BAB 14

1037 Words
Saat langit sudah gelap, Zulaikha baru bisa pulang ke rumah. Ia harus jalan kaki dari cafe ke halte di jam delapan malam. Dahulu Zulaikha takut, tapi semakin ke sini, ia sudah biasa berlalu-lalang di malam hari. Lagi pula di daerah sini pukul delapan masih ramai, kecuali kalau sudah masuk pukul sepuluh malam, barulah sepi, bahkan bus pun sudah tidak ada lagi yang lewat di jam segitu. Zulaikha menghela napasnya pelan, hari ini ia merasa sangat lelah. Kadang kala ia ingin seperti mahasiswa-mahasiswa seusianya, yang bisa menikmati masa-masa kuliah dengan hal-hal menyenangkan. Ambil contoh Alea, kehidupannya menjadi salah satu contoh kehidupan yang ingin Zulaikha rasakan. Zulaikha menggelengkan kepalanya. Setiap kali perasaan ini hadir, ia selalu menegaskan dirinya kalau masih ada yang lebih menderita daripada ia, masih ada yang lebih harus bekerja keras daripada ia. Tidak perlu mendramatisir keadaan, karena mau seperti apa pun jika takdirnya sudah seperti ini, ya, terima dan jalani saja dengan penuh syukur. Allah Swt. pasti memberikan hamba-Nya ujian dengan maksud tertentu, bukan serta-merta hanya untuk menyiksanya, Zulaikha meyakini itu. Zulaikha menyipitkan matanya saat mendapati Fauzan sedang duduk di atas motor tepat di samping tempat biasa Zulaikha menunggu bus--halte. Di saat itu juga Zulaikha langsung mempercepat langkahnya, ia takut ada apa-apa. "Ada apa? Kenapa kamu di sini? Ini motor siapa?" tanya Zulaikha saat sudah ada di samping Fauzan. Bukannya menjawab Fauzan malah menyalakan mesin motor. "Ayo," ucapnya. Zulaikha memegang lengan Fauzan pelan. "Jawab dulu pertanyaan Kakak," ucap Zulaikha sambil menatap mata Fauzan. Fauzan menghela napas pelan. "Aku sama Trisna dapet job benerin mobil orang, kebetulan bengkelnya ada di sekitar sini, aku tau Kakak sering lewat sini, buat irit uang lebih baik aku antar aja, kan? Kebetulan ada motor nganggur di bengkel." "Sejak kapan kamu kerja di bengkel? Dan kaki kamu emang udah enggak sakit?" tanya Zulaikha. Kali ini Fauzan berdecak. "Cepetan aku ditungguin," ucapnya. Tanpa Fauzan tahu, Zulaikha tersenyum kecil. Baru saja ia memimpikan bisa dekat dengan adiknya seperti Kafka dan Yusuf, rasanya dengan Fauzan peduli padanya saja Zulaikha merasa senang. Sebelumnya Fauzan memang sering nongkrong di salah satu bengkel milik orangtua temannya. Dia mungkin terlihat nakal di mata Zulaikha dan kedua orangtuanya karena tidak betah di rumah, padahal tanpa orang lain tahu ia pun berusaha mencari kerja meski hanya dibayar receh. Fauzan sebenarnya anak laki-laki yang baik, hanya saja ia gengsi mengakuinya, ia lebih suka berontak, dan mood-nya pun sering tidak stabil. Diam-diam Fauzan juga memiliki tabungan, ia bercita-cita ingin membeli motor. Ia tahu meski ia harus merengek sampai nangis darah sekalipun, tetap saja apa yang ia inginkan itu tidak akan pernah terealisasikan. Karena motor itu bukan barang murah. Tadi sore ia mendapatkan kabar dari kakaknya kalau kakaknya akan pulang jam delapan. Zulaikha memang sering kali mengabari Fauzan agar kalau orangtuanya bertanya Fauzan bisa langsung memberitahu atau langsung diberitahu tanpa menunggu ditanya. Zulaikha tidak selalu memiliki pulsa untuk menelepon ke handphone jadul orangtuanya, kalaupun ia mengirimkan pesan singkat, orangtuanya tidak akan paham. Sebelumnya ia sudah mengajari, tapi lupa lagi-lupa lagi, mungkin faktor usia. Karena kabar itulah Fauzan bisa tahu kalau Zulaikha pulang di jam segini. *** "Zulaikha namanya, Yah, cantik, ya?" ucap Kafka saat ayahnya melihat foto cetak yang sebelumnya Kafka pegang. Itu foto yang beberapa waktu lalu ia tanyakan kepada Zulaikha, yang isinya tidak hanya ada Zulaikha saja, tapi teman-teman Zulaikha lainnya saat mereka menjadi mahasiswa baru. Pak Alhusayn mengusap pucuk kepala Kafka pelan. Kafka memang lebih terbuka daripada Yusuf, mood-nya pun lebih baik daripada Yusuf. Ayahnya jarang bicara santai dengan Yusuf, paling jika memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, pak Alhusayn sangat tahu bagaimana karakter dua anak laki-lakinya. "Dari beberapa orang ini masa kamu kenal satu orang doang, sih?" ucap Pak Alhusayn sebelum meminum kopinya. Di jam delapan malam ini Kafka dan ayahnya sedang duduk santai di ruangan keluarga. Sebenarnya Yusuf sudah pulang sejak pukul tujuh, tapi laki-laki itu sekarang sedang ada di kamar, entah sedang apa. Dia akan keluar kalau memang benar-benar luang. Ayahnya selalu mengatakan kepada Kafka agar Kafka bisa memahami kakak laki-lakinya, ayahnya juga berpesan jika ia sudah tidak ada di dunia ini, tetaplah jaga persaudaraan mereka. Awalnya Kafka tidak suka, karena ayahnya sering kali menyuruh Kafka untuk memahami Yusuf, tapi Yusuf tak ayahnya suruh untuk memahami Kafka. Sekarang Kafka paham, setiap manusia itu memiliki karakternya masing-masing, ayahnya mengatakan hal itu kepada Kafka karena ayahnya percaya Kafka bisa melakukannya, ayahnya mengatakan itu kepada Kafka karena ayahnya tahu karakter kedua anaknya, di sini Kafka-lah yang lebih pandai menengahi dan mencairkan suasana. Lagi pula Kafka tidak pernah merasa keberatan untuk bisa memahami Yusuf. Yusuf itu seperti rumus matematika, yang terlihat sulit kalau hanya dilihat tapi terasa mudah kalau dipelajari. Yusuf tidak serumit yang orang lain kira. Dia laki-laki yang baik. Bahkan saat Kafka drop ketika tahu kalau ibunya meninggal demi melahirkan ia, Yusuf tidak membenci Kafka, ia terus meyakini Kafka kalau semua itu sudah menjadi takdir yang Allah Swt. tuliskan, bukan karena Kafka atau karena tidak ada orang yang mau membantu mereka. Kafka pun sangat ingat bagaimana Yusuf sangat menjaganya saat Kafka masih kecil. Dia rela dipukuli orang demi Kafka, dia rela maju paling depan demi Kafka. Yusuf adalah sosok kakak laki-laki yang Kafka sayangi. "Ada satu lagi, Yah, ini namanya Alea," ucap Kafka. "Ayah kayak enggak asing, kayak pernah lihat dia, di mana, ya ...." Kafka menggedikkan bahu. "Mungkin orangtuanya rekan kerja Ayah, atau ... teman Ayah?" Pak Alhusayn ikut menggedikkan bahu. "Mungkin." Akhirnya mereka malah tertawa berdua. Kadang kala, pak Alhusayn sedih, ia pernah berpikir, andai saja istrinya masih ada, mungkin Yusuf tidak akan menjadi laki-laki yang dingin, andai istrinya masih ada, Kafka pasti akan dia manja, dan lain sebagainya. Namun, atas dasar kata "andai" tidak selalu menjadi suatu hal nyata. Ia cukup bersyukur karena bisa bangkit dan menjaga anak-anaknya dengan baik. Meski ia dan keluarganya masih belum juga membaik sekalipun ia berusaha untuk memperbaiki lebih dulu. Mereka sudah sangat membenci pak Alhusayn, seolah pak Alhusayn adalah anak durhaka yang lebih memilih istrinya ketimbang orangtua dan keluarganya. "Aku pesan pizza," ucap Yusuf yang tiba-tiba datang, dia berlari tepat saat suara bel rumah melengking-lengking. Kafka dan pak Alhusayn yang sebelumnya sedang tertawa jadi tambah terbahak. Kafka jadi berpikir, bagaimana kalau Yusuf memiliki istri, mungkin istrinya pun ikut gemas dengan tingkah aneh laki-laki itu--yang sering kali berubah-ubah seiring jalannya waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD