3. Dosen Menyebalkan

1018 Words
Tangan Alara masih sibuk membersihkan setiap bagian rak buku di ruang kerja Selim. Sesekali gadis itu bersin berulang kali karena debu yang menempel di rak buku paling atas. "Nih dosen malas amat! Padahal rak buku setinggi ini masih bisa dia jangkau sendiri malah pakai nyuruh orang. Bilang aja gak mau repot!" Suara pintu terbuka membuat Alara menoleh sebentar lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang hampir selesai. "Lebih baik kamu minum dulu!" perintah Selim sembari berjalan menuju sofa lalu mendudukinya. Mata tajamnya masih tak lepas dari gadis yang tak mengindahkan ucapannya. "Apa kau tuli*?" ucap Selim dengan suara yang naik satu oktaf. Alara menghela napas lelah, kemudian menatap mata Selim. "Telinga saya masih normal, Pak. Saya akan minum setelah pekerjaan saya selesai. Tinggal ini saja kok. Saya tidak mau repot menaiki tangga ini lagi setelah saya minum." Setelah berucap demikian, ia kembali menata buku-buku yang sudah bebas dari debu. Setelah itu, ia pun turun perlahan sembari menata buku di rak bagian bawah. Tanpa gadis itu sadari, Selim tersenyum tipis melihat wajah gadis yang penuh keringat. Rambut panjangnya terlihat berantakan, tetapi tak mengurangi pesona gadis itu di matanya. Alara pun berbalik. Seketika Selim mengubah kembali ekspresi wajahnya menjadi datar. Alara tak peduli karena yang ia inginkan hanya segera mengusir rasa dahaga dengan air mineral dingin yang terletak di atas meja kerja dosennya itu. Ia membuka botol seraya mengucap basmalah dengan lirih. Ia pun meneguk isinya perlahan dan lagi-lagi Selim memperhatikan bagaimana caranya mahasiswinya itu minum. "Sial!" desisnya. Sangat pelan, akan tetapi Alara masih dapat mendengarnya. "Ada apa, Pak?" Kening Alara mengernyit karena bingung. Ia merasa tak melakukan kesalahan apa pun. "Bukan urusanmu!" ketus Selim. Pria itu pun menghabiskan minumannya yang tersisa. Alara melangkah agar ia lebih dekat dengan dosen tampan lagi arogan tersebut. "Pak, pekerjaan saya sudah selesai. Bisakah saya pulang sekarang?" tanya Alara, hati-hati. Selim tak menjawab. Pria itu berdiri dan menarik lengan Alara hingga mereka nyaris tak berjarak, lalu menunduk agar kepalanya lebih dekat dengan kepala gadis itu. "Sudah kau pastikan semuanya bersih?" bisik Selim tepat di hadapan wajah mahasiswinya itu. Meskipun hanya bisikan, tetap saja terdengar begitu tajam di telinga Alara. "Anda bisa memeriksanya sendiri," sahut Alara, tenang. Ia tak ingin kelepasan memberi bogem mentah pada pria yang berani bersikap seperti ini padanya. Tubuh Selim kembali berdiri tegak. Ia pun berjalan ke belakang menuju rak buku yang sudah terlihat bersih. Ia mencolek bagian dalam rak dan memang tak ada lagi debu yang tersisa. Alara memperhatikan gerak-gerik Selim dengan rasa khawatir. "Baiklah, kamu bisa pulang sekarang." Selim masih menatap gadis itu seolah tak rela membiarkannya pergi. Alara tersenyum tipis. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Saya berjanji, saya tidak akan terlambat lagi." Selim hanya bergumam. Ia pun membiarkan Alara pergi setelah ia menjawab salam gadis itu. Pria itu berbalik, menatap ke arah jendela dan memperhatikan langkah gadis itu dari jauh. Ia melihat Alara tersenyum saat berhadapan dengan Vino. Namun, Selim seperti tak suka melihat gadis itu tersenyum untuk pria lain. "Sial! Ada apa denganmu, Selim?" monolog pria itu sembari mengepalkan kedua tangannya. *** Badan Alara terasa remuk. Setelah melepas sepatunya seraya mengucap salam, ia langsung menuju kamarnya. Ia yakin sang ibu tak ada di rumah karena sebelum ia masuk, pagar rumahnya terkunci. Beruntung ia memiliki kunci cadangan yang selalu ia bawa beserta kunci motornya, sedangkan kunci pintu utama sengaja Winda simpan di bawah pot bunga mawar di teras rumah. Di dalam kamarnya, Alara melepaskan tas ransel dan melemparnya secara sembarangan. Ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang lalu memejamkan matanya. Karena ia sedang datang bulan, ia memutuskan untuk tidur siang karena tubuhnya sangat lelah. "Belum ada seminggu kuliah, udah dibikin remuk sama dosen arogan," keluhnya. Ia menghela napasnya dalam-dalam. Suara perutnya membuatnya meringis. Ia harus mengisi perutnya setelah tenaganya terkuras di ruangan dosennya. Ia berjalan ke dapur sambil mengikat rambutnya agar ia tak kepanasan, lalu membuka tudung saji. Ia tersenyum senang karena mendapati orek tempe dan sup ayam di atas meja. Ia tinggal menghangatkan sup itu sebentar sebelum ia santap. Sambil menunggu supnya hangat, ia membuka aplikasi w******p untuk melihat siapa saja yang mengiriminya pesan. Namun, tak lama ponselnya berdering dan seketika ia menjawab panggilan tersebut. "Halo, assalamu 'alaikum!" "Wa 'alaikumussalam. Lara, lo di mana?" "Di rumah. Kenapa?" Gadis itu mematikan kompor dengan satu tangannya yang bebas. Ia segera menuangkan sup ke dalam mangkuk secara hati-hati. "Bisa ganti sif gue hari ini, gak? Gue demam dari semalam, tapi baru sempat ngabarin Pak Ryan. Please, bantu gue, ya! Gue udah minta tolong yang lain, tapi pada gak bisa." Alara menarik napas lalu mengembuskannya. "Oke, Chika. Gue minta izin dulu sama Ibu sebelum pergi." "Alhamdulillah, thanks banget, ya! Nanti gue bakal ganti sif lo nanti. Udah, ya! Gue masih mau tidur. Assalamu 'alaikum!" "Wa 'alaikumussalam." "Yah, baru aja mau tidur siang," gumam Alara. Gadis itu membawa mangkuk ke atas meja makan lalu mengambil sedikit nasi. Ia makan dengan lahap masakan sang ibu yang menurutnya tak ada yang bisa menandinginya. Ia perlu mengisi tenaganya sebelum pergi bekerja. *** Pukul 16.00, Alara sampai di restoran. Ia segera masuk dan disambut beberapa pegawai yang mengenalnya. "Hei, Lara! Kok bisa di sini?" Patricia mengernyit karena sepengetahuannya hari ini Alara off. "Aku gantiin Chika, Kak. Dia sakit soalnya." "Oh, gitu! Tadi Pak Ryan sempat bilang sih," sahut Patricia. "Kak, aku ganti pakaian dulu, ya!" ucap Alara. "Oke, Dek! Semangat, ya!" Alara mengangguk lalu segera masuk ke ruangan khusus karyawan restoran. Sepuluh menit kemudian, ia keluar dengan seragamnya dan siap melaksanakan tugasnya. Alara merupakan seorang pelayan restoran khas Jepang. Ia telah bekerja di tempat itu selama setahun. Keputusannya untuk bekerja sempat menimbulkan perang dingin antara ia dan ibunya. Winda ingin dirinya fokus pada studinya, sedangkan Alara tak tega membiarkan ibunya terus-menerus bekerja karena sang ibu tercinta memiliki penyakit diabetes. Sebagai seorang anak tunggal, ia merasa bertanggung jawab merawat ibunya setelah ayahnya meninggal dunia sejak tiga tahun yang lalu. Ia ingin melihat ibunya berumur panjang dan selalu sehat. Sejak Winda divonis diabetes, Alara mengatur ketat pola makan sang ibu dan rutin membawa ibunya cek kesehatan seminggu sekali dan tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tak masalah bila ia harus lebih lelah dibandingkan orang lain, asalkan ibunya selalu bersamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD