pemanis. Tanpa bantuan kosmetik pun aku teramat memikat. Maklum, wajah Arab warisan bunda yang bercampur ras Eropa milik ayah. Namanya juga blasteran, pastilah cantik. Ya, terlepas apa pun penyebutannya, wajah ini amat kusyukuri. "Bilqis!" Yaelah, si bunda ... nggak bisa lihat anak gadisnya lagi muter-muter di depan cermin. Maklum emak-emak, radar kepekaannya sudah terjun bebas. "Yes Mom, im coming?”teriakku. Aku menyemprotkan kesempurnaan terakhir, parfum aroma vanilla favoritku. Setelah mematut sekali lagi penampilanku di cermin, segera kulangkahkan kakiku keluar kamar. Turun ke bawah menemui bunda dan ayah yang sudah menunggu di meja makan. Bunda duduk di samping Ayah. Walau sudah tidak muda lagi, mereka selalu tampil mesra, yang lebih membuatku tak habis pikir, mereka bisa bermesraan di depanku. Oh my god, bikin baper. Mereka nggak sadar kalau anak gadisnya bukan anak kecil lagi. Kalau disuguhi adegan romantis macam begituan siapa yang nggak pengin. Harus diketahui para pembaca yang budiman. Umurku dua puluh tahun lewat setahun, tapi my Dad tetap nggak kasih lampu hijau untuk pacaran. Hidupku ngenes. Katanya sih, tradisi ayah dan bunda dulu mau diwarisin ke aku. Tahu apa? dijodohin. fix! Selain ngenes juga s**l. Kayak zamannya Datuk Maringi sama Siti Nurbaya saja, main jodoh menjodohkan. Mungkin karena zaman mulai edan. Pergaulan semakin bebas. Ayah dan bunda nggak percaya kalau aku bisa cari pendamping hidup sendiri. Aku berdiri di depan bunda dan ayah. Tatapan membunuh langsung menancap ke jantungku. Pasti kali ini kena omel lagi. Ayah memicingkan mata. Menyelisik penampilanku dari atas sampai bawah, setelah itu geleng-geleng kepala. Nggak berbeda jauh dari Ayah, Bunda pun hanya mampu mengelus d**a. Mampus aku! Siap-siap uang jajan dipotong. "Duduk,”pinta Ayah sedikit menaikan nada suaranya. Kalau seperti ini ketampanan ayah hilang, jadinya malah seram. Aku duduk di depan ayah dan bunda. Mata setajam pisau milik ayah itu menatapku lekat. Raut wajah sedih dan kecewa bunda mendominasi. Aku menundukkan kepala. Tak sanggup beradu pandang dengan manik mata bunda yang mulai berkaca-kaca. "Bilqis,”panggil ayah tegas. "Iya, Ayah?" "Kamu itu sudah dewasa. Harus bisa jaga diri. Sekarang kejahatan ada di mana-mana, pelecehan s*****l merajalela. Berapa kali ayah bilang kalau keluar rumah jangan pakai baju kurang bahan seperti itu.”Ayah memulai khotbah hari seninya. Si Ayah nggak up to date banget. ini kan trend baju 2015. "Tapi, Yah? Ini model baju yang lagi hits. Bukan kurang bahan,”jawabku lirih. "Bilqis! Ayah tidak suka ya, kalau ayah sedang bicara kamu bantah." Duh! ini mulut nggak ada remnya apa, sudah tahu ayah punya sifat otoriter masih saja dibantah. "Bilqis ... dengarkan saja, Nak.”Suara halus Bunda sedikit mengendurkan ketegangan di antara kami. Ayah pun luluh seketika. Hahaha ... Ayah selalu bertekuk lutut di depan Bunda. "Ayah tidak mengajari kamu jadi perempuan yang susah di atur. Contoh Bunda kamu." Hmmm ... tunggu sebentar lagi, jurus pamungkas Ayah pasti keluar. "Lihat penampilan bundamu. Sopan. Semua laki-laki pasti segan menggoda jika kamu berhijab.”kan bener, ayah ... ayah ... kenapa selalu membandingkan Bilqis dengan bunda? "Bilqis, Ayah dan Bunda nggak memaksa Bilqis berhijab, bunda tahu Bilqis belum siap untuk berhijab. Setidaknya baju yang dipakai Bilqis harus tertutup.”Bunda mengeluarkan wejangan-wejangan indah. Suara Bunda merdu nan halus. Andai saja aku siap berhijab. Pasti Ayah akan berhenti mengomel. Kepalaku manggut-manggut tanda mengerti. Meski ayah dan bunda kekeh banget merayu buat pakai hijab. Akunya belum siap. Karir modelku baru bersinar dan sayang jika dilepas begitu saja. Omelan mereda. Kami fokus menyantap sarapan bikinan bunda. Kalian harus coba satu hari tinggal di rumahku, dijamin betah. Keluarga kecil kami sangat hangat, Ayah yang keras tapi penyayang dan Bunda yang tegas namun penuh cinta. Bunda pernah cerita tentang kisah cintanya dengan Ayah. Kisah cinta penuh perjuangan serta pengorbanan. Namun segala perjuangan itu tak sia-sia. Kisah cinta ayah dan bunda berakhir happy ending. Hah, semoga aku pun akan mengalami kisah cinta dengan pengakhiran yang sempuna. Hari ini bunda masak makanan kesukaan Ayah, ikan gurami bakar. Kesukaanku juga sih. Aku makan dengan lahap. Bimsalabim, kurang dari 15 menit ikan gurami bakar di atas piringku tinggal tulang. Setelah itu, segelas s**u hangat pun keteguk hingga tandas. "Bilqis, mau ke kampus, kan?”tanya ayah. Aku ke kampus untuk mengambil ijaza kelulusan. Beberapa minggu lalu aku resmi diwisuda. Pasti kalian mengira aku sarjana kedokteran, ya? Tradisinya, kalau anak dokter pasti jadi dokter juga. Eits! hal itu nggak berlaku bagiku. Kalian salah besar jika mengira aku ambil jurusan kedokteran. Aku lulusan Bisnis. Berterima kasihlah pada Bunda. Bunda yang sudah bikin ayah memperbolehkan aku kuliah jurusan bisnis. Aku beranjak dari tempat duduk. Berniat pergi ke depan rumah ketika suara ayah mengurungkan niatku. "Kamu berangkat sama Ayah, sekalian nanti ikut Ayah ke rumah sakit." "Loh, Bilqis harus ke kampus dulu, Yah. Ambil ijaza. Ayah nggak telat nanti kalau nunggu aku?”sahutku menanyakan. "Nggak masalah, ayah nggak ada jadwal operasi hari ini,”balas ayah. "Oke, Yah.”Sembari kuacungkan jempolku ke udara. "Sebelumnya ganti baju dulu, pakai yang tertutup,”perintah Ayah tegas. Masa harus ganti sih, mau ganti baju apa? Dressku semuanya di atas lutut. Cari aman pakai rok sama blazer saja. Dari pada gunung bernama ayah meletus lagi. Tanpa mengintrupsi aku lantas mengganti bajuku dengan yang lebih tertutup. Setelah itu, mencium punggung tangan dan pipi bunda. Kemudian mengekor di belakang ayah menuju garasi mobil. Ayah nggak pernah mengizinkan aku bawa mobil sendiri, kalau mau kemana-mana sopir setia jadi bodyguard sekaligus tukang antar jemput pribadi. Pak Romi yang sebelumnya menjadi sopir bunda, sekarang beralih jabatan jadi sopirku. Ayah menghampiri Pak Romi yang sedang mencuci Mobil. "Pak Romi, hari ini biar Bilqis berangkat sama saya,"kata Ayah halus. "Baik Tuan,”balas pak Romi dengan sedikit membungkukkan badan. "Nanti siangan antar Ibu ke seminar, ya Pak." "Baik Tuan." "Ya sudah saya berangkat dulu." "Hati-Hati, Tuan." Ayah hanya menganggukkan kepala, melemparkan senyum simpul seraya berlalu menuju mobil yang sudah terparkir di teras depan. Walaupun ayah sudah nggak muda lagi, tapi selera mobil ayah anak muda banget, Honda Civic terbaru, dari dulu Ayah suka mobil-mobil sedan, katanya sih anggun. Hahaha... Bisa saja, sih Ayah. Mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota Surabaya. Macetnya minta ampun. Kalau senin pagi seperti ini jangan harap bisa leluasa melenggang di jalanan ibu kota. Tidak ada obrolan yang terjadi, yang ada hanya suara mas Afgan lagi nyanyi dari balik tape mobil. Dari pada bising dengerin suara deru kendaraan, lebih baik degerin si mas Afgan yang suaranya oke tawetong. "Ayah, memang nanti siang Bunda ada acara apa?" "Jadi narasumber mengenai fashion muslimah yang baik." "Oh, nanti setelah dari rumah sakit Bilqis ke tempat seminar Bunda, ya?" "Iya, sekalian temani Bunda peresmian outlet baru di sana." "Siap Ayah,”ujarku sembari mengedipkan satu mata menggoda. Perjalanan dari rumah ke kampus lumayan jauh. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya sampai juga di kampus tempatku menimba ilmu bisnis selama ini. Aku kuliah di salah satu kampus terkemuka di kota Surabaya. Nggak segera turun, aku malah asyik berkutat dengan ponselku. "Belum turun juga?”tanya Ayah, membuatku mengalihkan perhatian dari ponselku kemudian menatap ayah dengan cengiran kuda. "Menunggu Lusi, Ayah,”terangku. Sedari tadi aku chattingan sama Lusi, teman baikku di kampus. Selain best friend forever, Lusi juga rival forever. Nilai IPK kami setiap semester selalu kejar-kejaran. Walau pun terlibat persaingan sengit, kami ini laksana gula dan semut, di mana ada Bilqis di situ ada Lusi dan begitu sebaliknya. Makanya teman-teman di kelas menyebut kami Twins sister, hehehehehe.... Cuma bedanya, Lusi hidup dan dibesarkan dikalangan keluarga sederhana, Ayahnya seorang karyawan biasa di sala-satu perusahaan milik swasta dan ibunya penjual minuman keliling. Dia bisa kuliah di kampus ini karena beasiswa. Apa pun pekerjaan orang tuanya, itu tak berpengaruh bagiku. Karena berteman dengan Lusi, membuatku nyaman. Oh ya, satu lagi yang membedakan antara Aku dan Lusi, sudah sejak SMA Lusi memutuskan memakai jilbab sedangkan aku, sampai saat ini pun belum siap mengenakan jilbab. Aku tersentak kaget saat kaca mobil diketuk pelan, Ayah yang juga mendengar itu segera menurunkan kaca mobil disampingku. Memperlihatkan paras cantik Lusi yang saat itu.menggumbar senyum. "Assalamuallaikum Bilqis." “Waalaikumussalam Lusi,”sahutku menjawab salam Lusi. “Assalamualaikum Om Hasan." “Waalaikumussalam Lusi." Aku berpamitan pada Ayah, lalu bergegas turun. “Yah, Ayah tunggu di sini sebentar ya.”Ujarku yang dijawab anggukan ringan oleh Ayah. Aku dan Lusi masuk keruang akademik, disana sudah ada bu Nilam staf akademik yang siap melayani kami, bu Nilam itu orangnya rumpi abis, tiap ketemu aku bawaanya promosi produk jualannya terus, emangnya aku penadah barang apa, satu lagi! Walaupun umurnya sudah kepala tiga jiwanya bung jiwa muda bingiit. “Bu kita mau ambil Ijaza.”Ujarku setelah sampai dimeja pelayanan. “Eh, Bilqis. Ibu punya produk baru nich, parfum yang biasa dipakai Syahrini sama Nagita clawina.”Ujar bu Nilam semangat. Aku dan Lusi terkekeh pelan mendengar ucapan bu Nilam, dasar bu Nilam tinggi juga jiwa humornya. “Bu, yang bener itu Nagita slavina bukan clawina." “Masa', wah harusnya tuh bagusnya namanya nagita clawina.”Ujar bu Nilam tidak mau salah. Aku geleng-geleng kepala mendengarnya. “Iya terserah ibu aja deh.”Ujarku malas. “Gimana mau parfumnya? ambil dua ibu diskon Qis." “Gampang dah buk itu, saya kesini mau ambil ijazah, kasihan ayah saya nunggu duluar.”Sahutku mulai sebal. “Astaga ayah kamu yang cakepnya kayak Leonardo Decaprio itu kan, kok gak diajak ke sini juga?”Bu Nilam merapikan rambut dan bajunya. Aku semakin bergidik ngeri melihat tingkahnya. “Bu, maaf, saya butuh segera ijaza saya.”Oh god, akhirnya Lusi berbicara juga, gak dari tadi sih neng ngomongnya, kalau sama kamu kan nich bu Nilam langsung nurut. “Baiklah, tunggu sebentar.”Ujar bu Nilam seraya pergi mengambil ijaza kami di lemari penyimpanan. “Kenapa baru buka mulut sih.”Ujarku dengan suara amat pelan. “Sengaja, kan lumayan kamu bisa reuni sama bu Nilam.”Jawab Lusi dengan kekehan kecil. “Ih, ogah bener, rempong abis.”Sahutku sembari memainkan rambut kecoklatanku yang panjang. Bu Nilam kembali dengan dua ijaza di tangannya, sesegera mungkin kuambil ijaza milikku dan mengucapkan terima kasih pada bu Nilam. Aku segera pergi meninggalkan ruang akademik bersama Lusi, Tapi! Baru saja aku keluar dari pintu akademik, baru saja aku merasakan perbedaan suhu ruangan, langkahku terhenti oleh sosok laki-laki jangkuk dengan model rambut belah tengahnya dan baju batik keemasan, menyerahkan sekuntum mawar merah ke arahku. “Oh, my princess Bilqis, terimalah persembahan bunga mawar merah ini, bunga mawar merah satu tanda cinta, yang berarti bahwa ku cinta padamu.”Yah, mulai dah anehnya tuh orang, tapi sebentar-sebentar, itu bukannya lirik lagu ya? Gak kreatif banget. “Qis, terima aja, lumayan dapet kembang palsu.”Ujar Lusi sembari terkekeh pelan meledekku. “Apaan sih, kalau kamu mau kamu aja yang terima.”Balasku, membuat Lusi segera menggelengkan kepala. "Guci antik belinya dipasar baru, bilqis cantik terimalah cintaku.”Laki-laki yang aku tahu bernama sutejo itu melemparkan pantun cintanya padaku. “Hahaha..... Kreatif banget sih mas Tejo."Ujar Lusi sembari terkekeh pelan membuatku mencubit pinggangnya. “perut kenyang, sehabis kerja, mas tejo sayang kelaut saja, Bay!”Sahutku sembari berlalu meninggalkan laki-laki aneh itu. Lusi mencubit lenganku membuatku mengaduh kesakitan, pelototan mata jadi hadiah untukku. Lusi memang cewek top markotop, kebaikan hatinya itu loh tak ada duanya. Aku berhenti berjalan, memandang Lusi dengan mengusap lengan rampingku yang dicubit seenaknya olehnya. “Sakit tahu neng!”Ujarku cemberut. “Habis kamu jahat gitu sama Tejo.”Sahut Lusi dengan suara halusnya. “Aku tadi sudah bilang kan! Kalau kamu mau ambil saja.”Ujarka lagi sembari membuang muka. “Tejo ngasihnya buat kamu." “Aku ilfil sama dia Lusi, penampilannya itu lho.. hiiiii.”Ujarku bergidik ilfil. “Kamu gak boleh gitu Bilqis, Allah SWT telah memberikan kesempurnaan fisik untukmu, jadi alangkah baiknya jika kau imbangi dengan pribadi yang cantik pula.”Sahut Lusi menasehatiku. “Kamu udah seperti mama Dede saja Lus, iye tahu aku salah. Kagak gitu lagi deh.”Ujarku sembari membuat symbol Piss dengan dua jari lentikku. “Gitu dong itu baru namanya Bilqis.”Lusi menarik tangan Bilqis mengajaknya pergi. Aku dan Lusi berpisah di area parkir kampus, Karena Aku harus ikut Ayah kerumah sakit. Aku sempat menawari Lusi untuk kuantar pulang, tapi dia menolak, katanya masih ada urusan dikampus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD