BAB 28

1568 Words
"Zulaikha?" "Iya, Pak?" Karena bingung ingin bicara apa, Yusuf akhirnya hanya menampakkan senyuman yang selama ini jarang ia tampakkan kepada wanita lain. Padahal di cafe tidak panas, tapi Yusuf malah kegerahan, rasanya seperti terciduk mengambil mangga tetangga--mau lari takut dikejar, tidak lari takut dipukuli. "Ada apa, Pak? Bapak mau pesan apa?" tanya Zulaikha. Seketika Yusuf bernapas lega, setidaknya ia masih memiliki alasan kalau ternyata Zulaikha berpikir kalau ia memanggil namanya karena ingin memesan makanan atau minuman. "Ah ya, saya mau caramel latte dan roti selai cokelat, tapi ...." "Cokelatnya jangan banyak-banyak," sambar Zulaikha, tak lama kemudian dia tertawa kecil. "Rasanya saya sampai hapal karena pak Yusuf sering datang ke sini, ditunggu, ya, Pak." Setelah mengatakan itu Zulaikha menganggukkan kepalanya sebagai bentuk izin tanpa berucap. Sudah susah payah Yusuf menahan senyum, tapi senyumannya tetap tercetak. Namun tak lama kemudian senyuman itu langsung luntur ketika ia sadar kalau sekarang ia menjadi tatapan banyak orang. Di saat itu juga ia langsung berdehem dan menampakkan ekspresi awal--datar. Ketika ia menoleh kembali ke arah depan, Tari sedang menatapnya dengan tatapan aneh. Yusuf pun melanjutkan langkahnya kembali. "Kamu kenal dengan dia?" tanya Tari saat Yusuf sudah ikut duduk bersama teman-teman satu circle-nya. Yusuf menganggukkan kepalanya. "Saya udah sering datang ke sini, dia juga teman dekat adik saya," ucap Yusuf. Tari tertawa renyah yang kesannya dipaksakan. "Aku udah duga itu, enggak mungkin kamu dekat dengan dia." Yusuf langsung menoleh ke arah Tari. "Kenapa enggak?" "Rasanya aneh aja kalau lihat laki-laki seperti kamu dekat dengan seorang barista." Selama ini yang Yusuf tahu Tari itu tipe orang yang tidak suka membandingkan harta dan tahta orang lain, rasanya ia agak kecewa sebab penilaiannya ternyata melenceng. "Saya cukup dekat dengan dia, lagi pula enggak ada alasan untuk dekat dengan seorang barista. Dia perempuan pekerja keras, rasanya saya lebih bangga memiliki kenalan seperti dia." Tari tergagap, bibirnya mengatup-ngatup seperti ikan ditaruh di darat. "Ah ya, ini hadiah dari saya, semoga di tahun ini kamu bisa menjadi insan yang lebih baik lagi." Setelah mengatakan itu Yusuf memberikan bingkisan berisi kerudung dan gamis yang ia beli sepulang dari rumah sakit yang sejak tadi ia bawa-bawa. Rasanya aneh kalau datang ke acara ulang tahun orang lain tidak membawa apa-apa. Itu pun ia beli dadakan dan asal pilih, jujur saja Yusuf kurang paham selera modis wanita zaman sekarang, jadi yang ia beli hanya kerudung dan gamis polos berukuran syar'i meski ia tahu Tari tidak pernah mengenakan pakaian syar'i. Setidaknya apa yang ia beli tidak digunakan untuk hal-hal berbau maksiat--mengumbar aurat contohnya. Tari langsung tersenyum senang. Ini kali pertamanya dibelikan barang oleh Yusuf, jadi ia akan jaga barang ini baik-baik. "Terima kasih, Yusuf." Yusuf menganggukkan kepalanya, kadang kala ia merasa kalau Tari itu kurang sopan dengannya, padahal usia ia satu tahun lebih tua, ia bukan bermaksud ingin dihormati, di mata Yusuf attitude itu jauh lebih bersinar daripada keparipurnaan wajah. "Ey yo, Pak Direkrur!" sapa Yahya--dokter penyakit dalam, salah satu dokter yang dekat dengan Yusuf. Yusuf sampai membulatkan mata saat melihat Yahya, terakhir bertemu dengannya itu ketika ia melihat Zulaikha sedang menangis di rumah sakit bagian belakang, dia juga yang memberitahu kalau ada KTP perempuan ikut serta bersama file-file yang Yusuf bawa. Ia memang mendapat tugas untuk menetap di luar negeri sementara, rupanya laki-laki itu sudah pulang. Yusuf pun langsung bangun dari kursi, mengabaikan ucapan terima kasih yang tadi Tari ucapkan. "Saya izin ke sana," ucap Yusuf. Tanpa mau mendengarkan ucapan Tari lagi Yusuf langsung pergi begitu saja. Tidak ada yang berani menggoda ataupun menegur Yusuf, semua orang tahu siapa Yusuf terlebih dengan karakternya. Mereka tidak mau mendapatkan ucapan pedas apalagi surat pemberhentian. Dari kejauhan Tari melihat Yusuf memeluk Yahya, dia terlihat riang bersama Yahya, hal itu tidak aneh sebab mereka memang dekat, yang justru membuat Tari aneh sampai mood baiknya hilang adalah kenapa Yusuf bisa dekat dengan barista tadi. Berpapasan dengan itu, Zulaikha datang sambil membawa nenampan berisi beberapa pesanan orang. Tari memicingkan mata, rasanya benar-benar kesal. Entah setan mana yang merasukinya, tiba-tiba ia menyelonjorkan kaki ke arah kiri, Zulaikha yang sebelumnya tidak melihat kalau ada kaki Tari di bawah pun terselengkat. Matanya membulat, kopi panas yang ada di nenampannya berjatuhan, tapi belum sempat Zulaikha ikut jatuh bersamaan dengan kopi-kopi itu, sudah ada yang menahannya lebih dulu. Itu Yusuf. Dia menarik lengan Zulaikha sampai perempuan itu menubruk dadanya. *** "Lu tau enggak, Le, kenapa satu bulan bisa menerangi satu dunia?" Alea menggelengkan kepalanya, malam ini ia sedang kumpul bersama teman-teman satu organisasinya, mereka hendak rapat membahas proker, karena masih banyak yang belum datang, mereka masih bisa santai-santai. Kini mereka ada di sebuah kedai kopi emperan yang mana sedang menampilkan pementasan band dengan musik favorit Alea. "Karena satu wanita aja bisa menerangi satu hati laki-laki, kenapa bulan enggak bisa." Alea mendesis sebelum akhirnya menyeruput es kopi yang belum lama ia pesan. "Sekarang gua yang nanya, kenapa burung beo suka membeo?" Isal menggelengkan kepalanya, berharap apa yang akan Alea katakan adalah kata-kata romantis. "Karena lu aja bisa ngebeo mulu, kenapa burung beo enggak." Isal menggelengkan kepalanya sambil cekikikan. "Karena mencintai lu itu sulit, jadi yang bisa gua lakukan ya ... mengganggu lu." Alea menimpuk Isal dengan tissue bekas keringatnya. "Dasar, Buaya!" "Heh, Romeo and Juliet! Ayo masuk, press udah datang," panggil salah satu teman satu organisasi mereka. Alea sampai mengerjapkan mata saat melihat ada Rizwan di antara kerumunan, ia tahu Rizwan memang mantan anggota aktif, tapi setahu ia sudah dua tahun Rizwan tidak pernah ikut serta lagi. "Kenapa, Alea? Udah kayak lihat artis aja," ucap Rizwan saat melihat wajah terkejut Alea. Alea mendesis, dia ini kebanyakan mendesis nanti lama-lama berubah jadi ular. "Sini duduk samping aku, masih kosong," ucap Rizwan, Alea tahu Rizwan tidak sungguhan dengan tawarannya, akhir-akhir ini ia memang sering mengganggu Alea, di mana Kafka sedang berusaha menggaet Zulaikha, Rizwan malah membuat Alea tersiksa. "Ogah, Kak Rizwan bau bandot!" ucap Alea, dia memilih untuk duduk di antara para perempuan lainnya. Rizwan hanya cekikikan. Karena kegiatan rapat akan dimulai, semua anggota pun langsung fokus mendengarkan sang ketua. Rupanya Rizwan diundang untuk membantu mereka menemukan ide baru. Selama ini Alea tidak pernah rapat ataupun kumpul bersama Rizwan di organisasi, sebab saat ia masuk Rizwan sudah tidak aktif. Ternyata Rizwan tak jauh berbeda dengan Kafka, dia memiliki retorika yang baik dalam berbicara, idenya pun masuk akal, tapi anehnya mengapa laki-laki seperti Rizwan harus mendapatkan predikat mahasiswa abadi? Memang, sih, menurut perkataan orang lain, Rizwan itu tidak sama dengan Amar dan Kafka dalam hal harta, ia harus me-manage waktu mencari uang dan mencari ilmu, tapi entahlah .... *** Mata Zulaikha membulat ketika tubuhnya menubruk tubuh Yusuf, detik itu juga ia langsung menjauh lalu menundukkan kepalanya. "Sa-saya minta maaf." "ZULAIKHA!" teriak Rendy, semenjak ayahnya sudah tidak lagi bekerja dan menyerahkan cafe kepada Rendy, anak temperamental yang berusia tujuh tahun lebih tua dari Zulaikha itu semakin menjadi-jadi, dia sangat galak. Tari menutup mulutnya, ada rasa puas, sesak, dan juga menyesal. Puas karena ia berhasil mempermalukan Zulaikha di depan umum, sesak karena melihat Yusuf menolong Zulaikha sampai kontak fisik, dan menyesal karena selama ini ia memang tidak pernah sejahat itu dengan orang lain. Cinta itu memang buta. Zulaikha semakin menundukkan kepalanya saat Rendy sudah ada di hadapannya. "Ini bukan kali pertama kamu pecahin gelas dan buang-buang kopi! Saya enggak mau tau, kamu harus ganti, gaji kamu saya potong! Kalau kamu enggak terima, di saat itu juga saya pecat kamu!" Setelah mengatakan itu Rendy langsung pergi. Zulaikha memejamkan matanya sambil menarik napas, saat menghela napas ia buka kembali matanya. Ia harus lebih sabar, dunia ini tidak akan melunak kalau kita tidak memperkuatkan diri. "Terima kasih, Pak," ucap Zulaikha kepada Yusuf sebelum akhirnya ia punguti serpihan gelas yang berserakan di lantai. Tiba-tiba Yusuf ikut berjongkok, tidak hanya Yusuf, Yahya pun ikut serta, dua laki-laki itu hendak membantu Zulaikha, tapi Zulaikha buru-buru melarangnya. "Biar saya aja, Pak." "Kamu enggak salah, kaki Tari tuh tadi selonjoran enggak tau tempat, biar saya bantu bicara sama bos kamu, galak banget tuh orang," omel Yahya. Saat mendengar nama Tari Yusuf langsung menoleh ke arah Tari, perempuan itu tampak kelabakan. Tidak hanya Yusuf, banyak tamu undangan juga menoleh ke arah Tari tidak percaya. "Tap-tapi, Pak." "Duh udah enggak usah mikir enggak enak, saya paling enggak bisa lihat perempuan ditindas, saya punya ibu, punya adik perempuan, punya istri, saya yakin keluargamu pasti tersakiti kalau kamu ditindas tanpa pembela seperti ini," ucap Yahya, dia tampak tidak main-main dengan ucapannya, wajahnya pun memerah menahan marah. "Terima kasih, Pak." Yusuf menatap ke arah Zulaikha, ia bisa melihat sorot kesedihan di mata perempuan itu, rahangnya mengeras. Entah mengapa ia pun merasa tidak terima. Perempuan ini masih terlalu muda, tapi sudah menerima beban begitu berat. Beberapa waktu lalu Yusuf pernah bertemu dengan Fauzan, ia sempat bertanya kepada adik Zulaikha itu, tentang bagaimana Zulaikha sebenarnya. Dan dia menjawab, "Kak Likha enggak suka kelihatan lemah, dia selalu bertopeng buat terlihat kuat, apalagi kalau udah ada di hadapan ayah dan ibu, dia selalu bilang enggak lapar padahal lapar, dia selalu bilang masih semangat padahal udah benar-benar lelah, walaupun wajahnya kelihatan lembut, dia itu sebenarnya wanita yang keras, mungkin kalau Dokter lihat dia marah, Dokter enggak akan menyangka kalau itu dia, tapi jujur aja, dia manusia terbaik yang pernah saya temui di dunia ini." Percayalah, Fauzan tidak akan mau mengatakan kekagumannya kepada sang kakak secara langsung, sudah dikatakan sebelumnya, Fauzan itu punya gengsi yang tinggi, tapi entahlah dia merasa nyaman dengan Yusuf bahkan pernah berdoa agar Zulaikha dan Yusuf bisa dekat lalu menjadi sepasang suami-istri, ia yakin mereka akan bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD