CHAPTER 8

2010 Words
Happy Reading ^_^ *** Seorang perempuan dengan perawakan tinggi menjulang memasuki gedung perusahaan milik Christopher Wang. Langkahnya yang terlihat mantap serta tinggi heels-nya yang di atas rata-rata semakin menegaskan kalau dia pasti bukan pegawai di sini. Orang-orang yang tidak paham pasti akan mengira sosok itu adalah model yang salah masuk gedung perusahaan. Cara berpakaiannya yang simple namun sangat stylist, pemilihan sepatu, tas tangan, serta pemilihan kacamata hitam yang membingkai wajahnya –perempuan itu benar-benar luar biasa. Lobby kantor yang merupakan area pegawai seketika terasa seperti catwalk dadakan. Semua orang memperhatikannya. Mulai dari yang terang-terangan sampai yang melirik malu-malu. Dan diperhatikan seperti itu seharusnya bisa membuat perempuan itu menjadi malu. Tapi tidak –dia tidak malu. Dia bersikap biasa saja seolah-olah menjadi pusat perhatian adalah hal yang sudah sering didapatkan olehnya. Dia bangga. Dan kalau anda masih mengira orang tersebut adalah seorang model yang salah masuk gedung, maka anda sudah salah besar. Dia bukan model. Dialah Chrystalline Tan, istri si pemilik perusahaan. “Selamat siang, Miss. Ada yang bisa saya bantu?” Miss? Batin Chrystal dengan tatapan mengejek yang dia lemparkan pada receptionist yang ada di depannya. Apa di perusahaan ini Christopher masih dikenal sebagai pria single sampai tidak ada yang menyadari kalau perempuan yang ada di depannya ini adalah istrinya? Memang benar kalau Chrystal belum pernah mengunjungi perusahaan Christopher, tapi bukankah itu seharusnya bukan halangan untuk para pegawai mencari tahu bagaimana rupa istri bosnya? Pegawai Christopher benar-benar... bukankah ini keterlaluan?! Chrystal mendengus. “Aku ingin bertemu dengan Christopher Wang. Tolong tunjukkan ruangannya.” “Apa anda sudah membuat janji sebelumnya, Miss?” Chrystal memutar bola matanya. “Pertama, aku belum membuat janji. Ini kejutan,” kata Chrystal sambil mengangkat tangan kanannya yang menenteng sebuah lunch box untuk Christopher. “Dan kedua, sepertinya kau harus mengubah panggilanmu padaku. Aku sudah bukan Nona lagi, melainkan seorang Nyonya. Panggil aku Mrs. Wang, paham?” tambah Chrystal dengan penuh penegasan. “Kalau begitu anda adalah—” “Aku Chrystalline Tan. Ah, tunggu... atau aku harus mengubah nama belakangku menjadi Wang dulu? Chrystalline Wang?” Chrystal menyela dengan cepat. Dan kegugupan receptionist itu semakin menjadi-jadi saat salah satu rekannya yang lebih senior langsung menyela dengan cepat. “Selamat datang, Nyonya Chrystal. Maafkan atas ketidakmampuan salah satu rekan saya dalam mengenali anda. Dia baru beberapa bulan di sini.” ujar receptionist lain yang terlihat lebih berpengalaman. Chrystal membuang muka. Dia malas sekali. Apa karena dirinya dan Christopher akan bercerai jadi pria itu tidak mau repot-repot mengenalkan sosoknya pada karyawannya? Christopher benar-benar tidak berperasaan sama sekali. “Aku ingin bertemu Christopher sekarang juga. Tunjukkan ruangannya.” ulang Chrystal dengan wajah masam. “Aku akan menelpon sekretaris Tuan Christopher untuk menjemput anda menggunakan lift khusus direksi.” “Oh, ada lift khusus direksi?” Receptionist itu mengangguk. “Kalau begitu tidak perlu menunggu sekretaris Christopher. Aku akan naik sendiri. Di mana tempatnya?” “Maaf, Nyonya Chrystal, tapi lift khusus direksi hanya bisa diakses oleh Tuan Christopher dan juga sekretarisnya. Anda tidak akan bisa menggunakannya secara sembarangan.” Chrystal memutar bola matanya. “Jadi aku harus menunggu?” komentar Chrystal dengan tajam. “Aku hanya ingin bertemu suamiku, bukannya presiden. Lalu kenapa harus serumit ini sih?” Keluhan Chrystal yang membuat empat orang receptionist yang ada di depannya jadi tertunduk takut. Kegiatan pelayanan yang tadinya lancar jadi terhenti selama beberapa saat. Semua orang memperhatikan Chrystal. “Aku ingin bertemu dengan suamiku. Entah itu dengan lift umum atau lift direksi –aku ingin bisa naik sekarang juga!” perintahnya dengan kalimat super tajam yang tidak mau dibantah. *** Pada akhirnya Chrystal berhasil naik dengan dipandu oleh salah satu receptionist. Langkahnya tetap terlihat mantap dan bahunya tetap tegak meski sebelumnya dia sudah membuat keributan di lobby. Masa bodoh dengan penilaian orang lain. Toh sudah sejak lama juga dia hidup tanpa mendengarkan omongan orang lain. Seorang pria menunduk sopan, lalu dia membukakan pintu ganda yang ada di depan Chrystal. Lalu terpampanglah ruang kerja yang berkali-kali lipat lebih luas jika dibandingkan oleh ruang kerja divisi lain. Ini pasti ruangan Christopher dan pria tadi adalah sekretaris Christopher. Chrystal mendengus. Dua orang yang membuat mood-nya rusak ada di sini rupanya, pikirnya. “Kau membuat keributan di bawah, Chrys.” Itulah kalimat yang didengar Chrystal sesaat setelah matanya bertemu pandang dengan mata suaminya. Perempuan itu memutar bola matanya karena sikap Christopher yang langsung terus terang sesaat setelah mereka ditinggalkan berduaan. Benar-benar to the point. Menjengkelkan sekali. Alih-alih menjawab, Chrystal memilih bungkam sambil mendudukkan bokongnya di salah satu sofa yang tersedia. Dia enggan berbicara secara face to face karena emosinya pasti mudah tersulut. Toh jarak meja kerja Christopher dengan sofa ini tidak begitu jauh, jadi mereka masih bisa mengobrol dengan layak. Kecuali Christopher yang mungkin akan agak jengkel karena pria itu tidak suka mengobrol secara dekat seperti ini. “Chrystal...” Dan benar, Christopher sudah memperingatkan lagi, batin Chrystal dengan sinis. “Suruh siapa mereka memperumit keinginanku untuk menemuimu.” jawab Chrystal dengan ketus. Christopher memutar bola matanya. Dia tidak tahu bagaimana harus meluruskan keadaan yang mana hanya Chrystal-lah yang berfikir seperti itu. “Mereka tidak memperumit kedatanganmu, Chrys, mereka hanya melakukan pekerjaan mereka. Kantor ini punya aturan untuk orang yang bukan pegawai sini.” Dalam hatinya Chrystal membenarkan. Dia tahu sekali kalau setiap tempat yang dipijakinya pasti punya aturan. Dan sebagai manusia, tentu saja dia harus mengikuti aturan yang ada. Chrystal paham sekali tentang ini dan yang membuatnya marah tentu saja bukan aturan tersebut. Melainkan ketidaktahuan orang-orang akan sosoknya yang merupakan istri Christopher. Dia tersinggung. Memang benar kalau pernikahannya dengan Christopher bukanlah jenis pernikahan yang bahagia. Bahkan di hari pertama dirinya menyandang status Mrs. Wang, di hari itu juga dia sudah tahu kapan dirinya akan menyandang status jandanya Christopher Wang. Semuanya sudah jelas. Tapi apakah dia tidak pantas untuk dikenal sebagai istri Christopher? Pegawai Christopher seharusnya tahu akan sosoknya karena bagaimana pun juga dia masih istri sah Christopher. Kecuali Christopher sendiri yang enggan memberitahu kalau dirinya sudah punya istri bernama Chrystalline Tan. “Pokoknya aku ingin membuat akses khusus untuk diriku agar mudah keluar masuk perusahaanmu. Aku ingin akses lift khusus direksi!” kata Chrystal seolah-olah ini adalah perintah yang harus dituruti detik itu juga. “Untuk apa? Memangnya kau ingin datang lagi ke perusahaanku?” “Memangnya tidak boleh?!” Christopher bangkit dari duduknya dan mengitari meja kerjanya. Dia menyandarkan bokongnya di pinggiran meja sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Matanya menatap Chrystal yang terlihat jengkel sekali. “Inilah alasan yang membuat kau tidak seharusnya datang ke perusahaan lagi. Kita selalu bertengkar di mana pun kita dipertemukan.” “....” “Kita bisa bertengkar di mana pun, tapi tidak di kantorku.” Chrystal mendengus. Memangnya siapa yang selalu ingin bertengkar? Tidak ada. Keadaanlah yang terus-terusan membuat mereka bertengkar. Dan semua itu bisa membaik kalau Christopher mau memperbaiki keadaan mereka. Tapi Chrystal tahu lebih baik dari siapa pun kalau Christopher sialan itu pasti tidak akan mau melakukannya. “Sekarang katakan padaku kenapa kau kemari, Chrys?” tanya Christopher dengan suara yang lebih kalem dari sebelumnya namun penuh dengan unsur menyelidik. Chrystal berdecih sambil menyodorkan sebuah lunch box yang sudah bertengger di atas meja sejak tadi. Christopher mengernyitkan keningnya. “Dan kenapa kau repot-repot membawakan aku sebuah lunch box, Chrys? Bukankah ini aneh?” “Tentu saja tidak. Aku mentraktirmu.” Christopher mengernyitkan keningnya. “Dan dalam rangka apa sampai kau ingin mentraktirku, hm?” “Aku ingin mengucapkan terima kasih,” kata Chrystal lambat-lambat sambil merogoh sesuatu dari dalam tas branded-nya yang baru dibeli minggu lalu. “... untuk ini.” tambah Chrystal sambil menunjukkan sebuah kotak berukuran kurang lebih dua puluh centi. Yup, itu adalah kotak perhiasan. Lebih tepatnya adalah kotak perhiasan yang benar-benar baru dibelinya tadi pagi bersama Roseanne Wong. “Antingnya sudah kupakai. Bagaimana menurutmu, Christ?” kata Chrystal sambil melakukan pergerakan menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. Padahal Tuhan tahu kalau tidak ada satu pun anak rambut yang keluar dari jalurnya. Sementara itu Christopher merenung sejenak. Apa yang sebenarnya ingin Chrystal tunjukkan? “Aku memakai kartu yang kau berikan, jadi aku yakin kau pasti sudah melihat tagihannya bukan? Sebelumnya aku ucapkan terima kasih, suamiku.” Chrystal tidak pernah menggunakan kalimat suamiku dengan nada centilnya. Dan ini semakin meyakinkan Christopher kalau ada yang tidak beres. “Tentu saja aku sudah melihat jumlahnya. Dan ya, nominalnya cukup fantastis. Tapi tidak masalah karena aku memang sudah mengizinkan kau memakai kartu itu, jadi ya, aku menerimanya dengan lapang dada.” “...” “Tapi yang jadi pertanyaan adalah, kenapa kau menggunakan kartu itu setelah sekian lama, Chrys?” selidik Christopher. Ada yang janggal, pikirnya. “Hm, entahlah. Mungkin karena aku ingin?” Dan Christopher langsung murung. Jawaban Chrystal benar-benar bukan jawaban yang ingin didengarnya. Di momen seperti ini Chrystal yang meledak-ledak terasa jauh lebih baik. Dia bisa membaca perempuan itu dengan mudah. “Hm, baiklah. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Bahkan kau juga sudah berbaik hati mentraktirku makan –terima kasih. Karena itu, bolehkah sekarang aku meminta waktuku untuk bekerja lagi? Dan tentunya tanpa perdebatan.” Chrystal berdecak, apalagi melihat gelagat Christopher yang sudah berbalik untuk kembali ke kursi kebenarannya. Dasar! “Kurasa selama aku di sini aku akan terus menggunakan kartu pemberianmu, Christ. Bagaimana pun juga aku masih istri sahmu, bukan?” Christopher melirik Chrystal sekilas. “Ya, lakukan. Aku sudah memberikannya padamu, jadi pergunakanlah.” Tak suka dengan respon Christopher yang seperti ini, Chrystal bangkit dengan jengkel. Dia meraih tas branded-nya dengan kasar. “Terima kasih atas kemurahan hatimu, Mr. Wang. Aku permisi dulu. Selamat menikmati makan siangnya.” kata Chrystal dengan ketus. Dia sudah berbalik untuk pergi, tapi langkahnya terhenti, Dia berbalik untuk menatap Christopher lagi yang membuat pria itu kembali mendongak dengan kening yang berkerut. “Apa lagi?” kata Christopher dengan malas. “Aku lupa memberitahu kau satu hal lagi, Christ...” Christopher merasakan alarm berbahaya dalam dirinya berbunyi. Pasti inilah yang membawa Chrystal kemari, pikir Christopher dengan mengamati istrinya yang tak tertebak lekat-lekat. “Aku hanya ingin memberitahu kalau aku sudah memindahkan beberapa barang-barangku ke ke apartemenmu. Lagi dan lagi –terima kasih, suamiku. Aku permisi sekarang juga.” “Chrystal, jangan bercanda—” Christopher sudah bangun dari duduknya, tapi Chrystal menggoyang-goyangkan jari telunjuk sebagai perintah agar Christopher tidak mendekat. “Ini di kantor dan seperti katamu tadi –kau tidak suka perdebatan di kantor. Jadi aku akan menjelaskan semuanya di apartemen. Selamat siang, suamiku.” Saat Chrystal memutuskan untuk membeli satu set perhiasan tadi, Roseanne mengeluhkan banyak hal. Apalagi saat melihat Chrystal membeli perhiasan secara acak hanya karena sang manajer toko menyarankannya. “Kau bodoh karena mau membeli satu set perhiasan seharga mobil Mercedesku hanya karena manajer toko menyarankannya...” “....” “.... dan seperti perhiasan itu, kau juga melakukan kebodohan karena mau memperjuangkan Christopher lagi hanya karena kau pikir bisa mengubahnya. Kau melakukan banyak kebodohan hari ini, Chrystalline Tan.” Tapi Chrystal tetaplah Chrystal. Dengan mengangkat bahunya secara acuh tak acuh dia kembali berujar, “Memperjuangkan Christopher lagi memang hal terbodoh yang pernah aku lakukan, tapi lihatlah perhiasan ini –mereka indah. Ini cukup pantas untuk dibeli.” “Hanya karena ini terlihat indah, tapi bukan berarti kau harus membelinya. Apalagi kau tidak memiliki hasrat sama sekali terhadap perhiasan ini. Dan ini persis seperti perasaanmu pada Christopher. Walau terlihat menjanjikan, tapi kau tahu sendiri kalau tidak ada harapan di dalamnya. Kau membeli hal yang sia-sia. Sama halnya dengan Christopher –kau memperjuangkan hal yang sia-sia.” Rossy benar tentang Christopher yang serupa dengan perhiasan ini. Dia membuang banyak uang untuk perhiasan yang tak terlalu disukainya. Begitu juga dengan Christopher. Dia membuang banyak waktunya untuk hal yang sia-sia. Dia bodoh? Memang. Tapi Chrystal meyakinkan dirinya kalau ini adalah permulaan. Dan tidak ada salahnya melakukan hal bodoh sebagai permulaan. Bukankah tidak ada yang tahu kalau sesuatu yang diawali dengan hal bodoh bisa menghasilkan banyak keuntungan? Chrystal akan memastikannya, tekadnya dalam hati. Setelah berpamitan pada suaminya, Chrystal berbalik. Dan ekspresi main-mainnya berubah menjadi tajam. Dia menyeringai seraya batinnya menggumamkan kalau permainan yang sebenarnya akan dimulai. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD