BAB 25

1055 Words
Di pukul tujuh malam, pak Alhusayn baru teringat akan undangan yang orangtua Tari berikan. Mereka tidak hanya mengundang ia, tapi juga Yusuf dan Kafka, tapi bodohnya pak Alhusayn malah belum memberikan kabar kepada kedua anaknya. Kegiatan makan malam akan berlangsung jam delapan di restoran milik keluarga Tari yang sedang naik daun karena terkenal dengan kehigienisan dan kerapiannya. Sambil melangkahkan kaki menuju parkiran diikuti oleh satu orang pengawal pribadinya yang selalu setia menemani sejak dulu hingga kini, pak Alhusayn segera menghubungi Yusuf terlebih dahulu. Panggilan pertama tidak dijawab, saat panggilan kedua barulah Yusuf menjawab teleponnya. Suara Yusuf tampak tak bersahabat, saking kenalnya pak Alhusayn dengan kedua anak laki-lakinya, bahkan saat Yusuf bicara dengan nada yang tak pernah berubah di pendengaran orang lain dapat pak Alhusayn bedakan. "Kamu dan Kafka mendapat undangan makan malam bersama Tari dan keluarganya. Ayah udah terlanjur mengiyakan, jadi Ayah tunggu kamu di restoran milik keluarga Tari, ya. Ayah matikan, assalamu'alaikum." Tanpa mau mendengarkan ucapan Yusuf lagi, pak Alhusayn langsung mematikan saluran telepon secara sepihak. Hal itu ia lakukan karena ia tahu, Yusuf pasti akan menolak jika ajakan itu bersangkutan dengan Tari. Sampai detik ini, pak Alhusayn pun bingung kenapa Yusuf sebegitu tidak sukanya dengan Tadi, padahal di mata ia Tari adalah perempuan baik-baik. Ia jadi semakin bingung, hal apa lagi yang harus ia lakukan agar Yusuf mau membuka hati untuk wanita lain, melupakan Humairahnya yang sudah tenang di alam sana. *** Yusuf tadi tidak langsung menjawab telepon ayahnya karena ia memang sengaja mematikan mode suara di handphone-nya selama bekerja dan lupa untuk menyalakannya kembali. Posisinya ia sedang diajak bicara oleh Kafka, dengan pertanyaannya yang membuat kepalanya mendidih karena bingung ingin bicara apa. "Kak, tadi aku tanya Zulaikha, katanya Kakak tau kalau dia dirawat sejak pertama dia dibawa ke UGD?" Itulah pertanyaan yang belum lama Kafka lontarkan. "Siapa, Kak?" tanya Kafka setelah Yusuf selesai bicara. "Ayah, dia mau kita datang ke restoran milik keluarga Tari, orangtua Tari yang undang langsung. Ayo kita ke sana." Kafka mengerutkan kening, tidak biasanya Yusuf terlihat bersemangat seperti ini. Biasanya ketika ada hal yang berhubungan dengan Tari pasti darahnya langsung mendidih dan memilih untuk pergi tanpa bicara apa pun. Tingkah Yusuf semakin membuat Kafka curiga--curiga dengan hal yang bahkan belum ia pahami secara detail. "Tapi kopiku ...." Berpapasan dengan itu, Zulaikha datang sambil membawa gelas berisi kopi yang masih mengepul. Tiba-tiba hening, Kafka terdiam sambil menatap ke arah Zulaikha, sementara Yusuf terdiam sambil menatap ke arah Kafka. Tinggallah Zulaikha yang salah tingkah. "Ini, Kak, selamat minum," ucap Zulaikha sambil menaruh kopi milik Kafka di atas meja. Setelahnya ia langsung izin pergi, suasana antara kakak dan adik itu entah mengapa terasa pengap, Zulaikha merasa seperti habis masuk ke ruangan tanpa jendela. "Apa mereka sedang bertengkar?" tanya Zulaikha dengan dirinya sendiri. Tak lama kemudian ia menggedikkan bahu, ia tidak boleh mencampuri urusan orang lain. "Ayo, kalau kamu mau habisin minumannya silakan nanti nyusul, alamatnya udah aku kirim ke w******p kamu." Setelah mengatakan itu Yusuf langsung bangkit dari kursi. Padahal kopinya belum sempurna kandas. Tanpa mau mendengarkan ucapan siapa pun lagi, Yusuf langsung pergi begitu saja. Kafka semakin dibuat aneh dengan Yusuf, pertama karena Yusuf itu tipe orang yang tidak suka berbohong, melihatnya mengalihkan pembicaraan tentu saja terasa aneh, terlebih dengan sikap semangatnya untuk datang ke acara makan malam di restoran milik keluarga Tari, sampai-sampai dia yang tidak pernah mau membuang-buang makanan ataupun minuman pun kini melakukannya, kopi yang ia pesan baru diminum beberapa tenggukkan saja. "Kak Yusuf kenapa, sih?" tanya Kafka pelan dengan dirinya sendiri. *** Di malam harinya, sejak pulang dari makan malam, Yusuf sama sekali tidak keluar kamar. Biasanya kalau ada ayah, dia akan ikut nimbrung meski hanya sekedar diam seperti patung. Namun, malam ini Yusuf terlihat sangat berbeda. Kafka menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya. "Apa kak Yusuf mulai suka sama Tari?" tanya Kafka dengan dirinya sendiri. Tak lama kemudian dia menggelengkan kepala. Rasanya aneh kalau seorang Yusuf bisa berubah pikiran secepat itu. Kalaupun ia berubah pikiran, harusnya tak langsung berubah sikap juga, ia tahu betul bagaimana Yusuf. "Jelas-jelas dia lagi mengalihkan pembicaraan supaya aku enggak tanya masalah tadi," ucap Kafka lagi. "Apa benar kalau kak Yusuf menyembunyikan berita bahwa Zulaikha dirawat? Lalu untuk apa? Untuk apa dia melakukannya? Memangnya ada hal yang harus disembunyikan? Lagi pula dia enggak dapat apa-apa dari itu." Setelah mengatakan itu Kafka melangkahkan kaki menuju kasur lalu mengambrukkan tubuhnya begitu saja. "Bagaimana pun caranya, aku harus nanya hal ini secara langsung sama kak Yusuf nanti. Kalau dia terus alihin pembicaraan, aku anggap sebenarnya dia suka sama Zulaikha?" Tiba-tiba Kafka terdiam, entah mengapa hatinya jadi terasa tak tentram. Belum lama ia membaca tentang kisah sahabat nabi yang harus merelakan orang yang ia cintai untuk sahabatnya sendiri, sekarang ia malah berpikiran aneh-aneh dengan haluan kalau ia dan Yusuf mengagumi satu perempuan yang sama siapa yang akan mengalah? Ia atau Yusuf? "Itu enggak mungkin!" tegas Kafka sambil menutup wajahnya dengan bantal. *** Di sisi lain, Yusuf pun sedang termenung sambil menatap langit malam dari jendela kamarnya yang sengaja ia buka. Wajahnya tersapu oleh angin malam, padahal ada pekerjaan yang harus ia selesaikan, tapi karena tidak dapat fokus sejak tadi, ia memutuskan untuk cari angin dari jendela itu. "Kafka pasti lagi bertanya-tanya sekarang," gumam Yusuf. Ia memejamkan mata sambil menarik napasnya lalu ia embuskan napas itu secara perlahan. "Sebenarnya ada apa dengan diriku? Jelas-jelas bohong itu seperti kanker, awalnya sedikit lama-lama merusak tubuh. Kalau aku bohong sekali, maka kebohongan itu akan menggerogoti tubuhku, dan sekarang aku merasakannya. Aku harus apa sekarang?" Lagi-lagi ia menarik dan menghela napas secara perlahan. "Apa iya aku mengagumi Zulaikha? Kalau iya, aku merasa masih enggak yakin, mana mungkin secepat ini, aku yakin ini cuma perasaan sementara. Mau bagaimana pun, aku enggak boleh kayak gini, Kafka lebih dulu mengaguminya." Setelah mengatakan itu Yusuf menutup jendela kamarnya lalu melangkahkan kaki ke arah kasur. Ia matikan lampu kamar, menyisakan lampu tidur dengan cahaya remang-remang. Sudah saatnya untuk mengistirahatkan otak. Masih ada hari esok untuk memikirkan hal yang mengganggu hari ini. Sudah beberapa kali Yusuf membulak-balikkan tubuhnya, tapi ia masih belum bisa pulas. Tiba-tiba perutnya berbunyi, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ia yakin Kafka sudah tidur, anak itu, kan, pelornya minta ampun. Tepat saat Yusuf melangkahkan kaki menuju tangga, dari arah berlainan Kafka juga melangkahkan kakinya menuju tangga. Mereka berhadapan sambil menatap satu sama lain. Tunggu, mengapa jadi canggung seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD