Menghabiskan Waktu

1875 Words
Mobil ayah kembali melenggang di jalanan kota Surabaya yang tidak lagi padat, tetapi lebih lancar. Sampai hari ini aku haru terjebak macet lagi, kusuruh ayah mengganti klakson mobil dengan sirine mobil polisi. Kesel juga kalau harus berjam-jam terjebak di jalan.  "Ini hari apa, sih, Yah? Kok tumben nggak macet?" "Hari rabu,”jawab ayah singkat.  Dering posel yang tiba-tiba meraung nyaring, membuatku tersentak kaget dan cepat-cepat merogoh tas.  Wah?! sapa yang telepon? Jangan-jangan Septian cem-cemanku di kampus? Bisa amsyong kalau ayah tahu aku lagi PDKT sama cowok. Benda persegi panjang itu teraih tangannku. Loh! tapi kok gak kerasa getaran apapun. Akhirnya tanganku menyentuh benda kecil nan keras itu, aku mengeryit penuh pertanyaan, gadgetku dalam keadaan fine-fine saja gak ada notificasi panggilan. Dan anehnya suara dering telepon itu tetap terdengar nyaring. Aku mengalihkan pandangan, melihat ayah dengan memicingkan mata, Ah! Jangan-jangan nich gadgetnya ayah yang bunyi, kok ya bisa samaan sih nada deringnya, gak ada nada lain apa ayah ini, kalau kayak gini kan bikin bingung. “Ayah Hp-nya bunyi itu lho.”Ujarku sedikit kesal. “Bukan Hp milik kamu?”Tanya ayah tanpa mengalihkan perhatian dari jalan raya. “Bukan, itu punya ayah, ayah lain kali nada deringnya jangan samaan kenapa.”Sambungku lagi dengan wajah semakin ditekuk-tekuk. Ibarat kardus makanan saja diteku-tekuk, hehehe... Ayah merogoh saku celana dan mengeluarkan gadget dari dalam sana. Ayah menepikan mobilnya setelah melihat ID si penelpon dari balik layar, ayahku memang pengguna jalan raya yang terpuji. Beliau lebih memilih menghentikan laju mobilnya saat menerima telepon dibandingkan harus merugikan keselamatan dirinya dan pengguna jalan lain. “Assalamualaikum Bunda.”Ujar Ayah pada lawat bicaranya dibalik telepon. Oh! Jadi yang menelepon Bunda, hihihi..... pada gak bisa jauh-jauhan nih, baru ditinggal sebentar saja sudah telepon-teleponan. “.........................." “Iya sayang, nanti kalau pulang aku bawakan.”Oh god! Hallow Ayah, ada Bilqis nih disini. Aduh berasa muda aja nich si Ayah, pakai sayang-sayangan. Bilqis aja gak ada yang manggil sayang. Cuma ayah laki-laki satu-satunya yang manggil aku sayang. Aku juga pengen pacaran ayah! Biar ada yang manggil sayang. “........................" “Iya nanti aku titipin Bilqis, Bilqis katanya nanti siang mau ikut kamu seminar.”Ujar ayah sambil melirik kearahku. "..........................." “Waalaikum salam Bunda.”Ayah mengakhiri panggilan teleponnya, meletakan kembali benda kecil itu kedalam saku celana dan kembali melajukan mobilnya. Aku sibuk bergelut dengan pikiranku, pengen banget tahu rasanya punya pacar, kapan ayah ngizinin aku punya pacar sih? Lagian umurku bukan balita lagi, harusnya dikasi kelonggaran gitu kek, dikasi kepercayaan sedikit juga gak apa, asal boleh pacaran. “Bilqis.”Panggil ayah, memecah gelembung lamunanku. “Iya ayah.”Sahutku gelagapan. “Nanti siang jadi ikut bunda seminar.”Tanya Ayah menimpali. “Iya Yah, memangnya kenapa?”Tanyaku ingin tahu. “Nanti sekalian bawakan cream perawatan Bunda ya.”Ujar Ayah, Asal tahu saja, Bundaku itu demen banget merawat tubuhnya, mungkin karena mantan model juga ya, eh tapi aku juga gitu sih, aku anti kalau ada jerawat nonggol di wajah mulus nan putih milikku, bay-bay komedo and jerawat pokoknya. Wajar juga kalau perempuan merawat dirinya secara maksimal, buat siapa juga?  kalau Bunda mah buat Ayah, kalau aku buat kelancaran karir modelingku. “Creamnya Bilqis juga habis ayah, beliin juga ya Yah, honor Bilqis belum turun.”Ujarku sembari memasang eyes pupil memelas, tak ada jawaban dari mulut ayah yang ada anggukan kepala ringan. Yes, menghemat uang didompetku, hahaha.. tapi aku gak bohong lho, honor pemotratanku kemaren belum turun. Akhirnya mobil kami tiba di area parkir rumah sakit, lalu lalang para suster dan pasien menjadi pemandangan biasa disini. Aku dan ayah berjalan menyusuri koridor rumah sakit, ruang praktek ayah ada dipojok rumah sakit bersebelahan dengan ruang praktek om Lucky. Ayah itu dokter spesialis jantung sedangkan om Lucky dokter anak. Mereka sudah berteman sejak lama, jadi kalau mau cari saksi hidup perjalanan cinta Ayah dan Bunda ya dokter Lucky informannya. Aku sedikit sebel lihat suster-suster disini, pada ganjen-ganjen. Jalan ya jalan aja gak usah lirik-lirik ayah, apalagi kasak kusuk ngomongin  ayah, memang ayahku very handsome tapi ya gak gitu juga dong tatapannya, pada gak punya suami ya dirumah. Aku berjalan mendahului ayah, menarik tangan ayah, mengajaknya berjalan lebih cepat. Ayah mengeryitkan dahi gak paham dengan perlakuanku. Aku segera mengajak ayah masuk ketika sampai didepan pintu ruang prakteknya. Ayah duduk di singgasananya sedangkan aku duduk dikursi pasien, berhadapan dengan Ayah. “Ayah, gak risih apa dilihatin kayak gitu sama suster-suster ganjen disini.”Ujarku dengan nada suara sok marah. “cek..cek..cek.. Teryata sifat cemburuan Bundamu menurun padamu ya.”Ujar ayah sembari mengecek map-map biru didepannya. “Ih ayah, jawabannya kok malah gitu.”Gerutuku semakin sebal. “Sudahlah Bilqis, lebih baik kamu bantu ayah menghitung pengeluaran dan pemasukan rumah sakit." Ayah menyodorkan map biru beserta laptop padaku, tanpa banyak bicara aku segera mengerjakan apa yang diperintahkan ayah. Setiap akhir bulan pasti aku membantu ayah untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran dana rumah sakit. Berbakti banget kan aku, hihihih.... Kata ayah suruh belajar biar bisa megang cabang perusahaan property milik kakek Anggono orang tua Bunda. Kakek yang sangat sayang sama aku, walaupun sudah tua jiwa bisnisnya perlu diacungi jempol, aku perlu banyak belajar dari beliau, tapi sayangnya Opah Anggono dan Omah Rahayu memutuskan menetap ke Singapura, perusahaan yang di Surabaya dipegang Opah Leon adik Opah Anggono dan nantinya akan diserahkan padaku jika aku sudah memiliki suami. Suara pintu diketuk nyaring, membuatku meninggalkan aktifitas kerjaku seraya membuka pintu dan mendapati dokter Sasi berdiri didepanku dengan tas kain warna pink ditanggannya. “Ayah, dokter Sasi.”Ujarku berniat memberi tahu ayah. Ayah menghentikan aktifitas memeriksa pasien seraya berdiri dan mempersilahkan Dokter Sasi masuk. Oh ya! Walaupun ada pasien aku tetep ada didalam ruangan praktek ayah lho.. hihihihih..... “Terima kasih dokter Hasan.”Ujar pasien ayah ikut berdiri dari tempat duduknya seraya menjabat tangan ayah. “Sama-sama, jangan lupa obatnya rutin diminum ya Pak.”Ujar Ayah memberitahu. Pasien ayah hanya mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan ruangan. Dokter Sasi yang sedari tadi menunggu diluar, karena tahu ayah sedang menerima pasien kini masuk kedalam ruangan dan duduk diatas sofa. Dokter Sasi itu dokter kecantikan, umurnya masih 28 Tahun, orangnya cantik banget mirip pemain ftv kadek devi Haha...gak mungkin kan dokter kecantikan gak cantik and terawat wajahnya, mana ada pasien yang mau ditangani kalau kayak gitu. “Maaf dok, saya mengganggu kerja anda.”Ujar dokter Sasi dengan raut wajah tak enak. “Tidak apa-apa, pekerjaan saya sudah selesai dokter Sasi.”Ujar Ayah dengan senyum hangat. “Ini cream perawatan yang dokter pesan.”Ujar dokter Sasi, tadi ayah sempat menelepon dokter Sasi untuk memesan cream perawatan punyaku dan punya Bunda. Aku mengambil tas kecil yang disodorkan Dokter Sasi. Sedangkan Ayah menyerahkan uang pada dokter Sasi, hehehe..... harga perawatan milikku lebih mahal dari pada milik Bunda. Kalau bunda hanya cream siang,malam, toner dan facial foam. Kalau punyaku! Hemmm.... Komplit bok sepaket, selain cream-cream wajib, ada BB Cream sama masker vit c. Hehehe... rempong kan jadi cewek. Setelah beres dengan urusanya dokter Sasi pamit kembali ke ruangannya, maklum pasiennya banyak banget. Dari artis, istri pejabat sampai anak- anak orang kaya. Aku kembali melanjutkan aktifitas menghitung pengeluaran dan pemasukan Rumah sakit, Huh... ini kerjaan banyak banget, riweh, bejibun. Aku menatap ayah dengan wajah lelah, ayah yang melihat wajahku memelasku, tertawa nyaring kemudian mengambil alih kerjaanku. Aku tersenyum lega, akhirnya lepas juga dari angka-angka yang begitu banyaknya. Astaga! Pukul satu siang, tidak terasa waktu berputar begitu cepat. Pasti Bunda sudah nungguin di tempat seminar, tanpa menunggu lama lagi aku segera pamit pada ayah dan berlari ke luar rumah sakit. Surabaya, oh Surabaya cuacamu sungguh panas, ini panasnya sudah kayak di oven, mana aku gak bawa bedak tacap lagi, gak seru kan kalau nih bedak dimuka luntur. Ya, walaupun tetep terlihat putih, emang dasarnya sudah putih. Hehehe...  Jemari tanganku yang lentik ini, bergerak-gerak kedepan menghentikan taksi yang lewat, Nah pak sopir memang juaranya, langsung gak pakek lama aku masuk kedalam taxi. Brrrr..... hawa dingin AC mobil menerpa  tubuhku, menghilangkan rasa gerah dan panas di tubuh. Dingin..dingin empuk.. kayak permen aja empuk., gak urus dah yang penting dingin. Pak sopir bercuap-cuap mengalihkan aktifitas bersantaiku, teryata pak sopir menanyakan alamat tujuanku, langsung saja aku sebutkan Royal Plaza salah satu Mall besar di Surabaya. Tak ada satu jam akhirnya sampai jugalah aku di Mall tempat Bunda menghadiri seminar. Aku berjalan dengan anggunnya bak Cinderella, eits! Aku berhenti dan menatap penampilanku dari bawah sampai atas. absen dulu, sepatu wedges hitam "Ok", Rok hitam panjang, tank top putih plus blazer bunga-bunga warna dasar Pink “Boleh juga”terahir tas hermes hitam menyempurnakan penampilanku.  Atrium lantai satu Royal Plaza sudah dipadati lautan manusia, jiah lebay. Sebuah panggung cukup besar berdirih ditengah-tengah atrium, aku membelah kerumunan manusia yang berniat melihat acara dan berusaha menuju kursi VIP. Fiuh! Akhirnya terlepas juga dari kerumunan, berhasil..berhasil... sampai kursi VIP, aku mengedarkan pandangan mencari sosok wanita yang ingin kutemui. Itu dia! Bunda duduk paling depan sedang mengobrol dengan wanita seusianya,  Wanita yang berbincang dengan Bunda mengenakan baju kantor, mungkin manager acara ini. Kudekati Bunda dari belakang, memeluk bahunya dengan kedua tanganku, membuatnya berjingkat kaget. Bunda menolek kearahku cepat seraya mencubit hidungku ketika diketahuinya orang yang berhasil membuatnya kaget adalah putrinya yang cantik dan mempesona ini, Bunda memintaku duduk dikursi kosong disebelahnya, tempat special karena dapat mengakses langsung kearah panggung, wah! Kayak tamu undangan saja aku ini. Hiiihihih. Para model melenggang cantik diatas catwalk, menampilkan busana muslim milik para perancang baru maupun top Surabaya, salah satunya ada baju milik bunda Lho!  Aku melihat bunda begitu menikmati acara, kekaguman terlihat dari sorot matanya. Hmmm! Paling-paling bunda ngebayangin aku yang jalan disana dengan busana muslim, aduh bunda jangan tinggi-tinggi mimpinya entar jatuh lho, terus sakit deh. “Bunda ini cream titipan bunda ada disini.”Ujarku sembari menepuk-nepuk tas dipangkuanku. “Bawa Aja dulu, kata ayah kamu minta dibelikan juga ya?”Tanya bunda halus. “Huumb Bunda, punya Bilqis sudah habis, bersih total.”Ujarku menjawab memperlihatkan  cengiran kuda. “Ya udah habis ini kita langsung ke butik bunda saja ya? Siapa tahu ada baju yang menarik hati kamu.”Ujar Bunda sembari mengedipkan mata berkali-kali. “Produk Bunda bukannya baju muslim? Memang ada yang non muslim?"Tanyaku penasaran. “Iya gak ada sayang, siapa tahu dengan lihat-lihat kamu tertarik mencoba pakaian muslim koleksi bunda sekalian hijabnya juga.”Ujar Bunda sembari terkekeh pelan. “Ih Bunda, gak ayah gak bunda yang dibahas hijab mulu, kalau yang dibahas itu terus mending Bilqis pulang aja.”Sahutku sembari mengerucutkan bibir kedepan. “Bunda bercanda sayang, ya udah ayo ke butik bunda, butik bunda ada di lantai dua, desainnya seperti yang kamu minta polkadot.”Bunda beranjak berdiri dan meraih  tanganku, menariknya  pelan membuatku ikut berdiri. “Lho bunda gak jadi mengisi tutorial hijab?”Tanyaku penasaran, katanya bunda jadi tutor hijab, ini kok malah mau langsung ke butik. Wah Bunda bohong nih sama aku. “Ini jam berapa? Coba lihat jam di handphone kamu.”Ujar bunda, membuatku melihat jam di gadgetku. “Jam dua.”Jawabku singkat. “Bunda jadwal tutornya jam 11, Ya sudah selesai dari tadi. Kamu bunda tungguin gak dateng –dateng." “Maaf deh Bunda, tadi diminta Ayah menghitung pendataan tahunan rumah sakit.”Ujarku meyakinkan. “Ya sudah ayo.”Ajak Bunda, berjalan lebih dulu didepanku. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD