4. Tatapan Penuh Makna

1030 Words
Alara meregangkan otot-ototnya sejenak. Restoran cukup ramai saat jelang makan malam. Beberapa kali ia dan rekan kerja lainnya harus berjalan lebih cepat daripada biasanya agar pelanggan* tak menunggu terlalu lama. Gadis itu meminum air mineral botol yang kini tersisa setengah. Setelah minum, ia duduk sejenak di ruang istirahat karyawan. Sesekali ia membalas sapaan rekan kerjanya yang juga beristirahat secara bergantian. "Lara, lagi salat, ya?" tanya Patricia yang sudah duduk di sampingnya. "Gak, Kak. Ada apa?" "Cuma nanya aja. Berarti aku gak sendirian lagi dong di sini." Alara terkekeh. "Kan gak boleh salat dulu, Kak. Lagi gak suci." Restoran tersebut memang memberikan waktu istirahat selama 15 menit bagi karyawan Muslim setiap waktu salat tiba, sedangkan bagi karyawan non-Muslim diminta tetap melayani pelanggan* seperti biasanya. Saat Alara berdiri, Patricia menatapnya bingung. "Mau ke mana? Katanya gak salat?" "Iya, tapi aku mau ke toilet dulu. Biasalah." Tak lama berselang, azan Magrib berkumandang. Alara pamit pada Patricia untuk ke toilet sebelum toilet penuh dengan antrian orang-orang untuk berwudhu. *** Selim memasuki restoran bersama seorang wanita dengan midi dress warna merah yang sangat pas di tubuhnya. Wanita itu memeluk erat lengan Selim sembari terus berjalan memasuki private room yang telah dipesan oleh pria itu. Tak lama kemudian, Alara memasuki ruangan tersebut dengan senyuman ramah seperti kebiasaannya menyapa pelanggan*. Namun, ia terkejut saat melihat sosok tak asing dengan seorang wanita. Ia berdeham pelan lalu kembali tersenyum menyapa sepasang manusia yang ia perkirakan sedang berkencan itu. "Selamat malam, Tuan, Nona!" sapa Alara seraya membungkukkan sedikit tubuhnya. "Anda berdua ingin pesan apa?" tanyanya dengan wajah tetap tersenyum. Wanita yang duduk di samping Selim sibuk membuka buku daftar menu, sedangkan Selim masih setia menatap Alara yang tak bisa gadis itu artikan. Sang wanita menyebutkan makanan dan minuman yang ia inginkan disusul Selim. Alara pun segera undur diri setelah meminta mereka menunggu beberapa saat. "Sayang, kamu kenal dia? Kok kamu menatapnya sampai segitunya sih? Aku cemburu lho!" rajuk wanita itu. "Hmm ... dia salah satu mahasiswiku, Donna," jawab Selim datar. "Oh, gitu! Kirain dia siapa," sahut Donna. Ketika Selim melihat Alara masuk membawa nampan berisi dua gelas minuman yang berbeda, pria itu segera menarik tengkuk Donna dan mencium bibirnya tepat saat Alara sudah berdiri di depan meja mereka. Alara yang melihat adegan itu hanya tersenyum miring dan berdecih dalam hati. "Mentang-mentang lagi di private room!" "Ehm, maaf! Ini minumannya. Makanannya masih sedang dibuat. Silakan dinikmati, Tuan, Nona!" ucap Alara sembari tersenyum padahal sebenarnya gadis itu ingin berteriak di depan dosen arogan itu. "Thanks!" sahut Donna dengan wajah bagai kepiting rebus karena menahan malu ketahuan berciuman dengan pria tampan di sampingnya. Alara hanya menganggukkan kepala lalu undur diri tanpa menghiraukan tatapan Selim yang masih tertuju padanya. Lima menit berlalu, Alara kembali bersama seorang pria membawa masing-masing nampan berisi makanan yang Selim dan Donna pesan. Setelah makanan tertata rapi, mereka berdua pergi. Namun, Selim masih sempat melihat Alara bercanda dengan pria itu sembari memukul lengannya dan pria itu membalas dengan mengacak rambut Alara yang diikat ekor kuda. "Yah, Ivan! Rambutku jadi berantakan gini!" gerutu Alara yang masih sempat terdengar di telinga Selim. "Sayang, kok melamun? Ini makanannya nanti dingin!" tegur Donna. Selim tersentak kaget. Tak ingin membuat Donna kembali bertanya, ia pun segera menyantap makanan miliknya. Sementara di luar private room, Alara menyapa pelanggan* lain yang tengah berkunjung. Satu per satu hidangan pesanan ia antarkan dari satu meja ke meja lainnya. Bahkan beberapa kali ia menerima tip dari pelanggan karena mereka menyukai caranya bekerja. Dalam hati ia bersyukur akan aktivitasnya hari ini. Andai saja ia mengabaikan permintaan tolong Chika, mungkin ia tak akan menerima rezeki melimpah hari ini. Perlahan jarum jam terus bergerak hingga menunjukkan pukul 21.00. Restoran mulai sepi dan tak lama lagi akan tutup. Alara mengakhiri pekerjaannya hari ini dengan membersihkan sepuluh meja beserta kursi di private room. Tiga puluh menit kemudian, ia menghela napas panjang setelah pekerjaannya selesai. "Alhamdulillah," lirih Alara. Gadis itu segera menuju ruang ganti khusus karyawan untuk mengganti pakaiannya. Setelah ia memastikan penampilannya rapi sebelum pulang, ia berpamitan pada teman-temannya menuju tempat parkir khusus pegawai restoran. Setelah ia sampai di tempat motornya terparkir, ia memasang kunci motornya dan menaikinya. "Kenapa kamu bersikap seolah-olah kita tak saling kenal, Alara?" Suara bariton yang terdengar dingin itu membuatnya menoleh ke belakang. Ia mendapati Selim bersandar di batang pohon besar di area parkir. Dengan langkah yang Alara lihat terkesan angkuh, Selim mendekatinya. Tatapannya terlihat tajam seolah ingin menguliti Alara hidup-hidup. Alara tak takut sedikit pun. Justru saat ini keningnya berkerut karena ucapan pria itu barusan. Wajahnya tak menampakkan senyum, berbeda dengan tadi saat ia menyapa Selim dengan ramah. "Aku yakin kamu tidak tuli, Alara!" sentak Selim. "Saya memang tidak tuli, Pak. Saya hanya bingung," ujar Alara. "Bingung?" Alara mengangguk pelan. "Bingung karena sikap Anda yang aneh ini." "Aneh?" ucap Selim lagi. Alara tertawa mengejek. "Maafkan saya, Pak. Hanya saja, saya berusaha untuk bersikap sopan pada Anda. Tadi saya menyapa Anda disertai wajah yang tersenyum ramah. Lantas sikap seperti apa yang harus saya tunjukkan pada Anda? Bersikap sok akrab dan manis pada Anda?" Kemudian, Alara menggeleng. "Maaf, Pak! Saya tidak bisa seperti itu. Malah dengan bersikap seperti itu, saya berarti menunjukkan betapa munafiknya saya. Tak seharusnya seorang mahasiswa bersikap demikian pada dosennya. Apakah sikap saya tadi melewati batas?" Selim membisu. Matanya masih setia menatap gadis itu yang perlahan mengulas senyumnya. "Maaf, saya harus pulang. Assalamu 'alaikum!" Selim menjawab salam Alara dengan lirih. Matanya mengikuti gadis itu yang perlahan menjauh dengan menggunakan motornya. Seketika rasa khawatir muncul di hatinya. Ia memutuskan mengikuti laju motor Alara dengan mobil yang ia kendarai. Menurutnya, ia hanya khawatir mengingat sudah larut malam dan gadis itu berkendara sendirian. Tiga puluh menit kemudian, Selim berhenti tak jauh dari posisi Alara saat ini. Ia melihat Alara turun dari motor dan membuka pagar sebuah rumah. Alara menaiki motornya kembali lalu masuk ke pekarangan rumah. "Jadi, gadis itu tinggal di sini?" gumam Selim. Ia melajukan mobilnya dengan pelan agar ia berhenti tak jauh dari depan rumah Alara. Ia melihat Alara mengecup punggung tangan seorang wanita paruh baya yang ia perkirakan adalah ibunya, lalu gadis itu masuk ke dalam rumah disusul sang ibu yang mengunci rumah. Selim mengulas senyum tipis. Setidaknya ia merasa lega karena Alara telah sampai di rumahnya dengan selamat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD