2

1563 Words
"Nama lo siapa?" • • • Nael langsung menoleh cepat ke arah Nata dengan alis yang tertaut rapat. "Naya?" "Bukan, bukan. Dia bukan Naya yang gue tanyain ke lo. Dia Naya adeknya temen ngeband gue, sekaligus tetangga gue di Jakarta." Meskipun memberi respon seakan percaya, dan tidak ambil pusing, nama milik gadis itu yang benar-benar terdengar tidak asing di telinganya membuat Nael sebenarnya tidak bisa langsung percaya begitu saja apa yang dikatakan Nata barusan. "Eh, lo nggak kasih dia name tag?" tanya Nael kemudian. "Oiya!" Nata langsung mengambil asal salah satu dari sekian banyak tag nama yang dibawanya. Kemudian menyerahkan yang satu itu pada Nael. "Lo aja, nih, yang kasihin. Tolong. Gue mesti bagiin yang di barisan." Sesuai dengan tebakannya, memang itu tujuan Nael mengingatkan tentang tag nama pada Nata. Nael memang sedang membutuhkan alasan untuk mengejar si cewek aneh itu. Karena sejujurnya mendengar Nata memanggil gadis itu tadi, sangat membuat Nael penasaran akan nama lengkapnya. "Yauda, biar gue aja." Setelah mengambil satu tag nama itu, Nael langsung mengejarnya. Nael hafal betul ke mana arahnya berlari. Tak lama ia mendapati dari kejauhan Naya seperti sedang melaporkan hasil tandatangan di jidatnya pada seseorang berjas OSIS. "Eh, cewek aneh!" panggil Nael saat ia sudah berada di dekat Naya yang langsung membuat Naya menoleh. "Iya, Kak?" "Ini name tag lo, dari Nata." "Oh," sahut Naya seraya menerima name tag yang disodorkan Nael. "Makasih, ya, Kak," ia tersenyum pada Nael. Tanpa banyak basa-basi Nael bertanya, "Nama lo siapa?" "Kenapa emang?" balas Naya bertanya balik. "Nama lo siapa?" Sesaat Naya merasa heran melihat Kakak Kelasnya itu mencecarnya dengan terus mengulangi pertanyaan yang sama. "Namaku Naya. Kenapa emang, Kak?" "Nama lengkap?" "Naya Vaneyla?" "Lo yakin itu nama lengkap lo? Bukan Renaya Mahira?" "Yakinlah, orang namaku sendiri. Emang buat apa Kakak tanya nama lengkapku? Tanpa berminat untuk menjawab, Nael pergi menyisakan Naya yang masih mematung keheranan di pijakannya. "Udah jangan nangis terus," Sesosok laki-laki yang sudah siap dengan koper besarnya mengusap garis air mata di pipi Naya. Sementara Naya yang sudah tidak sanggup lagi untuk menahan sesaknya hanya bisa terdiam tanpa berani menatap langsung kedua mata milik abangnya, Kevin. Naya masih belum bisa menyiapkan dirinya untuk berada jauh dari Kevin, sedangkan sejak kecil hanya Kevin satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya. "Nanti, kalau gue udah lulus kuliah, gue pasti balik lagi, kok. Lo tenang aja." Perlahan Naya mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap mata Kevin yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya. "Bang Kevin janji?" tanya Naya di sela-sela isakannya. Kevin mengangkat sebelah tangannya lagi. Kali ini ia gunakan untuk mengusap puncak kepala adiknya. "Pokoknya lo tenang aja. Gue pasti bakal sering ngehubungi lo." "Bener, ya?" sahut Naya cepat. "Iyaaa." Naya itu sebenarnya anak yang manja, cengeng, penakut. Dan selama ini, hanya Kevin yang selalu ada untuknya. Sejak kecil hanya Kevin yang selalu membelanya, yang selalu mengusap air matanya, yang selalu melindunginya, yang selalu sigap mendampinginya jika gadis itu sedang dilanda rasa takut. Kevin satu-satunya tempat Naya bergantung. Maka dari itu, Naya sungguh sangat tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya jika harus menjalani hari-hari tanpa abang kesayangannya itu. Sesaat Kevin mengambil sesuatu dari dalam ransel punggungnya. Sebuah jaket, yang kemudian ia sangkutkan di kedua bahu Naya. "Gue berangkat, ya. Lo jaga diri baik-baik." Baru saja Kevin hendak berlalu, tiba-tiba Naya meraih tangannya. "Bang Kevin nanti dulu," "Apalagi?" tanya Kevin akhirnya. Tanpa bicara sepatah kata pun tiba-tiba saja Naya melingkarkan kedua tangannya di pinggang Kevin. Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Kevin sampai kedua bahunya berguncang kecil. Air matanya yang begitu deras membasahi hoodie merah yang saat itu Kevin pakai. "Yah, malah nangis lagi nih anak," ucap Kevin belagak cuek, demi menutupi perasaannya yang sebenarnya di depan Naya. Karena tanpa Naya bicara pun, Kevin tahu betul bagaimana perasaan Naya sekarang. Ikatan batin kakak beradik itu yang sangat sensitif membuat Kevin selalu bisa merasakan apa yang Naya rasakan. Tangan Kevin tergerak untuk membalas pelukan Naya. Entah mengapa, dengan Naya memeluknya, justru membuat rasa sesak yang sejak tadi ia tahan-tahan menjadi kian tak terkendali. Lantaran sebenarnya, yang Naya rasakan belum ada apa-apanya dibanding dengan apa yang Kevin rasakan sekarang. Percaya atau tidak, meninggalkan seseorang yang sangat kita sayangi jauh lebih menyakitkan ketimbang ditinggalkannya. Dan Kevin sangatlah menyayangi adik perempuannya itu. Dalam pelukan Kevin, Naya meremas bagian belakang hoodie yang membalut tubuh abangnya itu se-erat mungkin, meluapkan emosinya yang sangat tidak ingin Kevin pergi meninggalkannya. "Bang Kevin!" seru Naya tiba-tiba. Gadis itu terbangun dengan kejutan yang mampu membuat tubuhnya terangkat di tengah ranjang. Sampai beberapa saat setelah matanya terbuka dengan sempurna, Naya mendapati dirinya sedang berada di dalam kamarnya dengan keadaan penuh keringat yang membasahi anak-anak rambutnya. Mimpi itu lagi. Naya memejamkan matanya sembari memijat keningnya yang tiba-tiba terasa sangat sakit itu. Ini bukan pertama kalinya Naya memimpikan pertemuan terakhirnya dengan abangnya, Kevin. Kejadian itu seperti kaset kusut yang sering kali terputar berulang-ulang dan muncul di dalam mimpinya. Mimpi yang membuat Naya menjadi semakin tidak mampu menerima kenyataan akan kepergian Kevin yang bersifat selamanya itu. Baru saja Naya keluar rumah satu langkah, seseorang telah menyambutnya dengan yel-yel. "Orang gila! Orang gila! Ada orang gila, tuh!" Nata terbahak, menertawakan Naya yang hendak berangkat ke sekolah. "Berisik lo!" sentak Naya saking kesalnya. Nata tertawa semakin keras, sembari mengeluarkan motornya ke luar pagar rumahnya. "Kalau masih ketawa lagi, gue sulam mulut lo! Mau?!" Naya mengancam dengan sentakan. Dimarahi Naya, Nata justru semakin tidak bisa menahan semburat tawanya agar tidak lepas. "Kasian amat, sih. Udah dandanan kayak orang gila, ke sekolah naik bus lagi." Nata kembali melepas tawanya. "Mau bareng nggak?" "NGGAK!" "Bagus, deh. Gue cuma basa-basi aja, sih. Nggak serius. Da daaa orgil...." Setelahnya Nata bersama motor ninjanya berlalu melewati Naya dengan lambaian tangan meledek, ditambah senyum yang sangat menyebalkan. Membuat Naya rasanya ingin sekali menimpuk Nata dengan batu yang berada di halaman rumahnya. Naya yang memang pada dasarnya cuek. Tidak peduli dengan anggapan orang-orang tentang dirinya, tidak pernah mempermasalahkan jika dirinya memakai perlengkapan MOS dari rumah, dengan menaiki angkutan umum, bahkan sampai hari terakhir MOS, sekarang. Toh menurut Naya, orang-orang yang ia temui di jalan itu tidak mengenal dirinya. Tidak akan setiap hari juga mereka bertemu dengannya. Ya, jadi biar saja mereka mau berkata apa. Sampai langit terbelah dua pun Naya tidak akan peduli. "Lo Naya anak SMP Cendana bukan?" tanya seorang perempuan berambut panjang yang suara cemprengnya sungguh memekak gendang telinga Naya. Naya yang pada dasarnya memang pelupa, sama sekali tidak mengingat bagaimana bisa orang itu mengenalnya. Setelah memerhatikan wajahnya lamat-lamat. "Lo Sera, kan? Anak kelas 9-5?" "Iya! Gue baru tahu lo sekolah di sini juga. Kemarin-kemarin gue nggak liat lo soalnya." Naya menyunggingkan senyum miring. Dalam hati berseru, 'Yaiyalah, orang gue telat mulu kemarin.' "Dek, pakai name tag kamu." Suara perempuan yang memakai jas Panitia tiba-tiba tanpa permisi menginterupsi obrolan Naya dan teman SMP-nya. Membuat Naya seketika mengorek-ngorek ranselnya. Gawat! Bagaimana bisa name tag yang jelas-jelas telah ia masukkan ke dalam tas tadi pagi, sekarang tidak ada? Naya panik. Saking panik bercampur penasaran, gadis itu mengeluarkan segala isi yang ada di dalam tasnya. Sementara kakak kelas yang tadi bertanya itu masih berdiri menunggunya sampai benar-benar menggunakan kalung name tagnya. "Nggak bawa?" tebak cowok itu. "Bawa, kok, Kak." Naya meyakinkannya. "Sebentar aku cari lagi. Bermenit-menit Naya habiskan waktunya hanya untuk menggeledah isi tasnya sendiri. Dan hasilnya, nihil! "Tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh, dua satu, dua dua..." Di tengah lapangan dengan sinaran terik matahari yang menyengat kulit, Rangga, Ketos SMA Bangsa yang memang terkenal garang itu sengaja menjemur sekaligus menyuruh para peserta MOS untuk melakukan sit up sebanyak lima puluh kali bagi perempuan, dan tujuh puluh kali bagi laki-laki. Alasannya cuma satu, karena salah satu di antara mereka ada yang lupa membawa perlengkapan yang telah diperintahkan. Jadi atas dasar kebersamaan, salah satu melakukan kesalahan, semua pun kena hukuman. "Gara-gara lo, tuh, nggak bawa name tag yang udah dibagiin. Jadi semua kena imbasnya. Gimana? Enak kan dihukum lagi?" Rasanya seperti ada yang janggal bagi Nata, jika satu hari saja dia tidak mengganggu tetangganya itu. Tidak peduli walaupun Naya sedang menjalankan hukuman. "Tiga empat, tiga lima, tiga enam, tiga tujuh..." Naya terus menghitung tanpa memedulikan ocehan Nata yang mengambil posisi setengah jongkok tepat di sebelahnya. "Lagian, sih, diajak bareng sok-sokan nggak mau tadi." "Empat dua, empat tiga..." Naya tetap berhitung. "Jangan-jangan sengaja kali lo, ya? Biar temen-temen baru lo dihukum?" Tanpa lelah Nata terus berusaha memancing emosi Naya. Sampai akhirnya harapannya itu terkabul. "Name tag gue itu ilang di bus. Mana ada sengaja sih!" "Salah lo sendirilah itumah. Siapa suruh diajak bareng nggak mau? Coba kalau lo bareng gue kan naik motor. Jadi nggak bakal mungkin tuh name tag lo ilang." "Semuanya menghitung. Nggak ada yang ngobrol!" sentakan tegas milik sang Ketos seketika mencekat adu mulut Nata dan Naya. "Eh, Gema Radinata!" Merasa terpanggil, Nata menoleh. Didapatinya Sigit melambaikan tangan ke arahnya. Membuatnya otomatis berdiri. "Sini lo, cari mangsa mulu kerjaan lo!" "Cari mangsa apaan. Emang gue elo!" "Empat delapan, empat sembilan, lima puluh." Semua peserta yang berjenis kelamin perempuan berdiri dengan serentak. Tinggal menunggu yang laki-lakinya saja sampai hitungan tujuh puluh. "Itu abang lo atau pacar lo?" tanya Sera yang diam-diam memerhatikan Naya dan Nata saat sedang berdebat sambil membersihkan telapak tangannya dari pasir-pasir yang menempel. "Temen abang gue." === To be continue... a/n: jangan lupa vote dan komentar yaa. untuk visual Naya, Nael, Nata, aku masih bingung. menurut kalian enaknya asia? atau bule? asia western atau ada saran? langsung tulis namanya di komentar ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD