Bab 2 - Saat Kau Menangis

1581 Words
Sashi akhirnya kembali meraih telepon genggam yang kujulurkan. Dia mengetik beberapa nomor sebelum kemudian mengarahkan telepon itu ke telinganya. Setelah menunggu sambungan beberapa saat, akhirnya Sashi berbicara dengan orang yang diteleponnya. “Bunda ....” ucapannya dengan getar yang tidak bisa ditutupi. ... “Iya Bunda. Ayana kasih tahu gitu ya?” tanyanya kembali pada sang ibu yang dihubunginya. ... “Sashi kangen Bunda sama Ayah ... hiks ....” entah mengapa mendadak Sashi malah menangis. ... “Sashi sakit Bundaaa ... hiks ....” kembali wanita yang terlihat tenang sejak kemarin ini mendadak rapuh saat berkomunikasi dengan orangtuanya. Tapi sakit? Apa maksudnya dengan sakit? Aku pun segera memperhatikan gerak-geriknya yang masih sibuk berkomunikasi di telepon. Aku melihatnya mengeluhkan sakit sambil memegang bagian perut bawahnya. Tanpa kusadari, aku pun bergerak mendekatinya dan mengarahkan tanganku untuk mengangkat kemeja yang dikenakannya. Kemeja ini masih kemeja yang sama, seragam pelayan di acara semalam. Aku mengangkat kemeja itu sedikit hingga memperlihatkan bagian perutnya. Garis berwarna ungu pekat terlihat di bagian bawah perut wanita ini. Aku terbelalak kaget melihatnya, dan wanita itu pun berusaha langsung menutup kembali perutnya. “Ini kenapa?” tanyaku sambil kembali mengangkat kemejanya dan menarik telepon genggam untuk menutup telepon yang tersambung sejak tadi. Sashi tidak menjawab dan malah kembali sibuk menurunkan kemejanya. “Aku tanya sekali lagi, ini kenapa?” ucapku mulai bernada tinggi. “Lepaaaas! Jangan sekali-kali berani menyentuhku!” teriaknya sebelum mundur mengambil jarak semakin jauh dari posisi di mana aku berada. ***** Aku memanggil seluruh pengawal yang bertugas membawa kelima orang itu dari Bali ke Jakarta kemarin malam. Karena Sashi tidak ingin menjawab apa penyebab bagian bawah perutnya memar dan membiru, aku pun mencoba mencari tahu dengan cara lain. Setelah seluruh pengawal berkumpul di ruang kerjaku, aku menanyakan mereka pertanyaan yang sejak tadi memenuhi kepalaku. “Apa yang terjadi pada salah satu pelayan wanita itu? Mengapa bagian perutnya membiru?” tanyaku. Semua pengawal itu saling berpandangan sebelum menunduk takut. Hanya si kepala pengawal yang kemudian menjawab “Salah satu dari kami terpaksa memukulnya karena terus meronta ingin bertemu dengan Anda tadi pagi, Tuan.” Mendengar penjelasan itu, entah mengapa akupun emosi. Aku melayangkan tinjuku ke wajah kepala pengawalku dan berteriak “Kenapa kalian bertindak di luar perintahku? Siapa yang menyuruhmu memukulnya?” BUG BUG BUG ... Beberapa tinjuan terus kulayangkan pada beberapa pengawal yang berbeda. Hingga akhirnya kepalanku ditahan seseorang. John, dia menghentikan pukulanku dan bertanya “Ric, what’s wrong?” “Orang-orang ini memukul seorang wanita yang kutawan!” pekikku marah. “So what?” tanya John kemudian dan membuatku mengalihkan pandanganku padanya. “Terus kenapa Ric? Kau lupa dia mungkin saja orang yang merencanakan pembunuhanmu? Dia layak mendapatkan itu, Ric!” ucapan John itu kemudian membuatku semakin bingung. Ya, kenapa aku seperti ini? Kenapa aku mencoba melindungi orang yang mungkin saja menginginkanku mati? Tapi aku yakin, Sashi bukan pelakunya. Wanita itu terlalu lemah untuk menjadi seseorang yang berkomplot untuk mencelakakan orang lain. Aku yakin dia bukan pelakunya. Namun bagaimana aku membuktikannya? Lagipula, aku senang bisa menawannya berada dekat denganku? Bolehkah aku menikmati kesempatan berada dekat dengan wanita yang menarik perhatianku ini? Walaupun mungkin keselamatanku yang menjadi taruhannya? ***** Setelah membahas perkembangan penyelidikan kasus dengan John selama satu jam, aku kembali menuju ruangan di mana wanita bernama Sashi itu berada. Aku menemukannya tidur meringkuk di kasur lantai tipis yang memang menjadi tempat istirahat pegawai yang biasa membantu pekerjaan di rumah ini. Namun ada rasa tidak nyaman muncul di hatiku, ketika mendapati tubuh kecil dan tidak bertenaga itu terletak begitu saja. Aku melangkahkan kaki masuk, setelah kembali mengunci pintu ruangan ini. Tap ... tap ... tap .... Aku rasa suara langkah kakiku cukup kencang untuk membangunkannya jika tertidur. Akan tetapi, tubuh itu tidak merespon. Bergerak sedikit pun tidak. Tubuh itu tetap meringkuk memunggungi arahku mendekat. Satu kakiku kuarahkan ke ujung kakinya, menyenggol dua kali untuk membangunkannya. “Hei, bangun!” titahku. Namun sama seperti sebelumnya, tubuh itu diam tidak merespon apapun. Kali ini aku langsung berjongkok. Aku mengguncangkan pundak wanita itu dari belakangnya, masih tetap tidak ada respon apapun. Akhirnya aku tidak sabar lagi, aku membalikkan tubuhnya dan saat itu aku melihat darah keluar dari mulutnya. “Dia kenapa?” tanyaku panik dalam hati. Lagi aku menggoncangkan tubuhnya dan dia sama sekali tidak berkutik. Wajah putihnya pucat dihiasi warna merah darah dari dagu ke lehernya. Kerah kemeja putihnya pun juga terkena beberapa tetesan darah dari mulutnya itu. Ini aneh! Akan tetapi, fokusku adalah menyelamatkan wanita ini terlebih dahulu. Secepat kilat aku membuka kunci pintu dan memanggil salah satu asistenku untuk segera menghubungi dokter untuk menyelamatkannya. “Pasien mengalami pendarahan di bagian lambungnya Pak. Hal itu yang memicunya mengalami muntah darah,” jelas dokter setelah melakukan beberapa kali pemeriksaan. “Lambungnya bermasalah?” tanyaku kebingungan mengapa lambung seseorang bisa mengalami pendarahan. “Bukan Pak. Saya mengamati bagian perut pasien membiru dan terlihat bekas tendangan di beberapa titik. Kondisi bisa semakin parah Pak, jika pasien terus mengalami penyiksaan seperti ini,” jelas si dokter kembali. “Penyiksaan?” kembali aku membeo karena belum memahami apa sebenarnya yang terjadi pada wanita bernama Sashi ini. “Saya tahu urusan Anda dengan wanita ini bukanlah urusan saya Pak. Akan tetapi, saya harus memberitahukan bahwa penyiksaan terhadap tubuh seseorang itu perbuatan kriminal Pak. Apapun kesalahan wanita ini, Anda tidak boleh menginjak bagian perutnya sampai pendarahan di dalam tubuh. Apalagi bagi perempuan bisa menyebabkan masalah yang lebih besar lagi Pak,” kini dokter tersebut semakin berani dengan pendapatnya. “Saya tidak menyiksanya dok,” aku mencoba membela diri. “Apapun yang terjadi, siapapun yang melakukannya, saya hanya bisa mengingatkan Pak. Saat ini saya sudah membuatkan resep untuk membantu pemulihan dan segera menghentikan pendarahannya. Namun untuk pemulihan yang lebih cepat, mohon pasien diberikan perhatian dan penjagaan ya Pak. Pasien pasti akan kesulitan bahkan untuk makan,” ucap si dokter kemudian sebelum berlalu pergi. ***** Dokter sudah pergi satu jam yang lalu dan akhirnya wanita itu mulai tersadar. Aku sesaat mengamatinya yang melihat kembali sekeliling ruangan ini, lalu menunduk sesaat, sebelum menghela nafas berat. “Kenapa kau menghela nafas seperti itu?” tanyaku dari posisi duduk di kursi dekat pintu. Sashi terlihat kaget karena dia sepertinya tidak menyadari keberadaanku di sini sebelumnya. Wanita itu kemudian menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaanku. “Jika kau mau berusaha lebih jujur, mungkin aku akan memperlakukanmu lebih baik,” entah mengapa aku mendadak memberikan tawaran padanya. Wanita itu terlihat mengangkat wajahnya dan matanya menyorot mataku berani, seperti mencari kebenaran dari perkataanku sebelumnya. “Perlakuan yang lebih baik yang kumaksud adalah mencakup orang-orangku tidak akan memukulimu tanpa alasan lagi seperti sebelumnya,” kembali aku menekankan penawaranku. “Tadi aku pikir baru terbangun dari mimpi yang sangat menyeramkan. Kukira semua yang terjadi sejak malam di klub itu hanya mimpi. Aku sempat bersemangat saat membuka mata, namun saat kusadari aku tetap berada di ruang yang sama, aku kecewa,” jelas suaranya yang serak dan lagi ditutup oleh helaan nafas yang berat. Jadi tadi dia sempat mengira bahwa semua ini tidak terjadi? Polos sekali wanita yang terlihat garang di luar ini! “Kau mendapat kesempatan istimewa saat ini,” ucapku kemudian lagi masih berusaha mendengarnya terus berbicara. Suara seraknya membuatku ketagihan. “Kesempatan istimewa apa?” tanyanya kebingungan. “Para terduka tersangka lainnya tidak mendapat kesempatan berbicara denganku lebih dari 6 menit. Kau yang pertama berada bersamaku lebih dari 1 jam hari ini, bahkan aku masih di sini saat ini. Kau tidak ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membela diri?” aku bertanya memberinya kesempatan. “A-aku ... aku bukan pelakunya,” ucap Sashi kemudian dengan suara serak yang bergetar seperti menahan tangis. “Se-sebenarnya ... itu ... yang ingin kukatakan padamu. Aku meminta bertemu denganmu pada para pengawal sebelumnya, tetapi mereka marah padaku ... dan ... dan langsung menendang tubuhku,” kini Sashi bahkan sudah berbicara dengan tetesan air mata membasahi wajahnya. Shit! Hatiku merasakan hal asing ketika melihatnya menangis. “Kau punya bukti apa bahwa kau bukan pelakunya?” tanyaku kemudian. “Aku tidak memiliki bukti apapun, tapi aku yakin seharusnya ada rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa aku hanya sempat membawa gelas berisi racun itu sebentar, sejak kuambil dari meja barista. Lalu kau langsung memanggilku dan mengambilnya,” ucapku kemudian. Mendadak penjelasannya barusan membuatku teringat, awalnya bukan gelas itu yang ingin kuambil. Tetapi kemudian dia mengubah pilihannya. Apa jangan-jangan wanita ini benar pelakunya? “Lalu kenapa kamu menukar gelas yang ingin kuambil sebelumnya? Apa kau punya penjelasan mengenai hal ini?” tanyaku mencoba mencari kejujurannya. Sayangnya, wanita itu hanya menggeleng. “Kau bodoh atau apa? Jawabanmu ini malah semakin mencurigakan. Bagaimana bisa kau menukar gelas berisi racun padaku tanpa penjelasan? Jangan-jangan kau benar-benar sengaja ingin membunuhku?” tanyaku mulai geram. “Tidak aku tidak ada niat membunuh sama sekali. Aku tidak tahu kalau gelas itu berisi racun, hiks ....” kembali wanita itu menangis. Aku tidak tahan melihatnya menangis dan entah mengapa malah membuatku semakin emosi. Akhirnya aku berdiri berjalan mendekati kasur lantai tempatnya berbaring. Seiring langkah kakiku mendekat, wanita itu mencoba bangun dari tidurnya. Namun dia mengalami kesulitan, sepertinya bagian perutnya masih sangat sakit. Sashi terus berusaha, dia terus menarik tubuhnya yang kini dalam posisi terduduk untuk mundur. Mundur terus hingga akhirnya mencapai sudut tembok di mana kasur lantai itu berada. Aku pun menjongkok di hadapannya kini, mengamati wajahnya yang basah karena air mata dan kepalanya yang menggeleng-geleng. Saat aku mengulurkan tanganku ke wajahnya ingin menghapus tetesan-tetesan yang menutupi wajah cantiknya itu, mendadak Sashi histeris. “JANGAAAAN ... JANGAN PUKUL AKU ....” suaranya berteriak kencang dan panjang berulang-ulang. Tertegun aku mendengar suara tangisan dan teriakannya. Kenapa rasanya aku tidak tega melihat wanita ini seperti ini. Padahal mungkin dialah pelaku yang memasukkan racun ke dalam gelasku. Dia tidak memiliki bukti apapun untuk membelanya, selain kata-kata bahwa dia bukan pelakunya. Aku tidak ingin mempercayai bahwa dirimu pelakunya, tapi bagaimana jika memang tidak ada satu bukti pun yang bisa membantumu Sashi? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku meneruskan penyelidikan ini walau hatiku terasa sakit saat kau menangis? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD