BAB 26

1207 Words
Tepat saat Yusuf melangkahkan kaki menuju tangga, dari arah berlainan Kafka juga melangkahkan kakinya menuju tangga. Mereka berhadapan sambil menatap satu sama lain. Tunggu, mengapa jadi canggung seperti ini? Kafka hanya mengenakan kaus putih polos dengan celana selutut, sementara Yusuf mengenakan kaus hitam polos dengan celana sepanjang mata kaki, Yusuf itu memang kurang suka memakai celana pendek. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat hingga akhirnya Yusuf yang mengalihkannya lebih dulu. Kafka masih menatap Yusuf dengan tatapan aneh. Sebenarnya yang membuat Kafka menatap Yusuf dengan tatapan aneh ya karena Yusuf-nya sendiri yang aneh. "Kamu mau makan juga?" tanya Yusuf tanpa menatap ke arah Kafka, dia langsung melangkahkan kaki lebih dulu setelah itu. Kafka pun segera menyetarakan langkahnya agar bisa jalan beriringan dengan Yusuf. "Kakak mau apa?" "Makan," jawab Yusuf singkat. "Aku juga." Yusuf terkekeh, itu salah satu kebiasaan Kafka yang tidak pernah Kafka tampakkan di hadapan orang lain. Saat bersama Yusuf dia lebih sering terlihat seperti orang yang tidak memiliki pendirian--yang apa-apa mau sama dengan Yusuf--tapi beda lagi kalau sudah ada di luar, dia akan terlihat seperti laki-laki gagah yang penuh pendirian dengan segala kelebihan yang dia miliki. Kafka dan Yusuf saling berhadapan saat melihat rak tidak ada lauk sama sekali, hanya ada nasi dan bahan-bahan mentah saja. Tak lama kemudian mereka berdua menghela napas pelan. Kurang lebih seperti inilah kondisi rumah yang isinya didominasi oleh laki-laki dan jarang menetap lama di rumah, asisten rumah tangga pun enggan memasak karena takut tidak dimakan. "Aku bakal pesan gofood," ucap Yusuf sambil melangkahkan kakinya menuju meja makan, ia klik sebuah aplikasi penyedia makanan siap antar. "Kamu mau apa?" tanya Yusuf. "Gokana masih buka enggak, Kak?" tanya Kafka sambil duduk di samping Yusuf, ia pun ikut melihat layar handphone canggih yang jauh lebih baik dari handphone-nya itu. Yusuf menggelengkan kepalanya. "Tutup, sekarang udah jam sebelas." Sudah beberapa menit Yusuf men-scroll-scroll layar handphone-nya, tapi belum juga ia temukan makanan yang ia minati, Kafka pun sejak tadi diam saja, seolah mengalami hal serupa dengan Yusuf. "Aku beli nasi goreng aja di depan, kamu tunggu sini," ucap Yusuf sambil mematikan layar handphone-nya. "Aku ikut ...." Yusuf tidak langsung menjawab, ia tatap wajah Kafka terlebih dahulu. Setelah beberapa detik diam, akhirnya Yusuf menganggukkan kepalanya. "Naik apa, Kak?" tanya Kafka. "Jalan kaki aja, deket." Kafka menganggukkan kepalanya, saat bersama Yusuf entah mengapa jiwa-jiwa anak-anaknya keluar lagi, Yusuf itu sosok kakak yang bisa dijadikan bahan pelindung untuk adiknya, saat bersama Yusuf, Kafka selalu terdorong untuk melangkah di sampingnya agar Yusuf bisa melindunginya. Hal itu terjadi secara spontan, mugkin karena sejak kecil ia memang selalu mengintili Yusuf seperti kucing dan ekornya. "Kak?" panggil Kafka di sela perjalanan yang lenggang. Yusuf hanya bergumam menanggapinya. "Apa Kakak enggak berniat untuk menjelaskan apa yang aku tanyakan di cafe? Jujur aja, aku enggak bisa tidur karena itu ...." Yusuf memejamkan matanya beberapa detik. Kafka ini terlalu jujur! "Mungkin karena banyaknya orang, aku sampai enggak engeh kalau itu Zulaikha," ucap Yusuf, lagi-lagi dia berbohong. Kafka menganggukkan kepalanya. "Ya aku tau, Kakak itu orang tercuek yang pernah aku kenali di dunia ini." Hening untuk beberapa saat. "Kamu menyukai Zulaikha?" tanya Yusuf. Kafka tidak langsung menjawab, ia pun bingung, ia menyukai Zulaikha atau tidak, jawabannya masih ambigu. Akhirnya Kafka hanya menggedikkan bahunya. "Entahlah, Kak, tapi akhir-akhir ini perempuan itu selalu mengusik hatiku." "Sama denganku," sambar Yusuf. Kafka spontan menolehkan kepalanya ke arah Yusuf, matanya membulat. "Kakak menyukai Zulaikha?" Yusuf terkekeh pelan. "Kamu menyukainya, karena itu matamu membulat dan langsung menolehkan kepala ke arahku. Aku cuma mengetes aja tadi." Kafka menghela napasnya pelan, seolah lega dengan jawaban Yusuf. Setelahnya mereka tak bicara apa pun hingga sampai di tempat tujuan. Karena tukang nasi goreng mengenali Kafka, mereka langsung berdialog membahas club sepak bola. Rupanya Kafka pernah bergadang untuk menonton bola bersama tukang nasi goreng. Entahlah, anak itu memang ajaib, siapa pun dia jadikan teman, Yusuf jadi khawatir, takut-takut adiknya itu menjadikan roh halus teman juga. *** Hari terus berlalu, Zulaikha semakin dekat dengan Kafka dan kedua teman laki-lakinya--Rizwan dan Amar--sementara dengan Yusuf ia masih saja kurang dekat. Itu terjadi karena mereka memang jarang bertemu. Sekalinya Yusuf ke cafe, laki-laki itu tidak bicara apa pun selain saat memesan dan mengucapkan terima kasih. Zulaikha tidak aneh, dari awal Yusuf memang laki-laki seperti itu, mungkin kalau Kafka yang tiba-tiba berubah seperti itu, barulah ia sangat aneh. Semenjak Yusuf menjawab pertanyaannya, Kafka sudah tidak gusar lagi, entah mengapa rasanya ia jadi lebih lega. Terlebih tentang kedekatan ia dengan Zulaikha yang semakin membaik. Rasa lega itu semakin lapang. Perlahan-lahan, ia jadi tahu seperti apa Zulaikha sebenarnya. Dia memang tidak sekaya Zia, tapi dia punya mahkota tinggi sebagai perempuan yang pandai menjaga diri, Zulaikha tidak gemulai, dia feminim tapi tidak cari perhatian, semakin mengenali beberapa sisi dalam diri Zulaikha, Kafka semakin ditarik ke dalam dan sulit untuk keluar lagi. Zulaikha terlalu menarik di matanya. Di sisi lain, Yusuf pun sedang berusaha untuk meyakinkan diri kalau ia tidak akan merusak kebahagiaan adiknya. Ia tahu kalau Kafka mengagumi Zulaikha, meskipun laki-laki itu masih terus menggedikkan bahu ketika ditanya, tatapannya dan cara ia bicara perihal Zulaikha yang selalu baik di matanya jelas saja menampakkan kekakuman ia. Namun, ada satu hal yang sedang Yusuf sesali, ia terus saja memerhatikan Zulaikha dari kejauhan, seolah sebagian hatinya tertinggal di sana. Ia pernah merasakan hal ini ketika mengagumi Humairah diam-diam. Yusuf menepuk kedua pipinya pelan lalu bangkit dari kursi. Hari ini, ia berniat ingin pergi ke makam ibunya sendiri, meski ia tahu ibunya tak akan bisa hidup lagi lalu mengelus pucuk kepalanya sebagai bentuk menguatkan, ia tetap sering berbagi kisah dengan ibunya. Rasanya, itu seperti melepas lelah. Yusuf jadi terngiang-ngiang dengan perkataan ibunya saat Kafka masih belum lahir. "Yusuf, kalau adikmu udah lahir nanti, jangan pernah bertengkar, ya? Kadang, adik itu emang menyebalkan, tapi sebagai kakak tertua, kamu harus bisa memakluminya. Kalau kalian udah dewasa nanti, jangan bertengkar, apalagi kalau ayah sama ibu udah enggak ada, kalian harus saling merangkul. Ibu percaya sama kamu." Air mata menetes di pipi Yusuf, kini ia sudah ada di dalam mobil. Sedingin apa pun ia di mata orang lain, pada kenyataannya, ia tetaplah laki-laki lemah jika sudah mengingat ibunya. Luka terberat yang tak bisa Yusuf lupakan adalah kehilangan ibunya, ia sudah ditinggalkan oleh orang yang ia cintai dua kali, hal itu membuat Yusuf trauma untuk mencintai orang baru lagi. Selama ini, Yusuf hanya menampakkan sisi rapuhnya saat sendiri atau saat ada di pemakaman ibunya, ia tak pernah menangis lagi di hadapan manusia lain setelah menangis panjang saat ibunya pergi, bahkan ketika ia mendapat kabar kalau Humairah meninggal, air mata tak langsung menetes, dia malah bengong, seolah jiwa dan raganya berpisah, saat sendiri, barulah ia menangis seperti orang gila. Semua orang mengira Yusuf adalah laki-laki bermental kuat dan gagah, padahal kenyataannya, ia selalu depresi saat sendiri, terlebih ketika momen-momen kehilangan itu hadir kembali. Yusuf menggebrak stir. "Kenapa saat ada perempuan yang menarik perhatianku, Kafka pun harus tertarik padanya?! Apa aku enggak diizinkan untuk mencintai lagi? Apa aku enggak diizinkan untuk bahagia lagi?" ucap Yusuf sambil mengepalkan tangan keras-keras. Ia tarik napas dalam lalu mengembuskannya secara kasar. Setelah itu ia segera melajukan mobil secepat kilat dari rumah sakit sampai ke pemakaman ibunya. Langit sudah mulai menjingga karena kini sudah pukul lima sore lewat beberapa menit, tapi Yusuf tampak tak terganggu dengan itu. "Ibu, aku merindukanmu ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD