1

1618 Words
Bagaimana mungkin dari sekian banyak orang-orang yang dekat dengannya, hanya memori tentang gadis itu yang satu-satunya menghilang dari kepalanya? • • • Jakarta, 17 Juli 2018 Di tengah keramaian kota Metropolitan, Jakarta, seorang gadis remaja 16 tahun, yang mengenakan seragam putih biru itu berlarian membaur dengan lautan manusia yang juga memiliki aktivitas di pagi hari, demi tidak tertinggal bus Kota jurusan sekolahnya. Dengan perlengkapan MOS yang menempel di mana-mana, sukses membuat dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang juga sedang berjalan di trotoar sama dengan dirinya. Rambutnya yang panjang harus diikat sebanyak jumlah tanggal lahirnya, 15. Dengan sebuah kalung bertali rapia, juga dengan kaset DVD rusak yang menggantung sebagai berliannya. Sambil sesekali menengok jam tangan merah yang melingkar di pergelangan tangannya, ia juga berlari dengan semakin mempercepat derapnya. Tanpa peduli sorot pandang orang-orang yang melihatnya aneh, tanpa peduli dengan bulir-bulir keringat yang mengucur deras di dahinya, gadis berkacamata itu tetap terus berlari. "Pak tunggu, Pak!" teriaknya pada kondektur bus. Jarak gadis itu yang lumayan cukup jauh dari posisi kondektur, membuat suaranya tidak terdengar. Pak Kondektur malah memberi aba-aba pada supir untuk menutup pintunya. "PAK TUNGGU!!!" Gadis dengan tampilan aneh itu berteriak sekencang-kencangnya. Tapi seketika hal itu justru malah membuat orang-orang terpancing melihat ke arahnya. Bukan cuma Pak Kondektur, tapi juga Pak Supir, dan nyaris semua orang yang berada di halte tersebut yang sedang menunggu bus tujuan masing-masing, juga ikut melihat ke arahnya. 'Anak gila'. Kira-kira sebutan itu yang keluar dalam benak semua orang ketika melihatnya. Lagi, gadis itu tidak memedulikannya. Tidak penting mau bagaimana pun tanggapan orang tentang dirinya, yang terpenting adalah dirinya tidak tertinggal bus! Dengan gerakan cepat kakinya melangkah masuk ke dalam perut bis. "Permisi. Misi. Maaf, Pak. Permisi. Eh, Maaf." Tidak ada variasi kata lain. Hanya dua kata itu, permisi dan maaf yang dapat gadis itu ucapkan ketika sedang menyelip agar bisa berdiri lebih dalam lagi. Tidak di depan pintu. Ranselnya yang mengembung karena berisikan makanan-makanan ringan yang diperintah para Kakak OSIS-nya, membuat gadis itu semakin terlihat semakin aneh―bahkan sungguh aneh―di mata orang-orang. Selain perkara ransel kembungnya, tampilannya pun tahu-tahunya bukan cuma memancing perhatian orang-orang di jalan tadi, dan di halte saja. Tapi ketika ia melihat sekelilingnya, ia baru menyadari, para penumpang lain yang berada di dalam bus juga melemparnya tatapan yang sama. Aneh. Ya, terserahlah. Ia sungguh tidak peduli. Ternyata penderitaan gadis remaja yang baru menginjak SMA itu tidak sampai pada bus saja. Sialnya, ketika turun dari bus, ia baru ingat apa yang dikatakan Ketua OSIS-nya. "Jangan lupa, kalian harus datang lima belas menit sebelum bel berdering." Sudah ditegaskan 'jangan lupa', bagaimana bisa ia lupa?! Kalau begini jadinya, sudah bisa dipastikan dia telat setelat-telatnya orang telat. Tanpa menunggu lebih lama, gadis itu berlari lagi dengan kecepatan yang sama dengan ketika ia mengejar bus tadi. Ya, karena memang batas maksimal kecepatan larinya sampai situ saja, Tidak bisa lebih cepat lagi. "Telat, Neng?" Seorang satpam yang tidak ia ketahui namanya bertanya ketika ia melewati gerbang sekolah barunya itu. Dengan kelewat ketus ia pun menjawab, "Udah tau, pake nanya, Pak?" Setelahnya ia hanya berlalu menghampiri barisan-barisan yang bisa ia pastikan itu adalah teman-teman seangkatannya. Hal itu dapat terbukti jelas hanya dengan dilihat dari tampilan mereka semua yang tidak berbeda jauh dengan dirinya. "HEI, KAMU!" Baru saja gadis itu berhasil menemukan barisan, tiba-tiba saja seruan sang Ketua OSIS yang tidak tahunya sedang memberi pengarahan, terdengar nyaring di balik microfon menyala. Jari telunjuk Ketua OSIS tersebut mengacungkan lurus-lurus ke arahnya. Membuat gadis itu langsung terkesiap karenanya, juga karena ratusan pasang mata yang lain yang juga jadi ikut tertuju ke arahnya. "S- sa- ya, Kak?" tanyanya tergagap lantaran saking kagetnya, seraya menunjuk dirinya sendiri. "Kamu pikir siapa lagi yang telat di sini?!" Suasana hening senyap, meski nyatanya ada puluhan, ralat, ada ratusan orang di sana. "Sekarang juga kamu keluar dari barisan." Seketika gadis itu rasanya ingin meneguk obat nyamuk saja ketimbang harus melanjutkan hidup lebih lama lagi. "Karena kamu telat, jadi Ketua OSIS minta saya buat menyuruh kamu berlari keliling lapangan sebanyak tiga kali tanpa berhenti. Kalau sampai ketahuan berhenti, Ketua OSIS mengharuskan saya untuk menambah hukuman kamu." Hampir ketinggalan bus, terlambat datang, dipisahkan dari barisan, dan sekarang harus mendapat hukuman pula? Sumpah demi Tuhan, Jika ada penghargaan siapa manusia yang tersial hari ini, gadis itu yakin seyakin-yakinya, ia pasti menang! "Jadi, semenjak kecelakaan itu, ingatan lo tentang Naya bener-bener hilang gitu aja?" Nael hanya mengangguk samar. Tetap tenang memerhatikan kegiatan Nata yang sibuk membenahi berbagai jenis makanan ringan yang dibawa oleh adik-adik kelas dalam rangka mengikuti Masa Orientasi Siswa, ke dalam kardus besar. Dengan punggung bersandar di dinding ruang OSIS, dan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya. "Lo sama sekali nggak inget Renaya Mahira? Nggak ada satupun yang membekas gitu?" Entah kenapa tiap kali mendengar nama Naya, Nael suka tiba-tiba melamun. Renaya Mahira. Semenjak bangun dari koma panjang paska kecelakaan yang menimpanya, tidak ada satu pun tentang gadis itu yang tertinggal dalam ingatannya. Nael hanya tahu namanya saja. Nael sudah pernah berusaha keras untuk mengingatnya, namun tidak pernah berhasil. Yang sangat Nael pertanyakan, bagaimana mungkin dari sekian banyak orang-orang yang dekat dengannya, hanya memori tentang gadis itu yang satu-satunya menghilang dari kepalanya? "El?" Nael tidak mendengar. "Woi, Damar Naelandra!" sentak Nata, habis kesabaran. "Apa, sih?" sewot Nael. "Nggak, gue sama sekali nggak inget tentang cewek itu." "Nggak inget, iya, nggak inget. Tapi jangan bengong lo! Ntar kesurupan gimana?" bentak Nata. "Mending bantuin gue, nih." Selesai dengan mengerjakan tugasnya yang pertama, Nata beralih pada tugas selanjutnya. "Ngapain?" "Bagiin name-tag ke peserta MOS," kata Nata sembari membawa tag nama kosong yang bertali. "Emang anak OSIS yang lain nggak bisa bantu lo?" "Mereka udah pada punya tugas masing-masing." Dengan niat tidak niat, Nael mengambil sebagian dari keseluruhan tag nama yang dipegang Nata. Sedikit tentang Nael dan Nata, mereka berteman sejak kecil. Selain karena jarak rumah keduanya tidak begitu jauh saat di Bali―hanya tersekat di antara enam rumah, mereka sempat satu sekolah juga sebelumnya, ketika SD sampai pertengahan SMP. Karena paska kenaikan kelas 8―sekitar tiga sampai empat tahun yang lalu―Nata pindah ke Jakarta, mengikuti keluarganya yang lain. Hal itu membuat Nata tidak tahu banyak apa yang terjadi pada Nael. Apa yang membuat cowok itu sampai mengubah nama panggilannya. Apa pula yang membuat Nael tiba-tiba meninggalkan Bali, dan pindah sekolah ke sekolahnya. Yang Nata tahu hanyalah Nael mengalami kecelakaan yang menyebabkan cowok itu kehilangan seluruh ingatannya tentang seorang gadis yang setahu Nata paling Nael cintai, setelah mengalami koma panjang selama lebih dari satu tahun, dengan masa pemulihan kurang lebih tiga bulan. Tetapi tetap saja, mau sedekat apapun mereka, kelakuan Nael dan Nata ini memang sangatlah bertolak belakang. Nata yang banyak bicara, sedangkan Nael tidak akan bicara jika tidak penting-penting amat. "Selesai, Kak. Udah tiga kali putaran." Dengan nada suara persis seperti orang yang ingin mati karena kehabisan napas, gadis itu melapor pada Kakak kelas yang ditugaskan oleh Ketos untuk mengawasinya selama menjalani hukuman. "Tadi kamu satu kali berhenti, ya?" "Iya, Kak," ketus gadis itu, karena saking kesalnya. Coba saja pikir, manusia mana yang kuat jika berlari mengelilingi lapangan luas sebanyak tiga kali, tanpa berhenti untuk sekedar mengatur napas sejenak? "Untuk hukuman tambahannya, kamu minta tandatangan Kakak Kelas aja di jidat kamu." "Siapa aja boleh, Kak?" "Iya, siapa aja. Asal jangan pengurus OSIS." Seketika sebuah tarikan napas panjang terembus jelas oleh gadis yang hari ini benar-benar sedang sial itu. "Eh, tolong pegangin dulu dong. Gue mau ke toilet, bentar," ucap Nata yang tiba-tiba menyodorkan semua tag nama yang ia bawa pada Nael. Nael yang sudah tidak sempat menolak lagi hanya bisa memberi decakan kesal. "Jangan lama-lama lo!" Sambil menunggu di depan pintu toilet laki-laki, Nael mengeluarkan ponselnya dari dalam saku baju seragamnya. Membuka aplikasi chat. Men-scroll sampai ke paling bawah. Berharap ada bekas obrolannya dengan gadis bernama Naya-Naya itu. Tapi ternyata sia-sia saja. Bahkan pada nama daftar kontaknya saja tidak ada yang berinisial N selain Nata. Sesaat Nael sibuk dengan pikirannya. Memikirkan cara apa lagi yang bisa mengingatkannya tentang Renaya Mahira. Sampai tiba-tiba, Nael tidak sadar kalau ada seseorang yang berlari mendekat ke arahnya. "Kak, Kakak bukan OSIS kan?" tanya perempuan aneh itu. "Aku minta tanda tangan Kakak dong." Karena telah melihat dari penampilannya, Nael sudah bisa menduga kalau perempuan itu pasti salah satu peserta MOS yang tengah dikerjai oleh Panitia. "Di mana?" "Di jidatku, Kak. Ini spidolnya." Cepat-cepat ia menyodorkan sebuah spidol hitam tanpa tutup pada Nael. Dan dengan tidak tahu malunya, perempuan aneh berkacamata itu main langsung mendekatkan keningnya pada Nael, dengan sedikit berjingjit. Sebelum menerimanya, sejenak Nael mengantungi ponselnya terlebih dahulu. Sesuai permintaan, Nael membubuhkan tandatangannya di kening perempuan itu. Lalu Nael serahkan kembali spidolnya setelah selesai. "Makasih, ya, Kak!" serunya dan langsung berlari. Nael mengerutkan dahinya rapat-rapat. Baru kali ini ia melihat perempuan seaneh itu. Semakin aneh lagi ketika Nael mendapatinya berlari kembali ke arahnya. Nata yang baru keluar dari toilet, langsung bertanya pada Nael. "Nggak lama, kan, gue?" Tidak mendapat sahutan, Nata mengikuti arah pandang Nael. "Lo liatin siapa, sih?" "Cewek aneh." "Huh hah huh hah..." Perempuan itu mengatur napasnya dengan punggung menunduk, dan kedua tangan memegang lutut. "Lo ngapain lari-larian?!" Tiba-tiba Nata mengomel pada perempuan itu membuat Nael tercengang melihatnya. Sesaat perempuan itu menenggakkan kepalanya. "AHAHAHAHA!" Seketika Nata terbahak sendirian. "Itu jidat lo kenapa? Anak-anak MOS yang lain nggak gitu kayaknya. AHAHAHA!" Gelak tawa Nata mengencang. "Berisik lo, Nat!" "Nat-Nat, Kak gitu. Songong amat lo sama Kakak Kelas! Gue senior lo di sini!" "Bodo, ah! Gue mau ambil ini, nih." Sesaat perempuan yang tidak Nael kenali namanya itu mengambil tutup spidol yang masih berada di tangan Nael. Lalu kemudian ia berlari lagi begitu saja. "HEH, NAYA! JANGAN KABUR LO!" Dalam sesaat Nael menoleh cepat ke arah Nata dengan alis yang tertaut rapat. "Naya?" === To be continue... ayo vote dan komentar yaa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD