3

1182 Words
Walau hanya nama panggilannya saja yang sama, tidak tahu kenapa Nael selalu memiliki kemungkinan kalau gadis itu adalah seseorang yang sekarang menghilang dari ingatannya. ——— "Baik, berhubung ini hari terakhir kita, jadi sebelum pulang, saya mohon kerjasama kalian untuk membersihkan aula dan lapangan, ya," ucap Rangga tanpa menghilangkan ketegasan dan wibawanya sebagai Ketua OSIS yang terkenal paling garang dibanding angkatan-angkatan sebelumnya. "Saya akan membagi dua kelompok. Untuk barisan satu sampai lima, kalian membersihkan aula. Dan untuk barisan enam sampai sepuluh, kalian bisa ikut Alina dan Nata ke lapangan. Sapu dan yang lainnya sudah tersedia di sana juga." Naya menghela napas panjang-panjang ketika menyadari dirinya berada di barisan delapan. Dan itu artinya ia harus mengikuti Nata. Naya mengambil sapu lidi. Menyapu lapangan yang terdapat daun-daun kering dan sampah-sampah kecil semacam sampah permen, dan potongan pita yang Naya pastikan itu milik peserta MOS yang sudah tak terpakai lagi. "Nay, coba itu sampah-sampah yang di sekitaran tanaman lo ambilin juga. Masukin ke karung," Nata menggeleng sambil berdecak. "Haduh, pada buang sampahnya sembarangan, nih." "Gue lagi nyapu, nih. Mata lo buta?" "Tinggalin aja dulu. Ntar biar gue yang nyapu. Sama kakak kelas harus nurut." Nata tersenyum menahan tawa ketika melihat Naya akhirnya menuruti perintahnya. Menyandarkan sapu lidinya. "Tuh, karungnya di sana. Yang bersih. Pokoknya gue nggak mau liat ada satu sampah pun." Naya mengambil satu karung di antara beberapa lipatan karung yang tersedia. Kemudian mulai mengumpulkan sampah-sampah yang berada di sekitaran pot tanaman yang panjang-panjang. "Eh, iya, sampah yang di karung itu aja belum dibuang. Coba Nay tolong buangin." Seperti sengaja ingin memancing emosi Naya, belum ada lima menit gadis itu melakukan tugas yang diperintahkannya, Nata sudah memerintah tugas yang lain. "Iya, ntar. Ini tanggung. Satu pot aja belum." "Udah itu ntar gue minta yang lain. Lo buangin dulu sampah di karung-karung itu ke belakang. Di sana ada penampungan sampah." "Iya ntar. Kata orang dulu, pamali kalau kerja setengah-setengah. Ntar dapet suaminya brewokan." "Ntar gue cukur brewok gue kalau gue jadi suami lo." "Idih! Kayaknya gue nggak bilang suami gue itu elo, deh." "Becanda kali. Siapa juga yang mau jadi suami lo?! Bocah songong!" tandas Nata tidak mau kalah. "Udah sana cepetan buangin dulu. Ntar karungnya bawa balik lagi. Jangan dibuang." Dengan rasa kesal yang menusuk ulu hati, Naya menaruh karung yang belum lama dia ambil tadi, kemudian mengambil karung yang sudah terisi sampah-sampah kering. "Nah, gitu dong. Nurut apa kata kakak kelas." "Lo mending diem, deh, Nat. Beruntung lo, hari ini gue lagi nggak mood debat panjang." "Nat-Nat, panggil gue Kak emang susah banget mulut lo?!" "Susah! Kenapa? Mau maksa? Nggak bisa!" omel Naya, kemudian membawa karung seperti perintah Nata tadi dengan hentakan keras pada langkah pertamanya. Renaya Mahira Entah ini sudah yang ke berapa kalinya Nael mengetikkan nama lengkap itu pada kolom pencarian google. Lagi-lagi harapannya masih sama. Dapat menemukan apapun yang bisa dijadikan alat untuk mengingatkannya tentang siapa gadis itu dalam hidupnya sebelum ia mengalami kecelakaan dan koma selama sekitar satu tahun. Tetapi, hasil pencariannya pun masih tetap sama dengan yang kemarin-kemarin. Ada banyak orang yang memiliki nama itu di akun sosial media mana pun. Tidak tahu karena namanya yang pasaran, atau memang nama yang bagus sehingga dipakai banyak orang. Di atas ranjang besi rumah sakit, Nael yang kepalanya terbalut perban tebal mengerjap-ngerjapkan matanya dengan sangat lemah. Tidak jauh dari posisinya, samar-samar Nael melihat mamanya sedang berdiri membelakanginya. Berbicara dengan seorang suster yang merawatnya. "Kondisi pasien bernama Nael sudah stabil. Tapi kondisinya masih sangat lemah, sehingga ia tidak bisa pulang dulu. Apalagi sampai dipindah rumah sakit ke Jakarta. Dokter bilang Nael masih belum kuat. Padahal ini sudah masuk bulan ketiga. Seharusnya Nael sudah pulih dalam waktu kurang dari satu bulan. Ibu berdoa saja pada Tuhan, semoga Nael dapat pulih secepatnya, ya." "Oiya, Nael selalu menyebut-nyebutkan nama Naya. Jika memang seseorang itu penting bagi anak ibu, kemungkinan besar ia bisa membantu Nael kepulihan Nael?" sambung suster tersebut, yang suaranya dapat tertangkap oleh pendengaran Nael. Nael melihat mamanya terdiam. Sampai sesaat kemudian baru menjawab, "Tidak, Sus. Saya yakin, tanpa perempuan itu pun anak saya pasti akan sadar." "Saya permisi dulu, ya, Bu." "Terima kasih, Sus." Sejenak Nita menghampiri Nael. Ia cukup terkejut mengetahui anaknya telah terbangun dari tidur. "Kamu sudah bangun, Nak. Mau makan?" Nael menggeleng pelan. "Naya siapa, Ma?" "Renaya Mahira? Kamu sungguh tidak mengingatnya?" tanya Nita seakan tidak percaya akan ingatan Nael yang hilang semua tentang gadis itu. Nael menggeleng lagi. "Dia siapa, Ma? Kenapa El gak ingat sama sekali tentang dia?" "Dia bukan siapa-siapa, kok. Sudah, jangan kamu pikirkan, ya." "Kalau dia bukan siapa-siapa, kenapa suster itu bilang selama El koma, El selalu menyebut namanya, Ma?" Tanggapan Nita sama persis seperti ketika suster tadi bertanya tentang hal itu. Tidak bisa menjawab. "Kamu makan, ya? Sebentar lagi jamnya minum obat." Nael tidak tahu kenapa mamanya selalu berusaha mengalihkan pertanyaan tiap kali ia bertanya tentang gadis bernama Naya itu. Padahal Nael sudah bilang, kalau ia sangat ingin tahu tentangnya. Awalnya Nael yakin sekali kalau gadis itu merupakan seseorang yang spesial dalam hidupnya, siapapun dia. Akan tetapi, tiba-tiba Nael kembali meragukan apa yang telah diyakininya itu. Karena kalau memang dia merupakan orang yang spesial, kenapa memori tentang dirinya hilang begitu saja seperti kertas yang terbakar, yang abunya terbang terbawa hembusan angin? "Mentang-mentang kakak kelas, gayanya songong banget. Dari mana coba Bang Kevin dapet temen kayak begitu? Udah mulutnya nyinyir kayak ibu-ibu pasar!" Mendengar tiba-tiba ada suara seseorang mendumel di tempat yang sesepi ini―belakang sekolah―Nael jadi harus mencari-cari sumber suara itu. Tak lama dilihatnya seorang perempuan sedang membawa sebuah karung. Dan masih saja mengoceh sendiri. Membuat Nael tidak salah telah menyebutnya cewek aneh. Tapi meski ia aneh, tetap saja Nael merasa penasaran dan ingin tahu lebih tentang gadis itu. Alasannya cuma satu, karena gadis itu memiliki nama yang sama dengan seseorang yang hilang dalam ingatannya. Walau hanya nama panggilannya saja yang sama, tidak tahu kenapa Nael selalu memiliki kemungkinan kalau gadis itu adalah seseorang yang sekarang menghilang dari ingatannya. Dan Nael harus membuktikan itu. "Mau gue bantuin?" tawar Nael yang malah diberi sorotan mata heran oleh Naya. Tanpa menunggu persetujuan, Nael segera mengambil karung kecil yang Naya bawa itu. Kemudian membuangnya. Saat berbalik, Nael mendapati gadis itu tidak bergerak satu senti pun dari pijakannya. "Mau dibuang kan?" Naya terbengong. "Nih," Nael menyerahkan kembali karung pembungkusnya. "Gue boleh tanya sesuatu nggak?" "T- t- ta- nya apa, Kak?" "Lo pernah hilang ingatan? Sampai lo ganti nama?" "Hah?" Naya ternganga heran akan pertanyaan itu. "Hilang ingatan?" "Iya," Nael mengangguk. "amnesia." Naya menggeleng dengan kerutan di dahinya. "Eh, misi-misi!" seruak dua orang yang berlari ke arah mereka. Dengan refleks Nael menarik bahu gadis berkacamata itu sampai ke dalam pelukannya agar tidak tertabrak. "Kak," ucap Naya dengan suara pelan, karena takut. Tapi hal itu membuat Nael malah jadi memerhatikan dua orang yang lewat tadi, sampai lupa kalau Naya masih berada dalam dekapan sebelah tangannya. "Kak," Naya berucap lagi, sedikit lebih keras. Namun tak kunjung didengar juga. "Kakk," "Eh?" Sampai panggilan yang ketiga kalinya Nael baru menyahut. Menyadari itu, Nael buru-buru menyingkirkan tangannya. "Maaf-maaf." === To be continue... a/n: maaf ya baru update. jangan lupa vote dab komentar yaa~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD