BAB 24

2003 Words
"Eh, Likha, Alea," ucap Kafka saat menoleh. Mendengar Kafka menyapa Zulaikha dan Alea, orang-orang yang sebelumnya sedang menatap ke arah Kafka kini berpaling ke arah Zulaikha dan Alea. "Bisa bicara sebentar?" Alea dan Zulaikha jadi salah tingkah, terlebih Zulaikha yang tidak biasa menjadi tatapan banyak orang, tubuhnya langsung panas dingin. Ia merutuki diri, tahu seperti ini, ia akan memaksa Alea untuk pergi. Sekarang ia sudah tidak bisa apa-apa selain mengiyakan, lagi pula menolak pun bingung ingin memberikan alasan apa--otak mereka blank seketika. Alea menganggukkan kepalanya setelah beberapa detik terdiam. Sambil mengusap pelan bibirnya yang berdarah, Kafka melangkahkan kaki lebih dulu ke arah depan, ada tukang siomay yang menyediakan bangku untuk pembeli, setidaknya mereka bisa bicara sebentar di sana. Kafka memang sedang mencari-cari Zulaikha sejak tadi, ia masih merasa bersalah dengan perempuan itu. Entahlah ini bentuk rasa bersalah atau rasa khawatirnya karena takut orang yang diam-diam ia kagumi membencinya. Kafka pun masih belum paham dengan perasaannya sendiri. Saat Amar, Rizwan, dan Kafka duduk, Alea dan Zulaikha memilih untuk tetap berdiri dan tetap menjaga jarak. Kalau mereka dekat-dekat yang ada nanti jadi bahan perbincangan hangat para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang berlalu-lalang sambil menatap penuh interogasi ke arah mereka. "Aku punya obat merah, sebentar," ucap Alea tiba-tiba ketika melihat wajah babak belur Rizwan yang sedang Amar bersihkan perlahan menggunakan tissue dari tukang siomay. Tepat saat Alea menemukan obat merah yang selalu ia bawa dalam tote bag-nya, Amar mendapatkan telepon masuk dari ayahnya dan Kafka dipanggil oleh petugas keamanan--entah untuk diapakan. Alea jadi kebingungan, tidak mungkin, kan, kalau ia yang harus melakukannya? "Tadi nawarin, kenapa malah diam aja?" ucap Rizwan dengan wajah meringis. "Tap-tapi ...." Ucapan Alea terpotong, ia pun bingung ingin bicara apa. "Tolong bantu aku," ucap Rizwan. Alea menoleh ke arah Zulaikha yang sedang berdiri dengan wajah gelisah, entah apa yang sedang perempuan itu pikirkan. Karena Zulaikha tidak sedang menatap ke arahnya, Alea jadi tidak bisa meminta saran dari perempuan itu. Akhirnya, perlahan tapi pasti, Alea melangkahkan kakinya sampai ada di hadapan Rizwan. Jujur saja, Kafka dan dua teman dekatnya itu tampan-tampan, rasanya memilih di antara mereka sambil memejamkan mata pun tidak akan menyesal. Jantung Alea berpacu cepat. "Maaf," ucapnya sambil mengolesi obat merah menggukan kapas. Rizwan memejamkan matanya, ia tidak mau menatap perempuan secantik Alea dengan jarak sedekat ini, kalau ia kagum, kan, nanti bahaya. "Biar aku lanjutin," ucap Amar, dia sudah selesai bertelepon dengan ayahnya. Alea menganggukkan kepalanya lalu mundur beberapa langkah setelah kapas dan obat merah yang sebelumnya ada di tangan ia sudah dipindah alihkan ke tangan Amar. Zulaikha menaikkan sebelah alisnya, ia baru sadar kalau Alea tadi meninggalkan ia, ia terlalu fokus menatap jalanan yang dipadati dengan kendaraan umum dan beberapa mahasiswa yang masih berlalu-lalang. "Habis ngapain kamu?" tanya Zulaikha pelan. "Terus aja tatap jalanan," sembur Alea dengan wajah masam. "Dih?" Pembicaraan mereka terpotong ketika Kafka sudah kembali, rupanya dia habis ditanya-tanya tentang kejadian hari ini oleh petugas keamanan kampus. Mereka memangggil Kafka karena mereka melihat Kafka memukul laki-laki itu sampai tersungkur ke tanah. Tadi, laki-laki itu masih terus membela diri, tapi Kafka menang kali ini. "Kamu bawa mobil, Alea?" tanya Kafka. Alea menggelengkan kepalanya, Alea ini lebih senang menyusahkan diri sendiri, aneh memang anak itu, mobil punya tapi malah memilih naik bus. Katanya, sih, supaya bisa pulang bersama Zulaikha, soalnya Zulaikha jarang mau pulang bersama menggunakan mobil Alea. "Sebenarnya aku mau bicara sama Zulaikha, tapi enggak mungkin kita bicara berdua, jadi gimana kalau kita bareng-bareng aja?" tanya Kafka sambil menatap Alea, Zulaikha, dan kedua temannya. Alea tidak langsung menjawab, ia menatap ke arah Zulaikha lebih dulu, meminta persetujuan dari perempuan itu. "Gas," sambar Rizwan yang disetujui oleh Amar. Karena melihat kedua teman Kafka menyetujuinya, akhirnya Alea pun menganggukkan kepalanya, ia tahu betul Zulaikha itu paling tidak bisa berada di sekitaran laki-laki, kalau ia ikut-ikutan diam yang ada nanti tiga laki-laki yang ada di hadapan mereka tersinggung. "Bagaimana dengan kamu, Lik?" tanya Kafka saat melihat Zulaikha terus menunduk. "Maaf, tapi aku enggak bisa, aku harus kerja, ini hari pertamaku kerja setelah liburan, sekali lagi mohon maaf." Alea jadi tergagap, pasalnya ia sudah menganggukkan kepala tadi. "Kalau Kakak emang mau bicara, bicara langsung aja sekarang, ada apa?" Kini giliran Kafka yang tergagap, setelah membuat Alea dan Zulaikha blank, kini ia yang malah blank. "Ya-yaudah kalau begitu kamu balas pesan aku aja, maaf mengganggu waktu kamu." Zulaikha tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu aku dan Alea permisi, assalamu'alaikum." Setelah mengatakan itu Zulaikha langsung menarik Alea untuk pergi. *** Sehabis salat Maghrib, Yusuf sudah bisa pulang ke rumah. Di perjalanan, ia melihat dari dalam mobilnya cafe tempat di mana Zulaikha bekerja. Tiba-tiba Yusuf menghentikan mobilnya di tepi jalan, ia menatap lurus ke arah cafe itu. Seketika bayangan beberapa waktu lalu, saat ia dan Zulaikha duduk berhadapan. Setelah bertahun-tahun tidak tertarik dengan banyak wanita, kini ia malah tertarik dengan perempuan yang bisa dikatakan sederhana. Selama ini Yusuf selalu dikenalkan dengan seorang wanita hebat, baik seorang dokter, pengusaha, pemilik butik besar, anak tunggal kaya raya, dan lain sebagainya, tapi tak ada satu pun yang membuatnya tertarik. Tari, dia seorang dokter juga, dia cerdas, banyak laki-laki yang mengantre ingin menjadi suaminya, tapi laki-laki yang Tari sukai malah Yusuf--seorang laki-laki yang masih trauma dengan kisah masa lalunya dan sulit untuk membuka lembaran baru. Namun, entah mengapa orang yang terlihat menarik di mata Yusuf malah Zulaikha, perempuan yang akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan adik satu-satunya. Yusuf kenal sendiri dengan Zulaikha sebelum Kafka mengenalkannya karena sebuah insiden menolong ibu melahirkan, Zulaikha tidak pernah menggodanya, tidak ada yang merekomendasikan Zulaikha kepadanya, tapi Zulaikha seolah maju paling depan dari antrean yang sebelumnya tidak pernah ada kemajuan. Entah kerasukan apa Yusuf malam ini, setelah diam sambil mengamati cafe, kini ia malah melajukan mobilnya ke arah cafe. Padahal akhir-akhir ini ia sudah menekankan diri untuk tidak minum kopi, tapi karena seorang perempuan yang bahkan belum mengenal atau ia kenal secara dekat, tekanan yang sebelumnya ia berikan kepada dirinya sendiri malah ia lawan. Yusuf itu orang yang konsisten, tapi Zulaikha berhasil merobohkan kekonsistenannya. Entah seperti apa sebenarnya perempuan itu, Yusuf semakin penasaran dibuatnya. *** Kafka termenung sambil menatap langit malam melalui jendela kamarnya. Ia masih memikirkan apakah Zulaikha marah atau tidak dengan ia. Padahal kalau dipikir-pikir, masalah yang sekarang menghantui pikirannya itu hanyalah masalah sepele, di mana ia hanya menawarkan Zulaikha makan malam karena kesal dengan Zia. Namun, karena rasa bersalahnya sebab sudah menjadikan Zulaikha pelampiasan ditambah Zulaikha yang menolak ajakannya tanpa alasan, ia jadi terus kepikiran. Bahkan, pesan Kafka masih belum dibalas oleh wanita itu. Tanpa Kafka sadari, sebenarnya ia hanya merasa khawatir Zulaikha membencinya. Hal itu terjadi karena ia mengagumi Zulaikha, perempuan yang baru ia kenali secara singkat--belum mendalam. Kafka meneghela napas pelan lalu menutup kaca jendelanya. "Kayaknya aku harus temui dia di cafe," gumamnya pelan. "Iya, lebih baik seperti itu, siapa tau dia luang dan aku bisa bicara langsung sama dia." Kafka menganggukkan kepalanya lalu menyambar jaket untuk menutupi kaus hitam polos yang ia kenakan sekarang. Saat tiba di parkiran rumah, Kafka belum mendapati mobil milik ayah dan kakak laki-lakinya terparkir di sana, kalau ayahnya memang sudah mengatakan akan pulang jam delapan, tapi Yusuf, harusnya sekarang laki-laki itu sudah ada di rumah. Kafka menggedikkan bahu sambil membuka pintu mobilnya. "Mungkin dia mampir ke tempat makanan, atau mungkin juga lagi kencan sama kak Tari, entahlah," ucap Kafka sambil menyalakan mobilnya. Setelah itu ia langsung melanjukan mobilnya keluar dari rumah. *** Yusuf melangkahkan kakinya dengan pasti memasuki cafe yang sepi pada malam hari ini. Dari arah pintu ia mendapati Zulaikha sedang tersenyum, tampaknya dia sedang bercanda dengan Anisa--pathner kerjanya selama ini. Anisa langsung menyikut Zulaikha saat melihat Yusuf mendekat ke tempat pemesanan--tempat di mana mereka berada. Sebelumnya Anisa sudah berpikir kalau ia akan berusaha mendekati salah satu putra dari pemilik Alhusayn Group, tapi saat melihat salah satu putranya secara langsung niatannya jadi urung. Ia dibuat sadar diri dengan kenyataan kalau ia tidak selevel dengan mereka. Meski jujur saja jantungnya berdegup sangat kencang, Yusuf tetap bersikap biasa--cuek. Wajah dinginnya yang selalu membuat orang lain segan kini terpampang dengan jelas di depan mata Zulaikha. Zulaikha jadi teringat dengan beberapa pertemuan mereka, dari mulai saat menolong ibu melahirkan, Yusuf menemukan KTP-nya, sampai pada pertemuan terakhirnya di rumah sakit. Entah mengapa, Zulaikha selalu tidak berani menatap wajah Yusuf, tatapan laki-laki itulah yang ia hindari. "Caramel latte," ucapnya saat Zulaikha memegang pulpen, padahal Zulaikha belum bertanya. "Baik, Pak, ditunggu, ya," ucap Zulaikha. Berpapasan dengan itu, Anisa dipanggil Rendy--anak pemilik cafe--untuk membantunya, entahlah membantu apa. Zulaikha jadi gemetar, untungnya Yusuf langsung pergi ke tempat duduk. Malam ini pengunjung cafe hanya hitungan jari, dan rata-rata dari mereka adalah orang-orang yang sedang fokus mengerjakan tugas. Cafe ini terkenal murah dan sering dijadikan tempat mahasiswa dan mahasiswi mengerjakan tugas. Namun karena rasanya yang memiliki ciri khas tersendiri, banyak orang dari kalangan atas pun datang ke sini. Ambil contoh Yusuf, dia itu termasuk orang-orang dari kalangan atas. Zulaikha menoleh ke arah Anisa yang sedang bicara dengan Rendy, harusnya Anisa yang mengantar kopi, tapi karena Anisa sedang sibuk, terpaksa ia yang harus mengantarnya. Sebelum melangkahkan kaki, Zulaikha menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan terlebih dahulu. Tiba-tiba jantungnya seperti berpesta. "Ini kopinya, Pak," ucap Zulaikha sambil menaruh secangkir kopi ke atas meja Yusuf. Yusuf menganggukkan kepalanya tanpa menatap Zulaikha, ya hanya itu. Zulaikha pun sudah tidak aneh, di matanya Yusuf memanglah seorang laki-laki dewasa yang cuek. Berpapasan saat Zulaikha hendak kembali, namanya dipanggil oleh seseorang yang baru saja masuk ke dalam cafe. Tidak hanya Zulaikha yang menoleh, tapi juga Yusuf, ia kenal siapa pemilik suara itu, karenanya langsung menoleh. Itu Kafka. Dia tampak terkejut saat mengetahui kalau kakak laki-lakinya pun ada di sini. Sebenarnya tidak hanya Kafka yang terkejut, Yusuf juga, tapi laki-laki itu tetap bersikap biasa saja. "Kebetulan banget, ya, kita?" ucap Kafka sambil mengusap pelan bahu Yusuf. Yusuf tersenyum kecil sekilas, Kafka sudah tidak aneh, sama seperti Zulaikha, di matanya Yusuf juga seorang laki-laki yang cuek. Setelahnya Zulaikha kembali ke tempat pemesanan, diikuti oleh Kafka, dari kejauhan Yusuf dapat melihat kalau adik laki-lakinya itu memang sungguhan mengagumi Zulaikha, dari caranya menatap, caranya berbicara, Yusuf sangat kenal bagaimana karakter Kafka--adik laki-laki yang selama ini selalu ia temani sampai akhirnya bisa menjaga diri sendiri. "Zulaikha, maaf, ya, waktu itu aku enggak tau kalau kamu dirawat. Itu juga aku tau karena kak Yusuf yang ngasih tau, dia baru tau pas kamu udah pulang, andai dia taunya pas kamu masih di sana, mungkin aku bakal jenguk kamu." Zulaikha menaikkan sebelah alisnya. Ia bingung dengan apa yang Kafka katakan, padahal jelas-jelas Yusuf tahu sejak awal dia dilarikan ke UGD. "Bukannya pak Yusuf udah tau sejak pertama aku datang ke UGD?" ucap Zulaikha. Kafka menautkan kedua alisnya. "Tapi dia bilang sama aku baru tau pas kamu udah pulang." "Kok?" Hening untuk beberapa saat, sampai akhirnya Kafka tertawa kecil. "Mungkin kakakku kurang merhatiin kamu, bisa kamu lihat sendiri, dia cuek bebek gitu orangnya." Awalnya Zulaikha masih nge-bug, tapi tak lama kemudian dia ikut tertawa. Memang benar Yusuf orang yang cuek, tapi bagi Zulaikha hal itu masih terasa aneh. Kalau mereka hanya berpapasan atau kontak mata beberapa detik mungkin masih bisa diwajarkan, pasalnya dia dan Yusuf sempat bicara, bahkan Zulaikha dapat ceramahan gratis dari laki-laki itu. Jadi kalau laki-laki lupa, atau kurang memerhatikan rasanya ganjil. Zulaikha menggedikkan bahunya. "Yaudah, nanti aku antar kopinya, ya, Kak," ucap Zulaikha sebelum akhirnya berlalu ke tempat pembuatan kopi yang tidak jauh dari tempat di mana ia dan Kafka bicara sebelumnya. Kafka menganggukkan kepalanya. Melihat Kafka sudah selesai bicara dengan Zulaikha, Yusuf langsung memfokuskan matanya ke layar handphone kembali, berpapasan dengan itu, Kafka menatap ke arah kakaknya. Sama halnya dengan Zulaikha, ia pun aneh. Kafka menggelengkan kepalanya, berusaha postive thinking kalau kakak laki-lakinya itu memang kurang memerhatikan orang lain selain dirinya sendiri dan orang-orang yang memang dekat dengan ia. Entah mengapa kenyataan ini membuat hati Kafka bergejolak, ada rasa tidak nyaman di sana. "Apa mungkin kak Yusuf sengaja menyembunyikannya dariku? Tapi untuk apa?" Kafka mengusap wajahnya pelan lalu melangkahkan kakinya ke depan. Ia duduk tepat di depan kakaknya. "Kak, tadi aku tanya Zulaikha, katanya Kakak tau kalau dia dirawat sejak pertama dia dibawa ke UGD?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD